'Barisan batang-batang ketegaran mulai rapuh
Menggilas tanaman pencegah erosi hati
tertanam ratusan tahun yang lalu
Merah menyala api angkara melunakkan
angkuh yang ku pertahankan sekian lama
Kita rayakan rasa sesak di semesta yang begitu luas'-13 Juni 2023
Rumah Sakit Pelita Harapan, JakartaAku meletakkan pena ke dalam saku, menutup kembali buku bersampul hitam dan menyimpannya di bawah bantal. Lagi, aku berada di fase dimana aku merasa hampa dan kosong, terlebih aku tak bisa mendeskripsikannya dengan baik. Sehingga yang bisa ku lakukan hanya menulis beberapa kalimat dan itu cukup lega bagiku.
Tanganku tergerak untuk melepas selang oksigen. Berusaha bangkit dan mencoba mendudukkan pantat di tepi ranjang. Melepas kantung infus dari tiangnya sembari berjalan perlahan.
Kakiku rasanya seperti jelly. Apalagi tubuhku cukup sakit dan terasa kaku. Entah berapa lama aku tertidur, jam dinding bahkan sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam.
Aku menutup pintu kamar mandi seraya terus mengerjapkan mata karena pusing masih menyerang ku. Menatap pantulan wajah di cermin, aku meringis pedih. Aku menunduk, sakit di kepalaku semakin menusuk. Ku lepaskan kantung infus dan beralih memegangi kepala. Saking sakitnya ku tarik rambut palsu dan membuangnya asal.
"ARRGGHHH.. S-SAAAKIIT", teriakku. Darah di tanganku naik bahkan sampai merembes karena ulahku sendiri.
Kembali aku pandang raut wajahku di cermin. "Gue perempuan, tapi gue gak punya rambut hihi.. Miris"
"Bibir gue abu-abu"
"Gue juga gak cantik"
"DAD JAHAAAT!! AKU BENCI DAD AKU GA SUKA DAD!"
Suara isak tangis perlahan terdengar di kedua telingaku sendiri. Akhirnya, setelah sekian lama aku tidak bisa menangis kini ku luapkan semuanya sendirian di kamar mandi. Jika ada orang yang melihat kondisiku seperti ini, sudah ku pastikan mereka mengatakan aku depresi.
Tok tok tok
"Michelle? Michelle lagi di dalam ya?"
***
Suara jam dinding terdengar. Jarum panjang, jarum menit, juga jarum detik senantiasa berdenting. Pun diikuti suara bising obrolan yang tidak begitu jelas terdengar.
Butuh waktu yang cukup lama bagiku untuk menyingkirkan kabut yang terlihat sangat buram. Ketika tatapanku tak mengabur lagi, sosok Dokter Dowes adalah orang pertama yang memenuhi pandanganku.
"Nona Michelle, kau melihatku? Kau mendengar suaraku, nona?"
Aku tak pernah melihat dokter Dowes sekhawatir ini. Seolah beliau baru saja menamatkan satu film horor berkepanjangan yang mematikan.
Dokter Dowes tak henti-hentinya mengusap kepalaku lembut. Entah bagaimana perasaanku menjadi sakit melihat matanya yang berkaca-kaca tapi bibirnya tersenyum gemetar. Pandanganku beralih menatap dua perawat laki-laki yang masih menggenggam peralatan suntik.
"Apa kepalamu masih terasa sakit?", tanyanya yang hanya ku jawab dengan gelengan.
"Apa yang kamu rasakan sekarang?"
"Sakit", jawabku seraya menekan dada dengan jari telunjuk.
Dokter Dowes berhenti mengusap kepalaku dan memejamkan matanya lalu menggangguk pelan. "Kamu ingin sesuatu?"
Tadi saat di kamar mandi, aku mendengar panggilan perawat dari luar. Sontak aku langsung mendekat ke arah pintu dan membukanya. Namun ternyata tenagaku tidak sekuat yang ku kira, sehingga hanya bisa menggedornya beberapa kali dari dalam. Lalu perawat yang ada di depan langsung mendobrak pintu dan berhasil terbuka.
Aku tak tahu apa yang aku rasakan, tetapi aku menangis histeris tak mau mendekati keduanya. Alhasil, salah satu dari mereka mencekal paksa lenganku dan menyuntiknya sampai aku merasa kembali tertidur.
"Aku ingin keluar, ke taman"
Lelaki berkepala lima itu menggeleng keras. "Kali ini aku tidak bisa menuruti keinginanmu yang itu. Kamu masih lemas, Michelle. Kasihan tubuhmu nanti"
"Hanya tubuh? Dokter gak merasa kasihan sama aku? Aku pingin cari angin, sebentar!", aku menatapnya nyalang.
Emosiku kembali naik karenanya, apa sih susahnya? Aku sudah sangat suntuk disini, melihat infus, dinding putih, sofa, beberapa makanan yang sama sekali tak ingin ku sentuh.
"Baiklah, demi Michelle. Kuberi waktu maksimal 20 menit dan kamu harus sudah kembali. Minum obatmu, dan tidur!"
***
Semilir angin malam menerpa wajahku, hingga angin-angin tersebut kian bertambah kencang. Mungkin jika seseorang yang bersurai panjang dan rapih akan semakin terlihat berantakan. Dan sayangnya, aku tidak bisa merasakan itu.
Aku menyapu pandangan ke penjuru taman. Saat itu taman penuh dengan anak-anak yang bermain ditemani orang tua atau pengasuhnya. Namun sekarang terlihat sepi, hanya terdapat tiga perempuan dewasa yang duduk di tepi pancuran. Mungkin karena sudah malam dan tidak ada lagi orang-orang yang datang menjenguk.
Dering ponsel milik Sheva—perawat laki-laki yang biasa mengganti infus, berhasil membuyarkan lamunanku. Buru-buru ia merogoh saku celana dan menatap layar handphone-ya.
"Michelle, aku angkat telepon dulu disana ya?", sembari menunjuk halaman depan rumah sakit. Jaraknya sekitar 15 meter dari tempatku. Aku mengangguk, Sheva mengelus kepalaku sekilas dan langsung berlari menjauh.
Aku mendengus kesal, lagi-lagi aku harus sendirian. Padahal aku ingin bertanya padanya sedikit tentang Andrew. Ya, tiba-tiba saja aku kepikiran tentangnya. Apalagi saat suster Ica menceritakan sosok pria itu, aku menjadi penasaran.
"Itu yang namanya Andrew kemarin di taman. Sepertinya aku sekarang mengidolakannya, hihi.."
"Sepertinya suster tahu banyak tentang dia"
"Tdak begitu Michelle. Aku pernah dua kali merawatnya, dia seumuran denganku dan setahuku dia adalah penyanyi. Ya itu lihatlah sendiri di hp mu"
"Tapi dia kan sakit?"
"Nah, bahkan dokter Clara yang menanganinya hampir marah karena Andrew begitu keras kepala. Dia tahu dirinya sakit tapi dia tetap mau bernyanyi dengan teman-temannya. Disitu aku tanyakan apakah punya grup band dan dia jawab ada. Katanya Andrew member baru, maka ku tanyakan apa medsos grup band nya. Huh seharusnya waktu itu ku tanyakan saja medsos miliknya pribadi"
Aku menjalankan kursi roda ke arah pohon besar. Tempat dimana Andrew diolok-olok oleh anak kecil tiga hari lalu. Mengapa ku sebut pohon besar? Karena aku tak tahu apa namanya dan itu satu-satunya pohon yang paling besar disana.
Saat berada di latar yang berkerikil, aku merasa kursi roda mendadak mulai tidak beraturan jalannya. Andai rodanya sedikit besar dan kuat mungkin tidak akan seperti ini. Jalannya semakin menakutkan, bergerak ke kanan kiri seperti ingin roboh.
"Aaakkh"
"Ck, jangan ke area ini!"
Seseorang menarik kursi rodaku ke belakang dan menghentikannya. Jantungku terasa ingin copot, ku kira ada hantu yang usil menjahiliku. Aku menoleh ke belakang, pria berpakaian serba hitam berjalan memunggungiku. Sebal sekali rasanya sudah membuatku terkejut lalu pergi sesuka hati.
"Woy! Balik gak lo?!"
***
°Dan aku mulai menyebutnya sebagai laki-laki pemberani yang keras kepala°
KAMU SEDANG MEMBACA
Inaffable
PoetrySudah setahun lamanya, hari-hariku hanya merebahkan punggung di ruangan serba putih. Miris, tak punya teman ngobrol selain dokter dan beberapa perawat. Sampai tiba di suatu hari aku lelah dengan keadaan dan kondisiku yang monoton, aku mencoba bangun...