01

17 2 1
                                    

"Makanya jangan jadi Bulol!"

"Hah apaan lagi tuh Bulol?"

"Bucin tolol!"

Seketika gelak tawa langsung pecah di antara tiga anak SMA yang duduk tak jauh dari Mela, perempuan itu juga ikut berusaha menahan tawanya, memang ada-ada saja kadang istilah unik yang diciptakan oleh anak-anak jaman sekarang. Berawal dari tak sengaja mendengar obrolan mereka tentang guru matematika killer musuh seluruh murid di sekolah, sekarang ia malah ikut terhanyut dengan cerita-cerita mereka yang lain, mulai dari gosip-gosip terpanas yang sekarang beredar disekolah hingga cerita tentang gebetan-gebetan mereka.

Mela menyeruput pelan secangkir latte pekat pesanannya yang baru sampai beberapa menit lalu itu. Seperti biasa ia duduk sendirian di pojok kafe yang selalu menjadi area duduk favoritnya karena dekat dengan perpustakaan kecil yang disediakan kafe langganannya ini. Ia sebenarnya sedang di kejar deadline untuk menyelesaikan premis dan sinopsis novel terbarunya yang sudah diminta oleh penerbit tempatnya menandatangani kontrak sebagai penulis eksklusif.

Tak terasa sudah hampir empat tahun sejak novel terakhirnya terbit, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk rehat sejenak dari dunia yang sudah membesarkan namanya ini, dan sejak ia mengumumkan akan segera kembali menulis cerita baru, pembaca setianya tidak ada lelahnya menghujani dirinya dengan pertanyaan kapan novel terbarunya akan segera rilis.

Setelah hampir beberapa minggu hanya berakhir dengan sebuah notes putih bersih tanpa coretan pena sedikit pun, mendengar percakapan yang terjadi antara anak-anak SMA itu akhirnya membuat sebuah ide cerita baru terpercik di kepalanya. Sebuah cerita yang terinspirasi dari kejadian nyata yang ia alami semasa SMA, sebuah masa yang ingin ia ulang dan enggan ia tinggalkan

***

"Kak! Aku suka banget sama 'Impian Kita'."

Seorang gadis dengan seragam SMA yang masih melekat di tubuhnya dengan mata berbinar-binar tampak mendekap erat novel terbaru Mela yang kembali meledak di pasaran itu.

Entah sudah berapa kali ia mendengar kalimat serupa dilontarkan selama sesi fansign dari event bedah buku terbarunya yang sedang digelar ini, namun tentu saja ia harus tetap menghargai effort pembaca setianya yang entah sudah berkorban waktu, tenaga dan uang demi bisa hadir dalam Acara yang Perusahaan Penerbitannya adakan ini.

Mela membalas pujian itu dengan senyuman kecil, "Oh ya? Bagian mana yang menurut kamu paling menarik?" tanyanya sembari mengambil buku yang diangsurkan gadis itu.

Entah sudah berapa kali ia mendengar kalimat serupa dilontarkan selama sesi fansign dari event bedah buku terbarunya yang sedang digelar ini, namun tentu saja ia harus tetap menghargai effort pembaca setianya yang entah sudah berkorban waktu, tenaga dan uang demi bisa hadir dalam Acara yang Perusahaan Penerbitannya adakan ini.

"Aku paling suka sama part dimana Aulia dan Bima pertama kali ketemu, pas Pensi SMA!"

***

"Mel, Lo tunggu disini bentar ya," Kata Sonya sebelum akhirnya meninggalkan Mela di bagian belakang kerumunan orang yang sedang asik menonton pensi SMA mereka. Ia hanya bisa menatap horor lapangan bola SMA mereka yang sekarang tampak penuh sesak itu, sedikit menyesal karena kemarin mengiyakan ajakan Sonya untuk menemaninya menonton pensi yang rutin diadakan setahun sekali di SMA mereka.

Padahal seingatnya para pengisi acara dari Pensi SMA mereka kali ini bukanlah artis-artis ibu kota yang memiliki fans banyak seperti pensi-pensi SMA lain. Hanya ada dua band indie yang baru saja memulai karir mereka dan sisanya diisi oleh para siswa SMA mereka sendiri. Namun mengapa lapangan sepak bola mereka pun sampai sesak dibuat para penonton pensi tahun ini. Ia jujur tidak bisa membayangkan jika nanti harus berada di antara lautan orang tersebut.

Pundaknya yang tiba-tiba ditepuk membuat Mela sontak berbalik dan menemukan Sonya yang langsung mengangsurkannya sebuah nametag. "Ini, akses backstage punya Lo. Yakali kita juga mau ikut-ikutan kayak ikan pepes disana."

Mereka hanya perlu menunjukkan nametag mereka, dan para panitia yang berjaga di jalur khusus menuju bagian belakang panggung langsung membiarkan mereka lewat begitu saja. "Gue udah nebak nih, kalo pensi tahun ini bakal lebih rame dari pada tahun-tahun sebelumnya," Kata Sonya dengan sedikit berteriak untuk mengimbangi suara speaker yang tentu volumenya terdengar menggelegar lebih keras di belakang panggung pentas.

Pertanyaan tentang bagaimana ramalan milik Sonya itu dapat tercipta yang hendak keluar dari mulut Mela, terpotong oleh Ario yang datang menyapa mereka, atau lebih tepatnya menyapa Sonya.

"Hai Sonya dan ..."

"Mela." Dengan cepat Mela menyambut sapaan yang lebih tepat dikelompokkan sebagai pertanyaan 'siapa ini perempuan?' itu. Tentu saja Ario tidak mengenalinya, padahal seingat Mela dia sudah beberapa kali pernah bertemu dengan Ario sebelumnya saat menemani Sonya untuk jajan di kantin sekolah. Tapi Mela sudah terlampau terbiasa dengan teman-teman Sonya lain yang seringnya kebingungan saat baru menyadari kehadirannya.

"Kok baru keliatan sekarang? Udah gue tungguin dari tadi loh padahal."

"Iya, sorry ya, Yo, tadi jalanan macet, jadi kita telat sampai kesini."

Terjemahan resmi dari ucapan Sonya tersebut adalah mereka terlambat karena di rumahnya tadi Sonya menghabiskan hampir 30 menit hanya untuk memilih baju dan hampir 1 jam untuk merias diri. Mela bersumpah hampir saja ia jamuran karena menunggu Sonya bersiap-siap hanya demi datang ke Pensi SMA nya ini.

"By the way, makasih loh buat kartu akses backstagenya."

"Iya sama-sama."

Seperti biasa, saat Sonya berinteraksi dengan seribu satu kenalannya yang entah dari mana ia kenal, Mela sebagai yang tak diundang dan diharapkan harus tetap berpura-pura tertarik dan mengerti dengan apapun itu yang sedang menjadi topik pembicaraan mereka.

"Hahaha..." Mela ikut tertawa hambar pada lelucon yang sedang dilontarkan Ario, berusaha meniru Sonya yang tampak tertawa terbahak-bahak. Menyesakkan.

Perempuan itu akhirnya memilih untuk keluar sebentar dari tenda backstage dan mencari angin segar. Matahari yang bersinar terik di atas kepalanya membuat keringat terus bercucuran di keningnya, Mela akhirnya membuka jaket jeans yang sedari tadi ia pakai, lalu sekenanya ia taruh di atas salah satu kursi kayu yang disusun oleh panitia pensi sebagai pagar sekaligus pembatas antara jalur menuju tenda dan Area penonton pensi.

Tepuk tangan dan sorakan dari para penonton tiba-tiba terdengar, menandakan sebuah penampilan yang baru saja selesai. "Yak itu dia Penampilan dari Band Kisaran, bagaimana tadi penampilannya? Seru enggak?" suara pembawa acara yang kembali menguasai panggung terdengar memandu acara.

"Ya enggak mungkin lah, Lo manggung cuma pakai kaos oblong gini." Sebuah suara penuh rasa frustrasi itu terdengar dari balik punggung Mela, tepatnya dari sisi kanan bagian luar tenda yang ia belakangi. Mela langsung mendekat ke sumber suara untuk mengintip sekaligus mencuri-curi dengar. Di sana seorang pria yang membelakanginya itu, sekarang tampak sedang memarahi seseorang lain, "Dresscode yang dikasih guru untuk anak-anak yang ngisi acara kan udah jelas, harus sopan dan rapi."

"Kan udah gue bilangin dari minggu lalu." Sekarang lelaki itu tampak memijat keningnya yang mungkin berkedut karena pusing dengan situasi yang sedang dihadapinya.

"Penampilan selanjutnya adalah penampilan yang sudah kita tunggu nih teman-teman, dari awal Pensi." Sebuah seruan lain dari pembawa acara yang ada di atas panggung kembali terdengar.

"Waduh mampus, udah giliran Lo, nyet!"

Sementara orang yang ada di hadapannya sekarang tampak panik, lelaki berkaos oblong yang sedari tadi jadi tempat limpahan omelan itu tampak acuh tak acuh. Mela belum sempat mengalihkan pandangannya, saat mata pria itu tiba-tiba berhasil menangkap manik matanya yang tertangkap basah mengintip dan mencuri-curi dengar percakapan mereka.

Mela hanya bisa membatu di tempatnya, bahkan saat pria itu berjalan ke arahnya. Anehnya, bukannya marah, sebuah senyum sumringah malah tampak terukir di wajahnya, "Hai, jaket jeansnya masih mau Lo pakai nggak?"

Unsent MessagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang