**---** HAPPY READING **__**
Sepatuku dicuri, dan pencurinya bunuh diri tepat di depan mataku.**
11 Januari 2023, InsidenAku menikmati sarapan roti bakar ditemani taburan kismis kecupan manis Ayah yang mendarat di pipi Ibu. Kemesraan mereka tampak seperti kisah dalam dongeng yang berakhir happy ending dengan aku sebagai pembacanya.
Aku membaca kebahagian mereka dengan sedikit iri yang bercampur dengan bahagia, lalu berpikir, mungkin saja aku dan Cakra akan seperti itu suatu hari nanti.
Ibu pernah cerita kalau pertemuan pertama mereka mirip kisah Cinderella. Saat aku tanya apa Ibu anak tiri dari nenek, Ibu langsung mengataiku kurang ajar.
"Rin berangkat sama Cakra lagi?"
Aku sudah selesai sarapan saat Ayah bertanya, bersamaan dengan pesan masuk di ponselku dari satu-satunya teman masa kecilku itu.
'Tunggu! Aku jemput.'
Aku meneguk susu hangat putih setelah melirik ponsel tanpa membalas pesan Cakra, lalu menatap Ayah. "Ada piket, saya harus duluan. Nggak kayak Ayah."
Ayah mengangkat alis.
"Ayah, kan, masih mau nempel sama Ibu," kataku jenaka, mengedipkan mata pada Ibu yang tengah menyodorkan potongan roti ke mulut Ayah.
Ayah menyeringai jahil, lalu mengecup pipi Ibu sekali lagi.
Ah, benar-benar, deh.
"Kalau cemburu, resmikan saja hubungan kalian. Sampai kapan kamu dan Cakra mau main teman-temanan seperti itu?"
Aku memayunkan bibir, itu permintaan yang sulit. Prinsipku, sekali berteman kami akan tetap berteman. Mustahil kami pacaran. Kecuali, Cakra mengajakku bertunangan, lalu kami menikah seperti Ayah dan Ibu. Tapi, rasanya itu keinginan yang terlalu jauh mengingat kami masih kelas satu SMA.
Aku memasukkan ponsel dalam totebag setelah membereskan piring makan ke tempat cuci piring, kemudian mengulurkan tangan pada Ibu.
"Ibu sudah pesan, kan, ojek online, Sayang!" ujar Ibu.
"Atau kamu berharap pacar kertasmu itu jadi manusia sungguhan?" sela Ayah setelah melahap potongan roti yang disodorkan Ibu.
Aku menaikan alis dengan sedikit kesal. Pacar kertas katanya?
"Ah, gambar kartun yang dikasi pigura di samping foto Cakra itu, kan?" Ibu menambahkan, membiarkan tangannya disalami olehku yang semakin kesal.
"Namanya Heli, Bu! Bukan kartun." Aku memprotes. Semua ini dimulai karena Ayah yang menyingung pangeran Heli-ku. Aku tidak sudi mereka menyebutnya kertas atau gambar.
Ayah menyengir, lalu menunjuk pintu keluar saat mendengar klakson motor agar aku segera pergi. Mas Ojek sudah datang padahal aku masih ingin protes.
**
Kelasku sudah bersih begitu aku membuka pintu, dengan bau semerbak lemon menguar ke hidung.
Kaca jendelanya mengkilap. Vas bunga di atas meja guru tertata rapi. Deretan meja berjajar dalam satu garis lurus. Siapa yang begitu perfeksionis sampai membetulkan poster miring di dinding kelas?
Aku melangkah masuk, lalu menemukan papan tulis kelasku tidak sebersih ubin yang mengkilap. Papan tulis itu penuh coretan grafiti dengan tinta merah. Aku menyentuh ujung grafiti itu, menyeka sedikit dengan jari telunjuk.
Syukurlah, tulisan ini bisa dihapus.
"Kamu punya penggemar rahasia?" sapa seseorang dari belakangku.
Jantungku hampir copot dibuatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY FAKEBOY FRIEND
Teen FictionSemula, hidup Airin Riana baik-baik saja. Keluarga yang harmonis, sahabat seperhatian Cakra Jenggala. Tapi, semua berubah saat sepatunya hilang. Dicuri. Dan, pencurinya melompat bunuh diri dari teras lantai tiga di depan mata Airin. #Update sesuai M...