Saat membuka mata, yang pertama kali ku lihat adalah langit-langit ruangan berwarna putih. Pun dengan dinding kanan kiri dominan ber-cat putih. Juga diikuti aroma obat-obatan yang memuakkan, hingga aku tersadar bahwa kini berada di rumah sakit. Kembali ku putar memori ingatanku bagaimana bisa aku terbaring disini sendirian.
Belum juga mengingat, suara ketukan pintu di sebelah kananku terdengar. Reflek aku sedikit berteriak mengatakannya untuk masuk.
"Halo, selamat siang nona kecil"
Wajah bergaris keriput, alis tebal, dan tubuh tegap tersenyum lembut padaku. Aku membalasnya dengan menipiskan bibir. Dengan badan yang terasa lemas seperti sehabis berlari, aku berusaha mencoba duduk.
Disana, dokter tua ber-nametag Dowes melunturkan senyumnya, menatap tajam ke arahku dengan tangan berkacak pinggang. Ia berjalan mendekat dan menahanku untuk bergerak. "Haish. Sudah ku bilang janganlah banyak gerak, nona Michelle. Kondisimu masih cukup lemah, belum membaik. Tetap berada di posisimu semula"
"Gak mau, aku capek tiduran"
"Baiklah, minum dulu"
Aku menerima gelas dari tangannya dan meneguknya dua kali. Ku letakkan kembali di meja nakas samping kananku.
"Apa yang sekarang kamu rasakan?", aku mengangguk kecil, lalu menggeleng. Sedangkan bapak dokter itu menaikkan alisnya bingung. Tangannya terulur mengacak rambut poniku. Itu adalah hobinya, sejak dulu hingga sekarang. Hobi yang buatku kesal karena sudah merusaknya. Wajahku jadi semakin tak indah dipandang karena poni palsu yang acak-acakan.
"Hentikan dok. Dokter merusaknya!"
Dokter Dowes-dokter khususku di rumah sakit. Beliau lagi-lagi menyunggingkan senyum manisnya. Jika ada yang bertanya berapa banyak beliau tersenyum padaku, aku tak bisa menjawabnya. Ku jawab seribu kalipun sepertinya terlalu sedikit. Entah sudah berapa kali dokter Dowes tersenyum untukku. Senyum menenangkan sekaligus memberikan kesan menyedihkan.
Jujur aku tak suka beliau tersenyum begitu. Mungkin karena aku merasa dikasihani, atau mungkin aku merasa tak cocok dihibur berkali-kali. Tetapi dokter Dowes selalu saja menganggap bahwa beliau adalah orang yang bisa ku andalkan kapanpun dan di manapun. Padahal belum tentu, bisa saja aku membutuhkannya disaat beliau sibuk mengurus pasien lain. Tapi setahun terakhir aku belum pernah melihat dia bersamaku disaat mereka sekarat.
"Sudah jangan melamun. Fokus pada kesehatanmu nona. Beberapa menit lagi makan siang datang, dan wajib hukumnya untuk dimakan. Bukan dibuang di toilet. Mengerti?", ucapnya panjang lebar dan menekan kata toilet.
Aku terkikik geli, darimana dokter satu ini tahu jika aku sering membuang makanan di toilet. Bukannya dimakan, aku membuangnya karena rasanya yang hambar. Mungkin terasa enak di orang lain, tapi bagiku tidak. Entah lidahku yang mati rasa atau memang makanannya tidak enak aku tak tahu. Tapi pertanyaannya bagaimana dokter Dowes bisa tahu?
Baru saja hendak ku tanyakan, dokter Dowes sudah menyentil keningku pelan. "Gak perlu tanya aku tahu darimana. Gelagatmu sudah kelihatan. Aku selalu bilang, aku itu punya indera ke enam, kau tahu?"
"Udah gak ada lagi manusia berindera ke enam, dok. Itu cuma orang-orang dulu aja, kakek nenek moyang kita"
"Oh begitukah? Ya anggap saja aku adalah turunan mereka"
"Mana bisa begitu. Dokter Dowes baru lahir kemarin"
"Haish! Kebalik itu. Kamu yang baru lahir kemarin, nona. Masih bau minyak telon juga masih bandel"
Aku tak bereaksi apapun, hanya diam dan menunduk. Lagi-lagi aku tersadar bahwa aku sebenarnya anak yang bandel. Dokter Dowes benar, aku masih sangat anak kecil sampai-sampai membuat Dad marah berujung memarahiku habis-habisan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Inaffable
PoésieSudah setahun lamanya, hari-hariku hanya merebahkan punggung di ruangan serba putih. Miris, tak punya teman ngobrol selain dokter dan beberapa perawat. Sampai tiba di suatu hari aku lelah dengan keadaan dan kondisiku yang monoton, aku mencoba bangun...