Titik awal-awal bencana

22 5 4
                                    

Pada akhirnya aku akan kembali padamu. Dari banyaknya lelaki yang kukenal, sampai yang pernah membuatku jatuh suka sekalipun tidak pernah membuahkan apa-apa selain kedunguan yang akhirnya tewas dalam tumpukan catatan harianku. Akupun bertanya-tanya apa gunannya itu semua, selain membuatku sukses menjadi manusia yang gemar menyusahkan isi kepala sendiri. Dan kau sendiri bagaimana? Maksudku, sudah berapa banyak gadis yang kau puja puji sejauh ini?? Apa ada yang menyakitimu? Atau kau juga yang menyakitinya?? Entahlah.. aku tak berminat untuk menebak-nebak alur percintaanmu sejauh ini. Tapi aku hanya merasa kembali ke titik awal. Ke titik dimana kita pernah bercerita tentang bagaimana hari-hari kita kala itu, mungkin aku yang lebih sering mengoceh hal-hal tidak penting. Aku tahu ini terdengar bodoh, tapi aku senang kau kembali menjengukku di tempat paling remang. Seperti selayaknya teman lama, akupun menjamu mu dengan secangkir sapaan hambar. Dan aku menyesal karena terlalu pelit memberi rasa pada kunjunganmu yang hanya sebentar. Karena aku pun bingung, jika kuberi rasa manis aku tak mau kau menjelma semut pengembara. Jika kuberi rasa asin,pahit,sepat aku takut kau akan menjelma ular berbisa. Maka pilihan abu-abunya adalah membiarkan rasanya tetap tawar, berharap kau bisa memberi rasanya sendiri.
Namun, kau tidak singgah hanya untuk mencicipi jamuan kecilku, mungkin kau mau sesuatu yang indah yang sebetulnya tak ada pada diriku. Ketika itu pula, aku menuntunmu menuju ambang pintu keluar bersama lepasnya rinai juni menuju hujan bulan juni mungkin kau akan damai karenanya. Dan ya.. pada akhirnya lagi, aku tidak bisa mengelabui kenyataan yang ada untuk kau yang tak lagi ada dalam sela-sela ceritaku pada judul ini. Tapi aku bisa menjanjikan satu atau dua bab penuh, untuk mengenangmu kembali. Mengenang bagaimana lucunya kita yang buta akan suramnya kedewasaan. Dan kini aku beringsut mundur ke titik awal bersama jejakmu yang kian pudar-kami menatap langkahmu yang telah jauh pergi ke depan di tengah-tengah anyelir kau berjalan indah seolah tak meninggalkan apa-apa di belakang, Baguslah begitu agar tujuanmu lekas sampai ke puncak bahagiamu. Aku akan menjadi orang paling pertama tersenyum ketika kau sedang berjuang, sambil diam-diam menitipkan pesan pada burung gereja bahwa kau sungguh luar biasa, dan aku bangga padamu. Mungkin pesan itu tidak terdengar olehmu karena burung gereja tidak berteman denganku karena aku punya kucing ganas. Tapi tak apalah, mau kamu tahu atau tidak juga tidak penting buatmu yakan? Mau sejauh mana kau membuana, tatap jadi versi terbaik yang kamu sukai, dan aku masih disini mewanti-wanti sang waktu agar mau meloncatiku ke titik dimana aku tak perlu repot-repot mengirimu surat gaib. Tapi percuma merayu waktu karena waktu adalah jiwa yang kebal, tak kenal tipuan apalagi rayuan untuk mau memutar arusnya sesuai keinginan. Ini menyebalkan sekaligus terlihat menyedihkan karena aku masih terjebak pada titik kusut ini dimana bayang-bayangmu ikut-ikutan menertawai kedunguanku yang secara sukarela menyeburkan diri ke dalam muara kebisuan yang airnya riuh dan tak mengenal matahari. Kau tau padahal aku telah mencoba melangkah dua, tiga langkah dari titik keramat ini. Harusnya aku diam saja disana. bahkan ketika kau dengan ketidaksengajaan yang amat tak berarti tiba-tiba menekan bel penanda kedatanganmu ke titik awal itu. Dan dengan naif nya aku ikut masuk ke dalamnya, dan setelah sekian lama kita berselisihan pada waktu yang sama. Sayangnya itu hanya selisih, bukan berarti bersisian sejajar dalam garis utuh. Harusnya kita saling menanyakan kabar di perselisihan singkat itu, aku akan menantikan jawaban kabar baikmu di penghujung musim panas. Namun ternyata ego kita terlalu besar, jadinya kita hanya saling bisu hingga ke perbincangan paling basi seperti kau bertanya adakah tuan yang menemaniku saat ini? Tentu kubilang itu privasi, padahal aku hanya malu karena aku masih terpaku pada tuan bulan desember yang tak lain adalah jawaban pertanyaanmu sendiri. Dan setelah mengembara kian kemari, agaknya hujan iba kepada rengsaku yang terdampar memar saban hari ketika kau mengabari bahwa ada berita duka tentang kematianku dalam sanubarimu.

Dan Juli pun berkerja dengan semestinya, membawa ku bersama kekasihnya yaitu tuan hujan menuju puncak kesadaran, menyirami kepalaku yang gersang itu agar bisa menampung isyarat yang berisikan peringatan akan adanya mudarat yang mendarat di bandara sepiku. Dan kau tau, aku mengabaikan nasihat hujan untuk memulangkanmu secepatnya sebelum aku terlanjur nelangsa berkali-kali.

Dan hujan bulan Juli, menjadi saksi keresahanku menunggu kabarmu di persimpangan hari yang kian meleset dari arah pandangku. Katanya aku terlalu naif bisa jadi dungu-karena dua hal itu beda tipis.

Dan selamat, kamu berhasil membuatku sering menanti pukul 11.11 berharap kau akan singgah lebih lama bahkan egoisnya untuk menetap saja di titik itu. Sebab aku ahli memberikan hidangan paling sederhana yang bermekaran sepanjang puisi dalam kepalaku yang gagal menjadi amulet jitu pemanggil roh mu untuk menari bersamaku di atas pecahan bunga mawar yang tak sengaja kita gugurkan sewaktu kita bermukim di desember-sebelum akhirnya kita berpencar menuju bulan-bulan tahun berikutnya, berikutnya lagi, dan tahun seterusnya. Hingga berselisih di Juli ini, sebab kau merasa perlu menganggu pikiranku biar aku kesusahan. Sejak kapan penderitaanku menjadi sesuatu hal yang menyenangkan bagimu?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 29, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pemakaman TunggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang