02. Ibu sayang bapak

156 33 2
                                    


Haerin menimbun pertanyaan di kepalanya, tanya itu tentang Minji. Dia jaga rasa penasarannya dalam peti rahasia yang dia simpan. Namun kali ini berbeda rasanya, ada sebuah hasrat yang bergejolak di dalam dadanya. Dia bingung ingin sampaikan bagaimana, dia kesusahan sendiri.

Tumpukan daun jati yang tengah dirapikan oleh Minji sempat mendistraksi Haerin dari pemikirannya yang semula tentang sesuatu dan kemudian banyak hal yang ingin dia ketahui dari Minji. Namun, tak lama setelah itu Haerin diingatkan kembali ketika menyadari Minji sudah berhenti merapikan daun-daun itu.

Haerin tak mengeluarkan suara apa pun, dia hanya menatap ke arah Minji selama beberapa detik kemudian dia menaruh kepalanya di bahu Minji, berharap beban di kepalanya itu bisa berkurang. Dia sadar perasaan yang dia simpan selama ini adalah bom waktu yang sewaktu-waktu bisa menyakitinya kapan saja, mencintai seseorang yang berstatus babu saja sudah sulit ditambah lagi fakta bahwa seorang itu juga perempuan sepertinya.
Sejak saat Haerin menyantap ayam goreng serundeng kala tempo hari, dia makin tersiksa. Dia tidak bisa membayangkan jika nanti Minji yang dikasihinya itu menjadi istri orang lain.

Minji sedari tadi bingung dengan tingkah Haerin namun dia enggan untuk bertanya, jadi dia diam saja dan menerima perlakuan nona muda itu.

"Minji, aku sedang sedih-" akhirnya Haerin bersuara

"-bisa kamu usap-usap kepalaku?"
Minji tak balas bersuara, dia langsung melakukan apa yang diminta Haerin.

"Mungkin ada banyak hal yang bisa memperbaiki suasana hati aku. Tapi apapun itu, kalau itu dari kamu, kenapa selalu berhasil ya?"

Minji diam tanpa suara, tapi jantungnya sudah ribut-ribut. Dia ingin sekali tunjukkan rasa senangnya karena sehabis mendengar rentetan kalimat barusan, namun ia memilih untuk menahan.

"aku sayang kamu Minji-"

Minji belum tuntas dengan perasaan tak karuan akibat ujaran Haerin sebelumnya, tiba-tiba mendapatkan yang lebih mengguncang lagi. Dia tak sanggup merespon.

"-seperti mama sayang papa"
Lanjut Haerin tanpa mengubah posisi, dia masih menyandarkan beban kepalanya di bahu Minji. Sedangkan Minji mematung berusaha memahami apa yang baru saja dia dengar, dia diam dan untungnya Haerin tidak menagih balasan dari Minji saat itu juga, walau sebenarnya Haerin sangat ingin tahu akan itu.


-


Pagi-pagi benar Minji sudah dihebohkan oleh situasi mendadak, tiba-tiba saja kediaman tuannya didatangi tamu yang entah dari mana asalnya, Minji tak tahu pasti. Yang dia bisa tahu adalah tamu ini pasti orang penting hingga harus membuatnya dan para pekerja lain repot mempersiapkan ini dan itu.

Teh sudah diseduh, berbagai jenis cemilan sudah tersusun rapi di atas piring. Saatnya bagi Minji menaruh teh dan cemilan-cemilan itu ke hadapan tuan dan para tamunya.

"kalau berhubungan bisnis dengan saya, pak Suga tidak akan rugi, yang ada makin untung buat keturunan kita. Kan Haerin nanti jadi menantu saya" ujaran sang tamu yang sanggup ditelan sepasang telinga Minji.

"Memangnya saya mau putri saya dinikahkan dengan anak anda?" balasan tuannya membuat Minji harus bersusah payah menahan tawa. Cepat-cepat ditinggalkannya kedua pria paruh baya itu sebab masih banyak yang harus dikerjakan di dapur.

Minji sudah tau alur kerja di dapur tuannya tentu tak akan sulit baginya untuk menuntaskan semua yang harus dikerjakannya, mulai dari menyiapkan bahan yang hendak dimasak, menyediakan air, hingga menyalakan api tungku. Semua beres, sekarang tinggal mbok Minah yang lakukan tugas masak. Minji dan rekannya yang lain kemudian perlu menyiapkan wadah makanan dan alat makan.

Saat Minji sedang membersihkan tiap pasang sendok-garpu, sempat dilihatnya Haerin dan seorang pemuda sedang berdiri dan bercakap-cakap dibalik jendela dapur. Minji tahu pemuda itu adalah putra dari tamu penting tuannya. Melihat pemuda itu dan Haerin berincang dan tertawa ria membuat Minji merasa tidak nyaman, dadanya seperti timbulkan rasa sesak yang membuatnya tak betah jika melihat Haerin dan pemuda itu lebih lama lagi. Minji kesal sendiri.


-

Minji terburu-buru membawa wadah berisi air dan handuk kecil menuju ke kamarnya. Di sana dia melihat Hanni teman kerja dan sekaligus teman sekamarnya itu sedang menggigil, wajahnya pucat, dan keningnya penuh dengan keringat. Hanni jelas sekali terlihat seperti orang sakit. Lebih tepatnya, Hanni sedang sakit.

"kamu tunggu sebentar ya, aku ambilkan bubur dulu" Minji berujar setelah menaruh handuk yang sudah dibasahi itu ke kening Hanni, kemudian ia bergerak menuju dapur hendak mengambil bubur yang tadi sudah dia siapkan untuk Hanni.

Haerin menunggu Minji sejak sore tadi setelah ia meminta Minji untuk tidur bersamanya malam ini. Efek membaca novel berkisahkan hantu membuatnya takut tidur sendiri.

Merasa sudah menunggu cukup lama, Haerin langsung putuskan untuk mencari Minji. Dia bergerak menuju dapur, berharap ia bisa menemukan Minji di sana.

"kamu kenapa masih di sini? Lapar?" tanya Haerin ketika mendapati Minji sedang memindahkan bubur dari panci ke mangkuk.

"maaf nona jadi menunggu. Ini bubur bukan untuk saya, ini untuk Hanni. Hanni sakit" jelas Minji.
Haerin kecewa. Pikirnya, 'bukankah Minji harusnya mengutamakan aku dulu? Kenapa dia malah sibuk melayani dan menyediakan kebutuhan Hanni?'

"Lantas, kapan kamu akan datang ke kamarku?" tanya Haerin lagi.

"saya tidak yakin bisa menemani nona malam ini, kalau saya ke kamarnya non', nanti Hanni tidak ada yang urus" Minji jawab dengan sedikit rasa takut, dia tahu siapa tuan putri di rumah ini. Tapi mengabaikan rekan yang sakit juga sesuatu yang dilarang di rumah ini.

"ya sudah ayo kita antarkan bubur itu pada Hanni" kata Haerin, Minji bingung tapi kemudian dia menurut.

Sesampai di kamar Minji cs, Haerin melihat Hanni dengan wajah pucatnya terbaring lemah di atas kasur. Haerin kemudian tahu Minji tak berbohong, dia juga mulai maklumi dan terima alasan Minji tak kunjung datang ke kamarnya.

"Tunggu sebentar" kata Haerin lalu meninggalkan Hanni dan Minji di kamar itu.

Tak lama kemudian Haerin kembali bersama seseorang, Kyujin. Dia sama seperti Hanni dan Minji, pekerja di rumah ini.

"dia yang gantikan kamu mengurus Hanni malam ini"
Setelah mendengar itu dari Haerin, Minji lalu melihat kearah Hanni, dilihatnya Hanni berusaha keras membuka matanya.

"Hanni, aku ke kamar non Haerin. Kamu makan buburnya, harus ya!" Minji berujar sambil mengelus puncak kepala Hanni dengan lembut. Hanni hanyak sanggup menggangguk lemah untuk membalas.

Tanpa menunda lagi, Haerin dan Minji bergerak menuju kamar Haerin.
Tak ada suara selama kedua manusia itu berjalan, dua-duanya diam hingga pada akhirnya mereka memasuki kamar Haerin.
Namun dalam diam itu, Haerin malah teringat perlakuan Minji pada Hanni membuatnya merasa tak tenang, ada yang meletup-letup di dadanya. Rasa cemburu.

Tepat setelah Minji mengunci pintu, Haerin langsung menyerbunya dengan pertanyaan

"Apa aku harus sakit juga supaya diutamakan seperti Hanni?"

Minji tentu terkejut dengan pertanyaan Haerin, tak menyangka bahwa Haerin bisa punya pikiran seperti itu.

"Tentu tidak, nona lebih penting. Tadi saya hanya melakukan peraturan nyonya besar, mengurus teman kerja saat sakit" Minji berusaha meyakinkan.

"kenapa harus kamu? Dari banyak pekerja papa disini, kenapa kamu saja yang melakukannya? Aku kan sudah memintamu ke kamarku-" Haerin jeda sesaat karena menahan tangis, setelah sekian lama mungkin nona muda ini akan menangis lagi di hadapan Minji. Terakhir kali ia melihat Haerin menangis saat diganggu oleh sepupu laki-lakinya, Jungwon.

"-aku benar-benar takut, aku menunggumu sambil ketakutan. Dan setelah tahu kamu menunda karena mengurus Hanni, aku malah sedih. Kenapa aku harus sedih karena itu? Aku pun tak tahu"

Haerin berujar tanpa melihat ke arah Minji, dia agak menyesal sudah mengatakan itu. Ada sedikit rasa malu.

Minji mendekat lalu menarik Haerin ke dalam dekapannya, entah dari mana datangnya keberanian. Dia sendiri juga belum sadari tindakan lancangnya itu.

"Nona Haerin selalu jadi yang utama untuk saya-"
Haerin belum bisa menerjemahkan situasi ini. Dia masih membeku dalam pelukan Minji.

"-karena saya juga sayang sama nona. Seperti ibu sayang bapak" lanjut Minji.

Airmata yang sedari tadi ditahan Haerin akhirnya meluap juga. Pertanyaannya tentang bagaimana perasaan Minji terhadapnya sudah terjawab sekarang. Perasaan sedih dan takutnya tadi seketika sirna. Dia senang sekali mendengar kalimat yang tadi diucapkan Minji. Segera ia balas pelukan Minji itu, dibenamkannya wajahnya di ceruk leher Minji, lalu di eratkannya pelukan itu.

Tbc




Snow in SaharaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang