Sejak di hari aku pingsan, Tiffany betul-betul merawat dan memperhatikanku. Dia rutin datang setelah pulang dari kampus selama aku tidak hadir. Padahal aku hanya demam biasa, tetapi Tiffany bersikeras melarangku untuk datang ke kampus dan memastikanku hanya tiduran serta bersenang-senang sepanjang hari.
Sejujurnya aku merasa merepotkan Tiffany. Namun ketika aku mengutarakan rasa tidak enakku, dia dengan cepat menutup mulutku dan berkata bahwa ini menjadi tanggung jawabnya. Aku kebingungan mengartikan kalimatnya. Apa tandanya Tiffany 'memperjelas' hubungan kami? Entahlah. Terkadang Tiffany sulit dibaca.
'Aku di bawah. Kamu bisa turun?'
Hampir jam sembilan malam dan aku berlari keluar karena satu pesan itu. Biasanya Tiffany datang lebih awal dan langsung masuk ke apartemen. Barangkali hari ini pekerjaannya padat. Benar saja, Tiffany di sana berdiri keren sambil bersandar pada mobilnya.
Dan merokok.
Aku cukup kaget dengan pemandangan ini. Dalam bayanganku, Tiffany sama sekali tidak cocok merokok. Meski kuakui dia terlihat maskulin, namun rasanya rokok dan dirinya bukan perpaduan yang bagus. Tiffany lebih cocok disandingkan dengan barang-barang mewah dan banyak uang.
"Apa aku terlihat keren?"
Aku semakin tercengang dengan pertanyaannya. Kemudian lebih tercengang lagi saat dia mulai terbatuk-batuk. Tiffany menjatuhkan rokoknya yang masih panjang dan menginjaknya.
"Kamu bukan perokok?" tanyaku bingung.
Tiffany menggeleng, lalu menunjukkan cengiran nakalnya. "Aku hanya mau terlihat keren di depanmu. Tapi sepertinya aku benar-benar tidak bisa merokok."
Aku hanya bisa menggeleng heran dengan sikap Tiffany yang seperti anak kecil. Kemana hilangnya wanita anggun dan elegan yang selama ini kutahu?
"Kamu tidak cocok merokok," kataku jujur. Kemudian ikut bersandar di sebelahnya. "Kamu tidak perlu kemari kalau sudah selarut ini."
"Masih sore," kata Tiffany memandang langit malam, kemudian menatapku dan memasang muka memelas. "Apa artinya aku tidak boleh melihatmu? Kamu bosan denganku?"
Aku tidak familiar dengan sisi lain Tiffany yang sedikit melankolis ini. Kemudian ku sadari bahwa selama kami dekat, Tiffany tidak banyak menunjukkan sifat-sifat tersembunyinya.
"Tidak, bukan begitu. Aku tidak mau membuatmu repot dan lelah harus kemari malam-mal---"
Kalimatku terpotong ketika Tiffany menempelkan telunjuknya ke bibirku, menyuruh diam. "Berapa kali harus kubilang kalau aku sama sekali tidak keberatan. Aku menahan diri sepanjang hari untuk tidak berlari ke sini, kamu tahu."
Aku terkesima mendengarnya dan tersenyum. Tangan Tiffany berpindah ke dahiku, mengecek suhu badan. "Sudah membaik. Pastikan kamu meminum obatnya."
Aku mengangguk menurut, merasa senang melihat Tiffany secara verbal menyampaikan perasaannya. Kemudian dia menggandeng tanganku dan kami berjalan menjauhi mobil menuju jalanan. Aku berusaha sekuat tenaga agar tanganku berhenti bergetar. Malam ini Tiffany berubah menjadi manusia bermulut manis dan jelas aku tidak bisa menahan pesonanya.
"Aku tahu kamu jatuh cinta, jadi berhenti gemetaran." Tiffany mengeratkan genggamannya.
Mendengarnya membuatku khawatir kalau-kalau Tiffany juga dapat mendengar jantungku yang berdetak kencang. Meski begitu, kali ini aku ingin menjawab perkataannya. Dengan begitu hilang sudah rasa kantukku, jelas malam ini aku tidak bisa tidur karena terngiang rayuan dosen tukang goda macam Tiffany ini.
"Darimana kamu tahu?"
Tiffany menyibak rambutnya dengan bangga, seperti di iklan-iklan shampoo. "Aku tahu semuanya, Joy."
"Begitu?"
Dia mengangguk percaya diri. "Tentu saja. Apa aku sudah menjadi pacar yang baik karena tahu semua tentangmu? Termasuk kenapa wajah pacarku sekarang berubah menjadi tomat."
Dengan enteng Tiffany menjawab, seolah tak perlu lagi berpikir panjang, tak perlu lagi ragu. Aku membuang muka dan menahan senyum lebar yang tetap merekah sekuat apapun aku berusaha menahannya. Aku ingin menghilang.
Tiffany tertawa puas. Mengayun-ayunkan genggaman tangan kami seraya berjalan menyusuri trotoar jalan yang tidak tahu kenapa malam ini terlihat indah sekali.
"Aku sudah mengatakan apa yang menjadi pertanyaan di kepalamu."
Tiffany tidak bercanda dengan kalimat bahwa dia tahu segalanya tentangku. Sekaligus memberiku catatan untuk berhati-hati ketika dia sedang dalam mode tukang goda, atau aku akan gila.
"Aku sudah mengatakan pula apa yang kurasa, aku juga jatuh cinta."
KAMU SEDANG MEMBACA
breathtaking
FanfictionJoy, mahasiswi yang cerita asmaranya begitu datar, tiba-tiba dibuat kacau oleh kedatangan dosen barunya.