Di suatu tempat, 1964Terdengar suara derap kaki dua perempuan bersahut-sahutan, di kaki gunung yang seperti tak berpenghujung itu, mereka mencoba mencari barangkali ada tempat untuk mereka bersembunyi. Mereka tahu tak ada tempat di bumi ini yang mau menerima mereka dan cita yang mereka punya untuk berdua. Walau dengan rasa bersalah, mereka masih mendambakan restu, kiranya ada yang sudi menerima cinta mereka berdua tanpa mencela, tanpa menghina, tanpa mencederai. Sungguh, mereka inginkan itu.
Hari semakin gelap, kedua manusia itu memutuskan untuk istirahat sejenak. Tenaga harus ditabung lagi, mereka yakin bahwa sebentar lagi hal yang lebih melelahkan akan mendatangi mereka. Untuk itu, menyediakan waktu untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya yang lelah adalah sebuah keharusan saat ini.
Dengan beralaskan dedaunan, mereka berdua berbaring sambil melihat ke arah langit yang tampilkan bulan dan para bintang yang terang.
“sungguh cantik-“ lirih salah satu dari dua perempuan itu“-tapi belum sanggup kalahkan kecantikan nona” sambungnya.
Si nona mengulum senyum lalu menoleh ke arah sumber kalimat pujian tadi, mengamati paras ayu sang kasih hati yang tengah asyik memandangi indahnya langit malam.
“Bahkan saat hanya ada kita berdua, kamu masih saja panggil aku nona” perempuan itu berucap sambil membelai lembut pipi kanan perempuan yang sudah memujinya tadi.“Maaf, saya terlanjur terbiasa”
“Minji, jangan panggil aku nona lagi”Selesai dengan membelai pipi gadis yang rupanya bernama Minji itu, sekarang perempuan ini inginkan yang lain. Di usap-usapnya lengan Minji beberapa kali hingga akhirnya Minji ingat ini pertanda apa, perempuan yang sibuk mengusap lengannya itu inginkan sebuah pelukan. Tanpa pikir panjang langsung Minji lakukan, pelukan itu ia persembahkan.
“Kamu tahu namaku, panggil namaku”. Minji tentu dengar jelas suara perempuan yang berada di pelukannya. Dia ingin lakukan permintaan itu namun dia ragu, masih ada rasa tidak pantas baginya.
“Kenapa diam? Kamu tidak mau?”
Minji panik karena serbuan pertanyaan-pertanyaan.
“bukan begitu” Minji takut kecewakan perempuan yang masih dia peluk itu
“Kalau begitu katakan, lakukan yang aku mau. Kamu masih cinta aku kan?”“iya Haerin, tentu aku cinta kamu” suara yang lolos dari mulut Minji berhasil membuat Haerin merasa penuh suka cita.
“Aku juga cinta sama kamu Minji, sungguh” Haerin berujar lalu bergerak melepas pelukan itu kemudian mendudukkan diri, dia ingin lihat lagi wajah perempuan yang paling disukainya itu.
“ aku takut membayangkan nanti akan seperti apa jadinya aku kalau kita berpisah-” ucap Haerin“-aku ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini dan habiskan waktu hanya dengan kamu saja” Haerin lanjutkan, kedua matanya mulai berkaca-kaca membuat Minji bangkit dari pembaringannya lalu duduk berhadap-hadapan dengan Haerin.
“sepertinya mencintai aku membuat kamu menderita ya, maaf. Harusnya perasaan ini aku bungkam saja waktu itu” Minji berujar sambil menundukkan kepala, dia juga merasa perih dimatanya, tangis itu tak sanggup untuk dibendung lagi.
“Kenapa kamu meminta maaf? Aku yang memulai semua ini, lagi pula tak ada yang perlu disalahkan. Mau mencintai siapa pun itu tak akan pernah mudah” Haerin berusaha yakinkan perempuan di hadapannya.
Bagi Haerin, walau mencintai seorang Minji itu sama lancangnya dengan mendamba turunnya salju di gurun sahara, dia tetap memilih menyayangi dan mencintai kekasihnya itu. Dia hanya ingin segenap kasih yang dia punya tak jatuh kepada orang lain, menurutnya hanya Minji yang berhak untuk itu.Demi Minji, Haerin bersedia untuk upayakan segalanya. Walau mustahil, dia hanya mau berusaha demi seseorang yang telah dipilih oleh hatinya.
TBC
Sebenarnya prolog ini udah lama tersimpan di draft, tapi aku kurang PD, takut gak sesuai sama selera readers.
Kalau cerita ini dilanjut juga, mungkin chapternya bakal sedikit 😵 gimana menurut kalian?
KAMU SEDANG MEMBACA
Snow in Sahara
FanfictionBagi Haerin, walau mencintai seorang Minji itu sama lancangnya dengan mendamba turunnya salju di gurun sahara, dia tetap memilih menyayangi dan mencintai kekasihnya itu.