SR-03

175 37 18
                                    

Written by Putrie-W



Aku tiba di sekolah bersamaan dengan anak baru itu. Dia turun dari mobil mewah yang sudah pasti membuatnya jadi pusat perhatian. Beberapa murid perempuan menghampiri Kael, entah membicarakan apa, tapi terlihat jelas anak-anak itu kegirangan berhadapan dengan Kael. Kael menanggapi para gadis dengan tersenyum. Lalu saat aku sudah mengayuh sepeda sampai melewati dirinya yang berdiri di depan gerbang, Kael berlari sambil menyapaku.

"Pagi, Brisaa!"

"Hemm. Pagi."

"Jadi, kamu ke sekolah naik sepeda, ya?"

Kamu. Dia bilang kamu. Memangnya kami punya hubungan apa sampai-sampai dia sopan begitu? Terus kenapa, sih, panggilnya Brisa? Semua orang biasa manggil aku Ilona.

"Lo kira ini odong-odong? Pakai nanya lagi. Terus lo ngapain ngikuti gue?"

Tahu nggak, sih? Kael itu dari depan gerbang berlari untuk menyamaiku yang masih mengayuh sepeda sampai ke parkiran. Rambut lurusnya bergoyang-goyang seiring langkah yang dia ambil. Kalau aku jadi dia, aku pasti sudah ngos-ngosan, tapi cowok bernama Kael ini kayak enggak terpengaruh sama sekali. Dia masih bisa senyum ke aku. Kurasa staminanya cukup bagus.

"Aku mau bareng kamu ke kelas."

Astaga. Geli banget dengarnya, aku sampai gosok-gosok kuping. Mana ekspresi Kael sok dibikin imut.

"Enggak usah barengan kali. Lo bukan anak kecil yang apa-apa mesti ditemenin."

"Tapi aku maunya sama kamu," sahutnya lembut, lalu memamerkan deretan giginya yang putih.

Ampun! Apa ada penjelasan kenapa si anak baru ini nempel-nempel terus sama aku?

"Enggak capek naik sepeda?"

"Enggak."

"Ya wajar enggak capek. Kamu ngayuhnya pelan, persis kayak bawa odong-odong "

Tawa Kael yang sudah keluar seketika lenyap ketika aku melotot padanya. Anak ini beneran aneh. Dia yang nanya, dia yang ngejek. Boleh dipaketin ke Antartika enggak, ya?

Aku turun dari sepeda, berjalan santai menuju kelas, dan mengabaikan Kael yang tadi senyum-senyum enggak jelas di dekatku. Karena memang enggak peduli dengan Kael, begitu enggak ada pertanyaan lagi darinya, aku kira dia sudah enggak ada di sekitarku.

"Kamu udah sarapan?"

Dahiku mengernyit. Barusan dia setengah berlari mendahuluiku, lalu berjalan mundur sambil menyodorkan beberapa cokelat kecil seperti yang dia berikan kemarin. Apa tadi dia diam beberapa saat untuk memeriksa persediaan cokelatnya?

"Udah."

"Ya udah. Ini pakai ganjel perut kalau kamu mulai lapar."

Kenapa dia gigih banget? Sudah kutolak, tapi dia malah tetap memaksa.

"Lo kok maksa, sih?"

"Aku tulus ngasihnya, Brisa. Apa salahnya, sih, diterima? Banyak tahu anak-anak kecil di jalan yang pengen banget bisa makan cokelat."

Dia mau bilang kalau aku ini orang yang enggak bersyukur, ya? Menyebalkan.

Kuambil cokelat itu, kemudian memasukkannya ke saku rok.

"Udah gue terima. Puas? Sekarang menjauh dari gue. Eneg gue pagi-pagi udah jadi pusat perhatian karena lo."

Itu fakta. Dari tadi badanku rasanya panas karena mendapat tatapan berbagai makna. Ada yang terang-terangan ngasih jari tengah ke aku, ada yang bisik-bisik sambil menatap ke arahku. Penyebabnya ya sudah jelas karena seorang Kael berjalan di sampingku. Dari kemarin efek kedatangan Kael belum juga mereda. Kemarin sewaktu pulang sekolah bahkan ada yang enggak tahu malu minta nomor Kael, nanyain rumahnya di mana, sudah punya pacar belum. Heran. Segitu gantengnya, ya, Kael?

"Biarin ajalah. Aku juga enggak peduli sama mereka."

"Kael, terserah lo mau anggap gimana tentang cara mereka natap lo, tapi jangan libatin gue. Gue enggak suka jadi pusat perhatian kayak gini. Jauh-jauh deh dari gue."

Langkah Kael seketika terhenti. Aku enggak paham kenapa, tapi dia tiba-tiba mendekat dengan tatapan senang yang sangat kentara.

"Kamu manggil namaku, Brisa?"

"Ya? Kenapa? Itu nama lo, 'kan?"

"Iya! Itu nama aku! Aku senang banget kamu mau manggil namaku!"

Bulu kudukku berdiri. Cuma karena kupanggil, dia sesenang ini. Hiii! Sepertinya dia memang aneh.

🌼

Negosiasiku dengan anak-anak di kelas gagal total. Mulanya semua berjalan baik. Ada beberapa anak cewek yang mau tukar tempat duduk denganku, tapi cowok bernama Daud-kalau enggak salah ingat-tiba-tiba datang dan ngajakin seisi kelas buat ke kantin. Bukan cuma sekadar ngajakin, tapi Daud bilang mau ngasih deposit ke tiap anak di Ibu Kantin biar mereka seminggu ke depan enggak perlu bayar. Otomatis aku jadi dikacangin. Semua anak-anak segera meninggalkan kelas, menyisakan aku dengan Kael berdua saja.

Di sini, uang adalah prioritas. Namamu akan bersinar saat isi dompetmu tebal dan makin mendapat pengakuan ketika kamu mau menghamburkan uang untuk orang sekitar.

Hah. Daud mengacaukan usahaku. Dan si murid baru itu sedang membekap bibirnya dengan telapak tangan. Walau enggak kelihatan jelas, tapi aku tahu dia sedang ingin menertawakan kegagalanku untuk menjauh darinya.

"Kenapa berusaha sekeras itu, sih? Aku enggak akan ngapa-ngapain kamu, Brisa."

Dari pagi cowok ini menggangguku dengan berbagai pertanyaannya yang enggak penting. Yang lebih parah, ada saja siswi-siswi yang menghampiriku cuma buat nanya Kael suka apa, Kael tinggal di mana, Kael sudah punya pacar belum. Tolonglah. Ke mana perginya kehidupan sekolahku yang damai selama ini? Normal banget kalau aku enggak mau dekat-dekat sama dia. Tapi dia dengan santainya bertanya kenapa aku begini.

"Lo sadar enggak, sih, kalau lo itu aneh?"

Dari bangku sisi kanan depan, aku berjalan ke bangku tengah di mana Kael sedang duduk. Dia menatapku dengan sedikit teleng dan itu bikin aku tambah kesal. Sikapnya seolah-olah enggak paham apa maksudku. Seharusnya dia yang paling paham apa arti dari semua tindakannya sejak kemarin.

"Aneh?"

"Gue emang banyak diam, tapi gue merhatiin kalau lo cuma care ke gue. Cewek-cewek lain pada lo abaikan. Lo ada maksud buruk ke gue, ya?"

Kael tertawa kecil.

"Mana ada. Aku cowok baik-baik. Kamu terlalu banyak berpikir, Brisa."

Aku menarik kuat dasi Kael sehingga membuat tubuhnya condong. Dia kelihatan agak kaget karena sikap tiba-tibaku.

"Lo ngerencanain apa? Nyulik gue buat dijadiin kesenangan pribadi? Lo mau memunculkan image pangeran yang berhasil bikin gue tunduk? Apa, sih? Bilang sekarang."

Sudah telanjur kesal, sekalian saja aku luapkan emosi. Dia juga enggak segan menyerangku dengan jurus-jurus pendekatannya. Jadi, aku enggak perlu sungkan untuk memperingatinya.

"Wow. Wow. Chill, Brisa. Aku enggak ada maksud aneh-aneh. Apa salahnya kita jadi teman?"

Teman? Apa itu? Nama lain dari parasit, ya?

"Catat, Kael. Gue enggak butuh teman yang cuma datang pas mereka mau sesuatu. Sebagai cewek Aquarius, gue mandiri, gue bisa apa-apa sendiri, dan gue enggak butuh kepalsuan lo."

Tawa Kael mencuat perlahan. Dia memperbaiki posisi duduknya sambil menarik dasi yang sejak tadi masih aku cengkeram. Kael berdiri dan mendekatiku. Aku enggak gentar, malah aku tatap dia dengan sengit.

"Aku cowok Gemini, Brisa."

Hemmm?

"Aku enggak gampang nyerah," lanjutnya.

Dapat keuntungan apa sih dia dengan jadi keras kepala gitu?



Bersambung.

*
*
*

Emang Gemini seenggak menyerah itu ya? Apa ini karena akar-akar bucin sudah mulai bersarang?

SWEET REGRETSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang