Wanita paruh baya dengan gerakan terburu-buru berupaya mengemasi apapun yang menurutnya layak untuk dibawa pergi oleh gadis usia belasan di sampingnya.
"Ibu serius?" Gadis belia itu bertanya, berharap sesuatu yang sudah direncanakan untuknya itu punya kemungkinan untuk dibatalkan.
"pikirmu mengemas barang-barang kamu ini bergurau? Kamu harus ikut ibu, jangan melawan!" tegas seorang ibu pada sang putri bungsu.
"Tapi Minji takut" kalimat itu terucap dengan suara bergetar, jemarinya dimain-mainkan secara kasar hingga tinggalkan luka. Perempuan ini benar-benar takut.
"Kita tidak punya pilihan nak, hanya dengan kamu jadi pekerja di rumah pak Tjahja, kamu bisa selamat dari bapak mu yang kembali takluk pada penjajah itu-"
Wanita itu jeda sebentar sesaat setelah melihat luka di jari-jari tangan Minji. Dia sentuh tangan putrinya, mengisyaratkan untuk berhenti mengorek kulit jarinya.
"Lebih baik menjadi budak untuk pribumi daripada sebagai orang penting untuk penjajah"
Minji tertegun mendengar kalimat terakhir yang terlontar dari mulut ibunya.
Semenakutkan itukah kembalinya penjajah hingga harus menyerahkan putri satu-satunya pada saudagar yang entah bagaimana perangainya? Lagi pula bukankah kemerdekaan sudah dikumandangkan bertahun-tahun yang lalu? Bagaimana bisa para manusia rakus itu bisa lolos memasuki tanah air lagi?
Minji hanya bisa menyimpan segudang pertanyaan dan tanpa bisa menolak, akhirnya dia lakukan apa yang sang ibu mau.
-
Pagi-pagi sekali Minji sudah mengerjakan banyak pekerjaan. Udara yang dingin dan menusuk pun tak berhasil hentikan semangatnya melakukan tugas dan tanggung jawabnya.
Alih-alih mengeluh, Minji lebih memilih menikmati apa yang dikerjakannya sekarang. Setidaknya dengan cara itu Minji jadi punya alasan bagus untuk bertahan, mensyukuri yang dia miliki sekarang walau akhirnya Minji dihantarkan pada kenyataan yang tak menyenangkan. Ibunya tak pernah berikan kabar sejak hari dimana Minji dibawa ke kediaman keluarga kaya itu. Tak ada kabar dan tak ada tanda tentang keluarganya. Menepis semua kemungkinan buruk, Minji hanya bisa berharap hal-hal yang baik untuk keluarganya.
"Minji, kenapa aku ditinggal?"
suara seorang gadis menghentikan kegiatan Minji sejenak. Dia menoleh ke arah suara lalu mendapati putri dari majikannya berdiri di balik jendela tak jauh dari tempat Minji berdiri.
"Maaf non, tapi kerjaan saya bebersih dan mengurus kebun bisa terbengkalai kalau saya di kamar non terus, nanti nyonya marah." Dengan takut-takut, Minji coba jelaskan.
"tapi kan aku sudah bilang ke papa, kamu boleh lama-lama di kamarku" sang nona masih tak terima.
Minji tak berdaya untuk melawan, jadi dia diam saja."Sudah, masuk ke rumah temani aku sarapan" nona itu bertitah
Minji hendak berujar sesuatu untuk menolak, tapi tak jadi. Saat itu juga dia bungkam dengan sendirinya setelah melihat seseorang yang ada di sebelahnya.
"biar saya yang lanjutkan" suara yang rupanya dari salah satu teman kerjanya-Hanni.
Hanni isyaratkan Minji cepat bergerak, mereka berdua tahu betul apa akibatnya jika keinginan si tuan putri tak langsung dilaksanakan
KAMU SEDANG MEMBACA
Snow in Sahara
FanfictionBagi Haerin, walau mencintai seorang Minji itu sama lancangnya dengan mendamba turunnya salju di gurun sahara, dia tetap memilih menyayangi dan mencintai kekasihnya itu.