[19]

1.7K 123 2
                                    

Entah sudah jam berapa sewaktu aku terbangun karena bunyi petir menggelegar sekaligus menggigil kedinginan. Hanya selimut yang melindungi badanku. Di luar masih gelap, mungkin subuh sekarang.

Sekuat tenaga aku mencoba membuka mataku yang seberat beton, melawan kantuk untuk mencari remot AC. Aku berdecak kesal karena tak kunjung menemukannya. Ayolah, aku ingin segera tidur lagi.

Namun tangan Tiffany menarikku ke dalam dekapannya. Suhu tubuhnya yang hangat langsung menjalar ke badanku. Untuk sesaat aku ingin terkejut, kami belum banyak menghabiskan waktu seperti ini.

"Tidur lagi, masih lama sebelum kelas," bisik Tiffany dengan suara serak.

"Aku kedinginan, matikan saja AC-nya."

"Aku tidak tahu dimana remotnya." Lalu kurasakan dekapan Tiffany semakin erat. "Masih dingin?"

Aku menggeleng dan terhenyak karena merasakan telapak tangan Tiffany menutupi telingaku. "Lebih hangat, kan?"

Aku hanya menjawabnya dengan bergumam. Rasanya aku menjadi bayi dalam pelukan ibu. Nyaman dan hangat, aku yakin bisa sehari penuh di sini.

"Aku tidak ingin ke kampus," kataku nyaris seperti orang berkumur.

Namun Tiffany bisa mendengar dengan baik dan bertanya, "Kenapa?"

"Aku mau di sini saja."

Tiffany tertawa kecil dan menggesekkan hidungnya ke bahuku. "Kamu mau aku memelukmu sepanjang hari?"

"Iya."

Aku jadi berbicara lebih bebas di depannya. Tidak lagi menyembunyikan perasaanku sedikitpun dan bertingkah layaknya anak kecil. Rasanya batasan diantara kami hilang.

"Kamu harus tetap berangkat, atau kamu tidak akan melihatku."

"Sekarang aku bersamamu."

"Kamu tidak mau melihatku lebih lama lagi?"

Aku menggeram pelan. Meski itu alasan yang konyol untuk tetap masuk, tapi tidak ada salahnya juga.

Lalu aku teringat Rose. Nanti aku akan pamer kalau aku juga bisa jadi sepertinya. Dia pasti bersikap heboh lagi. Pembicaraan terakhir kami juga ikut terlintas; tentang apa yang sebenarnya terjadi pada malam dimana aku mabuk.

"Fan."

"Hm?"

"Apa aku melakukan sesuatu yang lain saat kita minum?"

Tiffany diam, menggelitiki telingaku. Melihat reaksinya yang tidak langsung menjawab, aku sudah menebak apa jawabannya.

"Kamu tiba-tiba menciumku saat aku mengganti pakaianmu."

"Lalu?" tanyaku sambil berusaha menyembunyikan malu.

Aku tahu pasti begitu. Karena Rose pun juga menjadi korban mabukku. Waktu itu kami minum bertiga dan tiba-tiba aku menciumnya tepat di depan pacarnya. Itu mengapa pacarnya membenciku sampai sekarang. Sebenarnya bukan hanya karena itu dia membenciku, sebab Rose malah membalas ciuman konyol tersebut karena sama-sama mabuk. Dikiranya yang dia cium adalah pacarnya.

Karenanya Rose hampir kewalahan menghadapi pacarnya yang mengamuk dan tidak mau berbicara dengannya hampir tiga minggu.

"Kamu menggigit leherku seperti vampir."

"Hah?!"

Saking kagetnya, aku berbalik badan dan menatap Tiffany yang menutup matanya. Dia tersenyum dan menyibak rambut yang menutupi lehernya. Aku sedikit bangun untuk menengoknya dengan lebih jelas. Memang ada bekas kemerahan seperti luka kecil di sana.

Aku shock sendiri melihatnya. Sebenarnya apa yang ada di dalam kepalaku ketika mabuk sampai melakukan hal-hal aneh dan kurang ajar begini?

"Apa aku keras menggigitnya?"

Tiffany menggeleng. "Hanya seperti bayi mengulum mainannya. Setelahnya kamu tertawa sendiri, katanya leherku seperti squishy empuk. Dan kamu menggigitnya lagi, lebih keras."

Aku memekik malu dan mendesak ke dalam pelukan Tiffany lagi. Dia hanya tertawa seraya mengelus kepalaku.

"Kamu menggemaskan sekali, Joy. Aku harap kamu mabuk lagi."

"Apa maksudmu?! Aku tidak mau!"

Tawa Tiffany pecah lebih keras lagi. Akhirnya kami tidak melanjutkan tidur sampai pagi hanya untuk menceritakan kekonyolanku malam itu.

breathtakingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang