Keno masuk begitu saja ke dalam rumah sesaat setelah melempar jaket ke sembarang arah. Cowok itu membuang napas panjang, menyandarkan punggung pada sofa. Matanya tertutup, samar-samar ia mendengar suara langkah dari arah dapur.
"Salah satu guru di sekolah kamu bilang kamu tidak ikut PTS hari ini."
Keno beringsut duduk. Pandangannya jatuh pada lantai, seolah tak ingin bersitatap dengan sang papa.
"Temen aku pingsan, jadi aku anter dia pulang ke rumah. Aku capek, mau istirahat." Tanpa mengucapkan apa-apa Keno beranjak menaiki anak tangga dan berjalan ke kamarnya. Usai membuka pintu terlihat Ren sedang membaca buku di atas ranjang.
Cowok itu menyadari keberadaan Keno, lantas tersenyum dan menutup buku. "Lo udah pulang, dari mana?"
Keno tidak menjawab, hanya berjalan pelan mendekati tempat tidur. Duduk bersandar. Saat ini dia sedang tidak ingin mencari masalah, wajar saja membiarkan Ren tetap berada di kasurnya.
"Gue lagi capek, nggak usah cari ribut."
Ren terkesiap, ucapan Keno selalu berhasil membuat nyalinya ciut. Tapi bukan Ren kalau tidak berusaha mencari topik pembicaraan."Lo inget nggak? Dulu pas kita pulang sekolah, lo ajak gue main padahal gue lagi belajar. Karena itu kita dihukum bareng sama Om Radit."
Ren mengulas senyum ketika mengingat momen itu. Siang hari dihukum berdiri di atas balkon yang panas dengan satu kaki terangkat dan tangan menyentuh telinga. Tapi mendadak saja raut wajah yang semula ceria berganti dengan raut wajah murung. Seharusnya ia bahagia, bukan sedih.
"Besok, Mama-Papa gue pulang."
"Oh," ujar Keno datar. Tangannya membenarkan posisi bantal, lantas merebahkan tubuh di sana.
"Gue bakal pulang ke rumah lama."
"Mau lo pulang atau nggak, Papa gue bakal selalu minta lo tinggal di sini."
Ren tersenyum getir. Memang benar kata Keno, mau ia pulang atau tidak semuanya akan tetap sama. Raditya tidak akan membiarkan Ren pergi jauh darinya. Karena kontrak asuh juga belum sepenuhnya habis. Terkadang Ren bertanya pada dirinya sendiri, dia bukan barang yang bisa dibeli orang lain. Dia juga manusia, tapi tidak ada yang menganggap dia manusia.
Orang-orang hanya mau otaknya, tidak peduli pada rasa sakitnya.
Bak berlian di dalam kaca.
Harus menghancurkan kacanya dulu baru mengambil si berlian.
Cukup lama keheningan menyelimuti ruangan ini sampai Ren kembali mencairkan suasana.
"Em ... Ken? Lo belum tidur kan?"
Keno tidak menyahut.
"Gue mau cerita. Gue udah ketemu sama dia, cewek yang pernah gue taksir pas kelas sepuluh. Kemarin Gue ajak dia ke pameran sekolah."
Spontan Keno membuka mata lebar-lebar.
Menoleh ke arah Ren di sampingnya."Lo tau cara dapetin hati cewek?"
Pertanyaan itu membuat Ren kebingungan. "Mungkin," jawabnya tak yakin.
"Kira-kira gimana ya caranya, supaya gue bisa dapetin hati cewek yang gue suka?"
"Lo suka cewek?"
"Gue nggak homo!"
Ren tertawa. Keno dibuat jengkel oleh pertanyaan bodoh itu.
"Gue serius, Ren!"
Ren langsung menghentikan tawanya, kali ini ia berubah serius.
"Kalo menurut gue, cewek itu suka sama hal yang lucu-lucu. Kayak bunga, boneka, coklat."

KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable | Dear Diary | End
Teen FictionIneffable adalah sesuatu yang melampaui kemampuan bahasa untuk mengungkapkannya. Arti lain adalah "tak terlukiskan". Ada banyak kisah yang ditulis di cerita ini, salah satunya Abel. Gadis berkulit sawo matang yang tidak percaya akan cinta. Abel piki...