Bab 12 -- Bertemu

23 2 0
                                    

Uap hangat menguar dari secangkir cokelat yang baru saja datang. Kamel sengaja memesan minuman rasa cokelat, meskipun di menu terdapat pilihan matcha. Usai kuliah terakhir, tepat selepas zuhur, Kamel langsung datang ke kafe Cold n Brew. Semalam suntuk, setelah berpikir panjang, Kamel memang harus memberikan kejelasan pada Juvena. Selain agar Juvena tidak mengejarnya terus, Kamel pun teringat oleh pembicaraan orang tuanya, bahwa siapapun pelakunya mereka sudah ikhlas atas kepergian Rino. Rasanya, Kamel jadi terlalu egois, memikirkan diri sendiri yang belum terima adik laki-laki tersayangnya pergi tanpa pamitan.

Kamel : "Saya sudah di kafe, Kak."

Satu pesan singkat dikirimkan Kamel, bermaksud memberi kabar. Supaya cowok itu tidak melupakan janjinya. Sudah bagus, kan, apabila Kamel yang memberi kabar lebih dulu. Padahal, sebelumnya nomor Juvena sengaja diblokir sementara agar cowok itu tidak terus-terusan menghubungi.

Kursi dekat jendela menjadi pilihan Kamel. Ia jadi bisa melihat keadaan luar. Lalu lalang kendaraan menjadi pemandangan di kala dirinya menunggu. Ditambah, teduhnya langit yang kelihatan mendung. Mungkin, hujan sebentar lagi akan datang menyapa bumi.

"Kamel, ya?"

Bukan. Bukan suara Juvena yang menjadi penantian Kamel, tetapi orang lain. Itu adalah Aldino, yang kemarin sempat berbincang, meski hanya sebentar, sebab Juvena menginterupsi di pertengahan waktu.

"Eh, Kak Aldino? Ngapain di sini?" Kamel spontan berdiri dari kursinya. Bermaksud menyambut Aldino yang kini tersenyum ke arahnya.

"Kerja, Mel. Aku part timer di kafe Cold n Brew ini."

Kamel duduk lagi sambil menaikan kedua alisnya. Jadi, selain kuliah, Aldino kerja part time juga? Wow. Keren.

"Serius? Keren banget, Kak."

"Panggil Mas aja, Mel. Terus, bicaranya santai aja lagi. Nggak usah tegang gitu mukanya."

Justru, karena Kamel pernah menaruh rasa kagum pada Aldino, sehingga ia menegang, sekaligus menahan malu yang mulai merajai. Kalau bisa kabur, Kamel akan lakukan, tetapi ia teringat ajakannya pada Juvena.

"Ma-maaf, Mas. Maklum, kita, kan, belum pernah kenal sebelumnya." Kamel gugup selagi meremas roknya sendiri. Ia berharap, Juvena segera datang.

"Nah, gitu, dong, Mel. Oh, ya. Aku kerja dulu, ya. Kalau butuh apa-apa, panggil aja. Aku selalu sedia setiap saat, kok."

Setelah itu, Aldino kembali ke tempatnya semula. Tinggallah, Kamel yang masih bersiteru dengan detak jantungnya sendiri. Berdebar tidak karuan, seperti ingin melompat keluar dari peraduannya.

"Parah kamu, Mel. Udah lama move on, tapi kenapa masih salting brutal aja, sih?" Kamel merutuki diri. Beberapa menit lewat, Juvena datang sedikit tergopoh-gopoh. Napasnya tersengal, seperti habis dikejar maling.

Kamel menegakkan kembali tubuhnya. Diminumnya cokelat hangat yang mulai berubah dingin itu. Kali kedua, debarannya menggila, Kamel rasa ia butuh obat jantung.

"Maaf, telat. Tadi, ada keperluan sebentar sama dosen," ujar Juvena sambil melepas jaketnya, kemudian melipat sekenanya. "Aku pesenin makan, ya?" Lalu, cowok itu bergegas memesan, tanpa menunggu jawaban Kamel. Selalu begitu, tetapi kali ini Kamel tidak mengelak. Justru itu, ia merasa terbantu. Karena, Juvena telah hafal menu makanan atau minuman yang disukainya.

"Eh, ternyata kamu udah pesen, ya? Nggak apa-apa, kan, tadi kupesenin lagi? Minuman kesukaanmu, iced matcha latte."

Kamel tersenyum, meski tipis. "Nggak masalah. Saya memang sengaja pesan minuman cokelat dulu. Soalnya, lidah saya sempat merasa pahit," jelasnya santai.

WHEN I MEET YOU WITH BOBA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang