Bianglala dan Biang Kerok

11 0 0
                                    

Lampu-lampu temaram menyala-nyala di Pasar Malam. Kota seperti menghidupi malam untuk dia si Pemabuk. Wangi pahit menyengat menembus seluruh sudut kota. Rambut gondrong nya lupa dicuci mungkin ia tak sempat. Lupa disisir, kusut menyisir. Botol-botol ditumpahkan berserak-serak. Habis waktu untuk berjudi karena besok pagi mungkin mati. Hidup tak jelas lantang-luntung. Si Pemabuk tidak pernah suka Pasar Malam, tapi ia suka sudut Pasar yang gelap ramai orang-orang berdosa bermain-main dunia. Mungkin, ia sangat berdosa, pikirnya. Mungkin, hidup di dunia ia tak berguna, pikirnya. Mungkin, untuk dia berpikir juga sudah tak perlu lagi, karena, dia saja tak tau hidup untuk apa. Makan, minum, tidur, buang air, sama seperti sapi. Tak tau diri. Sapi kalau sudah mati ia tetap berguna, ia dimasak dan dimakan orang-orang yang menyukainya. Ia hanya sekadar manusia, tak berguna, dan mungkin seorang kanibal saja tak mau memakannya. 

Ia menatap seekor anjing dekil, liurnya seperti terjun kebawah, tak diberi kalung, tak punya nama. Seperti dia. Anjing itu seperti menunjukkan suatu tempat kepadanya, ia mengikuti. Di depannya, sinaran cahaya menusuk pupil mata. Bianglala besar bersinar gemilang. 

Ayo naik. Ucap si Anjing. Ia menatap Bianglala lagi, dan Anjing itu memutar-mutar badannya kegirangan. Sampai entah darimana ia menendang bensin, dan diatasnya, terdepat meja berisi korek. Panas, hangus, abu. Ia menatap Anjing itu nanar, sementara Anjing itu sudah kabur naik Bianglala. Bianglala yang juga terkena api membara.

Dasar, Anjing. Rutuknya. 

Pasar Malam sudah tidak ada lagi, besok-besok jangan main ke Pasar Malam lagi. Karena, seperti neraka.

UntitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang