SR - 18

115 13 2
                                    

Ok, aku mau menghilang rasanya. Bagaimana bisa aku mikir kalau selera Brisa se-om-om itu? Terus cemburu?

Ya ampun, Kael!

Duduk di sebelah Brisa setelah jam istirahat pun jadi serba salah. Beberapa kali aku melirik gadis itu, dan merasa malu sendiri. Padahal Brisa balas lirikanku pun enggak. Dia fokus menatap papan tulis, memperhatikan angka-angka dari pelajaran matematika yang rumit, tapi enggak serumit pikiranku saat ini.

Ternyata aku enggak mengenal Brisa sedalam itu. Kalau dipikir-pikir, aku enggak pernah tahu kalau Brisa punya om yang sangat dekat dengannya. Sial! Daud dan Jo enggak ngasih informasi apa pun mengenai si om ini.

Sontak aku menoleh ke belakang, tepat sekali saat Daud kebetulan sedang menoleh ke arahku. Kusipitkan mata ke arahnya dengan penuh peringatan, membuat yang kutatap mengernyit enggak paham. Kuputar mata, dan menoleh pada Brisa yang ternyata juga sedang menatapku.

Senyumku mengembang kikuk. "Kenapa, Bris?" tanyaku pelan, enggak nyangka beradu pandang seperti ini.

"Itu," digerakkannya dagu ke arah depan. "Disuruh jawab soal nomor 5."

Segera kugigit bibir, menatap ke depan dengan meringis. Terlihat Ibu Junita guru matematika menatapku dengan tangan terlipat di bawah dadanya. Sejak tadi, aku bahkan enggak mendengar apa pun yang dijelaskan. Lalu, bagaimana aku menjawab soalnya yang terlihat rumit dan mematikan di papan tulis?

"Kaelus," suara Bu Junita menggema, "nomor 5!"

Aku berdiri enggak jauh dari gerbang saat pulang sekolah, menatap Brisa yang menaiki mobil yang kemarin menjemputnya. Sementara Jo dan Daud berdiri mengapit dengan tangan-tangan yang bergelayut di kedua bahuku.

"Gue enggak dapat informasi apa pun mengenai si om ini," kataku pelan.

"Karena gue baru tahu juga kalau Brisa punya om yang deket." Daud menyahut.

"Gue pikir, itu bukan informasi penting. Makanya gue enggak bilang," sahut Jo, membuatku menoleh padanya dengan segera.

Mataku sepertinya melebar, bikin Jo seketika menarik tangannya dari pundakku. Kalau dilihat dari reaksi tubuhnya, kayaknya dia siap-siap mau kabur.

"Gu-gue salah ya?" tanyanya gelagapan.

Sebelum dia bisa kabur, kutarik bahunya  sehingga tubuhnya yang nyaris menjauh merapat lagi. Gigiku gemeletuk. Maunya marah, tapi bukan salahnya juga. Jadi setelah mencengkeram bahunya, kepalaku malah tertunduk lunglai.

"Lo enggak salah," kataku pelan. "Gue yang lebay." Lalu, kulepas cengkeraman dari pundaknya. Tapi, ingat gimana rasanya hatiku nyut-nyutan selama dua hari belakangan karena cemburu, atau bagaimana tadi aku marah sama anak-anak di kantin cuma gara-gara enggak suka Brisa diomongin pacaran sama om-om, lalu muka Noel yang mencibir karena ketidaktahuanku, bikin rasa maluku muncul lagi.

Terlebih ketika Noel tiba-tiba lewat di hadapanku, menyeringai seolah-olah menertawai kelakuanku di kantin tadi.

"Ada masalah sama Noel?" Jo bertanya penasaran.

Aku malas menjawab. Jadi aku hanya melangkah ke arah parkiran sepeda.

"Enggak mau nongkrong dulu?" Daud berseru.

"Tidur siang di taman belakang dulu?" Jo menimpali.

Aku hanya mengangkat tangan kananku tanpa menoleh. Melambai-lambai tanda enggan dengan ajakan mereka. Aku rasa aku butuh melakukan hal yang lebih berharga dari sekadar nongkrong atau tidur siang.

Dua hariku tanpa Brisa sudah terasa hampa. Apalagi diisi dengan dada yang berdenyut karena rasa khwatir dan cemburu. Ini semua karena dia yang enggak bisa dihubungi sama sekali, dan ketidaktahuanku tentang cowok yang bersamanya ternyata adalah keluarganya sendiri.

SWEET REGRETSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang