SR-05

132 28 3
                                    

Written by Putrie-W

Salah satu alasan aku enggan mengundang siapa pun ke rumahku adalah untuk menghindari keingintahuan yang enggak penting. Selama ini aku sangat nyaman hidup sendiri, bicara seperlunya di sekolah dengan siswa-siswi lain, lalu pulang dan kembali bergulung dengan hening. Tapi kehadiran Kael merusak apa-apa yang sudah berjalan normal di hidupku. Dia memaksa kemari, menanyakan hal-hal pribadi yang sebetulnya ingin kusimpan sendiri saja. Si anak baru itu jadi tahu kalau Mama sudah enggak ada. Awalnya aku enggak ada maksud untuk memberitahunya, tapi entah apa yang mempengaruhi sehingga aku mengeluarkan jawaban yang sempat membuat wajah Kael terlihat sedih.

Dia kasihan padaku, tapi aku enggak membutuhkan itu.

"Selamat. Lo udah tahu salah satu hal penting dalam hidup gue. Jangan jadi serakah dengan minta pertemanan. Sana, pulang."

"Aku enggak mau pulang sebelum jadi teman kamu."

Aku membenturkan kepala pelan ke sebuah buku yang baru saja aku rapikan. Kapan, ya, terakhir kali aku merasa frustrasi? Kael ini sangat hebat karena bisa membuatku lelah atas gangguan-gangguannya.

Bagiku pertemanan itu bukanlah suatu kewajiban. Apa gunanya punya teman, tapi saat dibutuhkan mereka malah enggak ada? Jangankan teman, orang yang sudah membuat janji suci di depan Tuhan saja bisa mengingkarinya.

Seperti Papa.

Ya, ya, aku tahu Mama sudah enggak ada dan Papa enggak ada lagi kewajiban untuk setia. Tapi karena melihat contoh yang seperti itu, kepercayaanku pada sekitar jadi terus menurun. Terlebih lagi dengan Kael yang asing dan janggal karena sejak kemarin ngotot ingin menjadi temanku.

"Temenan, ya, Brisa? Aku anaknya baik, enggak akan bikin kamu nangis."

"Apaan, sih? Pulang sana."

"Enggak mau pulang. Aku mau sama kamu."

Hii! Kenapa anak-anak cewek bisa suka sama Kael? Mereka belum tahu saja kalau cowok idaman mereka itu sebenarnya aneh.

"Terserah lo."

Aku mengangkut buku-buku di meja, lalu meninggalkan Kael untuk ke lantai atas. Begitu hendak kembali ke bawah, Kael sudah berdiri di anak tangga terakhir. Dia menyandar pada railing tangga dengan kedua tangan terlipat di dada. Setelah aku sengaja berlama-lama di kamar, kupikir dia bakal pulang.

"Eh, Brisa. Udah datang ternyata."

Senyumnya mengembang sempurna. Masih teka-teki kenapa dia ramah banget ke aku, tapi sama cewek-cewek lain dia itu jutek. Di sekolah hari ini aku melihat dia berkali-kali mendapatkan hadiah dan satu pun enggak ada yang diterima.  Kepopulerannya seperti enggak berarti karena Kael mengesampingkan semua efek itu.

"Ini rumah gue. Lo mau gue enggak muncul lagi?"

Aku berjalan ke dapur, mengambil air dingin serta satu bar cokelat dari lemari pendingin.

"Jangan judes-judes, Brisa. Kamu enggak takut cepat tua, ya?"

"Tua itu pasti. Ngapain takut?"

Kok bisa ada orang enggak tahu malu begini, ya? Aku sengaja enggak nawarin minum biar dia cepat pergi, tapi ternyata dia kembali ke ruang tamu dan kembali dengan sebotol air, lalu ikut duduk di meja makan denganku.

"Aku bawa air sendiri, kok. Tenang aja."

Dia nyengir. Santai banget hidup seorang Kael, ya.

"Ngomong-ngomong, itu cokelat, 'kan?"

SWEET REGRETSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang