Harimau yang Mengaung dan Kamu yang Kedinginan

30 3 1
                                    

Selimut tebal beludru yang sudah lepek dan tidak dicuci selama kau memakainya masih menempel rekat di tubuhmu. Ia seperti tak mau lepas dan tubuhmu memberikan lem lengket yang membuatnya jadi lembap dan berbau pesing keringatmu. Di luar harimau yang entah kau pelihara atau tidak terus mengaung kelaparan, menunggu kita keluar. Kamu tetap meringkuk di sofa sambil menonton TV atau mungkin TV yang menonton dirimu. Kamu menyuruhku memanaskan lauk kemarin yang kubeli di warteg di microwave, tapi, aku bilang kalau makanan warteg tak bisa di microwave. Kamu menghela nafas seperti biasanya dan punggung-mu tersingkap dari selimut dan tergerai panjang rambut lepekmu. 

Tapi, aku mau telur balado hangat, katamu. 

Aku secara jujur mengatakan aku belum pernah memakai microwave seumur hidupku dan belum pernah aku melihat maupun mendengar orang menghangatkan makanan warteg di microwave. Kamu menghela nafas samanya dengan suara harimau mengaung di luar. Ia juga lapar, ia juga ingin telur balado. Aku jelaskan lagi kalau aku bisa meledakkan microwave dan membuat rumah ini hancur yang tersisa hanya harimau-mu. Harimau itu terus mengaung diiringi suara berisik TV butut yang kamu tonton. Merekam jelas politik Amerika dan kamu terus menggumam soal Donald Trump dan Joe Biden. Padahal aku bilang aku lebih suka Donald Bebek daripada Trump. Antena TV-nya yang selalu kamu bawa dan katamu tempo hari itu pernah dilempar Ibu-mu karena kamu terus-menerus menonton Donald Trump daripada mencuci baju.

Kamu membantah semua perkataanku dan Ibu-mu, kalau baju tak perlu dicuci. Bahkan, kali ini kamu tak memakai baju. Selimut itu pasti sudah mengeluh seperti harimau diluar. 

Mencuci baju hanyalah pengulangan yang tak pernah abadi, katamu. Aku bilang kalau hidup bukan sekadar cuci baju dan selimutmu. Kamu bilang dengan helaan nafas yang seperti biasanya kalau kamu tak mau hidup. Tapi, kamu pernah bilang ingin jadi ganggang di akuarium milik Pak RT yang bahkan kamu jarang sekali bertemu dengannya. 

Ganggang akuarium memang mirip seperti dirimu sekarang, tapi, tidak dengan harimau di luar, keluhku.

Potong jarimu dan beri padanya. 

Aku mengernyitkan alis, kenapa harus jariku? Kenapa tidak dengan daging kornet atau ayam kadaluwarsa yang masih kamu simpan di kulkas? Kamu bilang terserah saja, dan matamu tetap tertuju pada berita di TV sana yang membahas pembunuhan. Aku paham kenapa kamu ingin memotong jariku.

Aku berjalan menuju kulkas dan merasakan jari-jari kakiku seperti berminyak saat terkena lantai. Lantainya seperti licin terkena bensin. Mungkin karena kamu bilang bebersih tak perlu karena paling besok mati. Padahal mati dalam keadaan bersih lebih baik daripada mati bau pesing. Aku terus berjalan menuju kulkas dan mengambil daging-daging disana. Menuju pintu luar rumah dengan tangan penuh dan langkah tergopoh-gopoh.

Aku membuka pintu dan tampak harimau-mu mengapung mengambang. Bintang-bintang disana seperti menatapinya. Dan rumahmu seperti berpijak diantara bulan-bulan.


UntitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang