04. Mustahil

162 30 2
                                    

-
 


Kuat-kuat Haerin mencoba menahan diri untuk tidak bersedih setelah mengetahui bahwa Minji akan meninggalkannya untuk beberapa waktu. Melihat Minji mengepak pakaian dan perbekalan yang dia butuhkan selama bepergian, berhasil membuat suasana hati Haerin menjadi semakin mendung. Minji akhirnya menyadari keberadaan Haerin di dekatnya, ia langsung bisa membaca isi hati kekasihnya itu. Air muka Haerin tak bisa berdusta.

“Nona jangan bersedih lagi, saya pergi hanya sebentar”
Minji harap ucapannya tadi bisa menenangkan Haerin dan sedihnya, namun nyatanya usahanya itu tiada berhasil.
 
“Satu minggu itu bukan sebentar!” Haerin tidak terima satu minggu disebut sebentar oleh Minji.
 
“Kamu sanggup berpisah satu minggu? Tidak rindu?”
Minji sejenak lupa bahwa sekarang Haerin sedang dirundung kesedihan. Dia terdistraksi oleh ekspresi wajah Haerin yang menurutnya menggemaskan saat ucapkan pertanyaan-pertanyaan itu.
 
“tentu saya rindu, tapi saya harus sanggup. Ini soal pekerjaan“

Mendengar itu, Haerin semakin lesu. Wajah lesu itu mengingatkannya akan sedih yang sedang dirasa Haerin.
Minji lalu menarik Haerin dalam peluknya, diusapnya punggung mungil gadisnya itu, lalu usapan itu berpindah ke kepala. Haerin tak lewatkan kesempatan, dia balas pelukan Minji. Seakan hari esok tidak ada, Haerin peluk kekasih hatinya dengan luar biasa erat.
 
Ehem! Minji, dipanggil nyonya” Hanni memecah suasana romantis yang baru berlangsung sebentar itu.
 
“Saya berangkat dulu. Saya janji, nanti saya bawakan oleh-oleh” ujar Minji
 
“Hati-hati” balas Haerin masih dengan perasaan berat hati, tidak terima harus ditinggal saat itu.
 


 

-

Sejak kepergian Minji, tugasnya untuk menemani dan mengurus keperluan Haerin digantikan oleh Hanni. Selain melakukan dua tugas utama itu, ada tugas lain yang digantikan oleh Hanni, mendengarkan Haerin yang sedang bersungut-sungut.
 
“Kenapa harus ada pertemuan dengan lelaki bodoh itu? Dia tidak punya pengetahuan, yang dia tahu hanya memamerkan kekayaan. Terima warisan saja bangga”
Bagian sedikit dari banyak yang sudah Hanni dengar dari Haerin.
 
Tak ada satu pun yang bisa menghalangi rencana pertemuan Haerin dengan lelaki yang tidak disenanginya itu- Riki. Lelaki itu kali ini mendatangi rumah Haerin tanpa didampingi orang tuanya, sepertinya niatnya mendekati Haerin juga disiasati oleh keinginannya sendiri. Sejak pertama bertemu, memang ia sudah terpesona oleh Haerin. Dia kira tawa formalitas dari Haerin merupakan lampu hijau untuknya, nyatanya itu tidak ada bedanya dengan basa-basi yang sudah basi sekali.
 
“Saya bisa kerjakan apa saja, saya ini pintar. Berpendidikan. Pokoknya segala ilmu bisa diadu”
Haerin tersenyum kikuk, tidak tahu bagaimana merespon bualan lelaki di hadapannya.
 
“kalau kamu suka belajar juga? Atau ada kegemaran lain?” Riki bertanya kemudian meniup teh yang hendak dia minum
 
“belajar kalau ada tugas saja, kalau kegemaran. Eem, saya suka membaca” jawab Haerin jujur.
 
“Baca saja? Tidak ada hal seru lain? Kalau membaca saja bosan. Kaya saya dong! Saya suka berlayar” sombong Riki
 
“oh suka berlayar”
Haerin memutar kedua bola matanya, dia mulai semakin sebal.
 
“Iya, mau itu laut, mau itu danau, bahkan samudra. Saya siap berlayar ke sana”  Riki semakin sombong
 
“Semoga setelah ini ke segitiga bermuda” celetuk Haerin
 
“apa?” Riki merasa mendengar sesuatu
 
“Kamu tadi sebut segit..” ucapan Riki terpotong. Dia diganggu oleh sesuatu yang sangat tidak nyaman
 
“Kak Riki tidak apa-apa?” Tanya Haerin, dia bingung mengapa lelaki itu bertingkah aneh
 
“Sa- saya bisa pinjam kamar kecilnya tidak?”
 
Pertemuan itu harus segera disudahi setelah mengetahui Riki sedang kesusahan dengan diare yang secara mendadak mengganggunya.
 
“Tuan itu sudah pulang?” tanya Hanni setelah meletakkan pakaian yang akan dipakai Haerin sehabis mandi sore nanti
 
“Iya, sepertinya dia sedang sakit perut” jawab Haerin sambil cekikikan
 
“wah berarti manjur” Hanni keceplosan
 
“Apa kamu bilang? Manjur?” alis Haerin bertaut, dia bingung.
Hanni nyengir kuda kemudian menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.
 
“itu.. sebenarnya teh yang saya sajikan untuk tuan, saya masukkan garam inggris” Jujur Hanni
 
“Kenapa kamu taruh garam inggris di tehnya?”
 
“tadi dengar nona mengeluh soal pertemuan, saya jadi terpikirkan buat mencari cara supaya mengusirnya. Awalnya saya mau urungkan, tapi ingat Minji jadi saya putuskan buat dilakukan saja” jelas Hanni.
 
“ingat Minji?” bingung Haerin
 
“iya kan saya sahabatnya Minji, jujur ya saya berpihak dengan dia. Minji kan cinta mati sama non Haerin. Kalau dia tahu lelaki tadi datang, pasti dia cemburu”  Hanni yang polos itu lanjut menjelaskan.
 
“cinta mati?”
 
“iya, cinta mati. Minji sendiri yang pernah bilang begitu”
 
Jawaban jujur Hanni berhasil membuat nona muda itu tersipu.
 
 

Snow in SaharaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang