2. Bella

4 2 1
                                    

Seiring waktu keuangan mansion makin menipis. Menu makanan yang tersaji di meja pun semakin berkurang. Dan kali ini hanya tertinggal sup dan beberapa kudapan. Keadaan yang memperhatinkan ini sudah terjadi dalam kurun waktu belasan tahun.

Dari ujung lorong mansion tua yang catnya sudah mengelupas, tampak Visca yang berlari tergopoh-gopoh ke arah Lauren. Disekanya kudapan yang tak sengaja menempel di mulut Visca. Barangkali ia sedang sarapan dan dengan terbirit-birit menyampaikan sebuah berita.

"Nona, Bella!" ucap Visca dengan terengah-engah setelah berlari dengan gaunnya yang kaku.

Lauren menegapkan pundak dayang mudanya itu. Dengan tersenyum ia menuntun dayangnya untuk menarik napas dan menenangkan diri. "Tenanglah dan bicarakan dengan jelas apa yang terjadi."

"Bella dihukum atas kejahatan menghina kerajaan. Dan sekarang ia sedang dicambuk di ruang penghukuman." Lauren menghela napas panjang. Ia tidak menyangka kejadian mengenaskan akan datang tidak lama setelah ramalan buruk kemarin.

"Kemari, akan kudengarkan dengan jelas apa yang terjadi," ucapnya sambil mengarahkan pembicaraannya ke ruang tamu.

Visca perlahan-lahan mulai bercerita tentang Pangeran kedua, Horatio yang jatuh cinta pada kecantikan paras Bella. Ia sering menemuinya secara diam-diam dan memberikan beberapa hadiah khususnya belakangan minggu ini. Menurut sepengetahuan Visca, Bella selama ini dengan halus menolak permintaan Pangeran kedua untuk menjalin hubungan mengingat celah derajat kebangsawanan yang jauh. Dan juga tunangan yang dimilikinya dari keluarga penyandang kemiliteran sekaligus jalinan hubungan yang setia selama berabad-abad.

Mungkin dengan inilah cara terakhir yang bisa dipikirkan oleh Horatio. "Jadi apa yang dikatakan oleh Bella sehingga menjadikannya dicambuk atas penghinaan keluarga kerajaan?"

Visca menghirup aroma teh Assam dan meminumnya dengan perlahan. Ia bangkit dari duduknya dan berdiri sembari memeragakan adegan Bella yang menolak pangeran muda itu.

Dengan mata terpejam dan gaya anggun khas Bella ia menundukkan kepalanya. Lalu berkata, "Semoga kehormatan dan kemuliaan selalu tercurahkan atas Pangeran Kedua, Pangeran Horatio. Maaf, untuk kesekian dan kemudian kalinya, saya menyarankan untuk Pangeran agar tidak melakukan hal-hal di luar batas."

Lauren tersenyum kecil, benar-benar Bella. Visca selalu pandai dalam hal-hal kecil seperti ini. "Lalu dengan wajah memerah menahan malu karena ditonton oleh beberapa tukang yang sedang bekerja. Pangeran Horatio melemparkan bunga yang tadinya dibawanya untuk kemudian diinjak-injaknya."

Ia beranjak pelan dari kursinya. Seraya dengan pasnya kedatangan asistennya Simon Freud. Lalu didatangilah ruang penghakiman. Pemandangan gelap yang hanya disinari cahaya senja yang muncul dari jendela menyambut kehadirannya. Di altar, nampak Bella yang tengah terbaring lemah tak berdaya. Dengan Pangeran Horatio yang menggenggam tangannya erat sembari menangis.

"Lelucon macam apa yang kulihat ini, Pangeran Horatio?" tanya Lauren miris hatinya teriris begitu melihat tubuh dayangnya yang penuh dengan bekas cambukan.

"Aku tidak menyangka mereka akan menghukum Bella sedemikian rupa, Nona," ucapnya sambil terisak pelan.


Simon, atas perintah Lauren segera beranjak untuk memanggil dokter istana. Namun, ditahan oleh Horatio. "Biar dokter kerajaan yang menyembuhkan luka Bella," ucapnya.

"Apa kau merupakan seseorang yang memiliki banyak rupa, Pangeran?" tanya Lauren sarkas. Ia tidak tahan melihat Bella yang terkapar lemah. Diperintahkannyalah Simon mengais Bella ke kamarnya.

"Saya memang patut disalahkan atas kejadian ini. Tapi, penyebab dari masalah ini tidak lain adalah Bella sendiri. Dan saya tidak bisa membiarkan kehormatan kerajaan kita tercoreng hanya karena seorang wanita rendahan." ucap Horatio sembari menahan Simon. Sementara Simon hanya menatap Lauren dari kejauhan menunggu perintah atas responnya. Lauren hanya mengibaskan punggung tangannya. Ia tak ingin menyelesaikan perdebatan yang ujungnya hanya membenarkan atas perlakuan Horatio terhadap dayangnya.

Di balkon kamar. Lauren duduk dengan menyesap teh hijau daerah Greenforest. Disesapnya perlahan aroma teh seiring panjang tarikan nafasnya. Dipandanginya dari kejauhan kepulangan diplomatik Raja Theodore El-savadas dari negara Akselania di wilayah utara El-Savadas daerah kekuasaan penghasil permata dan militer utama. Mahkota yang dihiasi oleh batu ruby berwarna hijau di tengah ukiran emas nampak gagah dengan jubah dari kulit harimau sang Raja. Diperhatikannya dari kejauhan mahkota itu.

"Ibunda, apakah itu jalan yang kau hendaki kepadaku?"


Bloody CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang