Kepergian

11 2 0
                                    

Doni langsung menginjak pedal gasnya menuju rumah sakit yang telah diberitahukan oleh polisi tadi. Ia tidak sempat berganti baju, namun ia memberikan Nayla jaket agar gadis itu tidak kedinginan. Nayla masih menangis di sebelahnya, sementara Doni berusaha secepat mungkin agar mereka bisa sampai di rumah sakit yang berada di perbatasan Jakarta dan Bandung itu.

"Lo tidur dulu, nanti gue bangunin. Jangan khawatir, nyokap bokap lo pasti nggak papa."

Nayla hanya diam, berusaha menelan tangisnya yang berakhir sia-sia. Air matanya masih menetes derah keluar.

"Gue ngerepotin mulu, ya, Kak. Maafin gue."

"Nggak usah ngelantur ngomongnya. Sekarang lo berdoa aja." Balas Doni cepat, enggan membiarkan Nayla berpikiran yang tidak-tidak. Tangan kanan Doni meraih botol minum yang selalu ia simpan di mobil, dan memberikannya pada Nayla. "Minum dulu trus berdoa."

Nayla mengangguk, menerima botol minum dari Doni. Doni memelankan laju mobilnya saat Nayla minum, lalu menginjak pedal gas lebih dalam lagi setelah perempuan itu selesai. Butuh waktu sekitar 1 jam sampai mereka akhirnya sampai di rumah sakit.

Doni memarkirkan mobilnya di tempat parkir depan IGD, langsung melompat keluar menemui polisi yang terlihat ada di sana. Di depan IGD ramai orang-orang yang sepertinya terlibat dalam kecelakaan.

"Pak, Mama Papa saya dimana?! Dimana, Pak!?" Nayla langsung menemui polisi yang ada di sana.

Kepanikannya terlihat jelas, membuat Doni menggenggam tangan Nayla erat sambil menariknya sedikit ke belakang dirinya. "Sekarang orang tua Nayla ada dimana, Pak?"

Polisi itu menarik napas panjang sebelum mengantar keduanya masuk ke dalam IGD, melewati lorong panjang yang ternyata menuju sebuah ruangan lagi. Bukan IGD, melainkan ruang ICU. Langkah Nayla makin melemas, namun Doni menguatkan genggamannya agar gadis itu mampu bertahan sedikit lagi. Ia menatap Nayla yang berada di belakangnya, memberikan senyuman singkat seakan mengatakan "semua akan baik-baik saja."

"Suster, ini anak dari korban." Seru polisi itu saat bertemu dengan seorang suster.

"Gimana Mama Papa saya, Sus?"

"Biar saya jelaskan dulu ya, Kak. Duduk dulu, ya." Suster itu membawa Nayla ke sebuah kursi yang ada di depan ruang ICU. "Di dalam sedang dilakukan operasi karena akibat dari kecelakaan itu sangat fatal. Dokter akan berusaha sekuat tenaga untuk memberikan hasil terbaik."

"Mama Papa saya kenapa?! Apa yang terjadi?! Kenapa bertele-tele?!" seru Nayla dengan nada tinggi. "Kecelakaannya parah?! Sebenernya keadaannya gimana?!"

"Mohon maaf, tapi kecelakaannya parah. Mobil orang tua saudara ditabrak dari belakang dan kehilangan keseimbangan hingga menabrak pembatas. Kami langsung membawa korban kesini untuk dilakukan tindakan." Jelas polisi itu.

"Hentakannya sangat kuat hingga menimbulkan luka fatal." Seru suster itu meraih tangan Nayla dan menepuknya pelan. "Kamu harus kuat."

"Enggak..." Nayla menggeleng bersamaan dengan tetesan air mata yang jatuh membasahi pipinya. "Nggak mau..." isaknya tertahan. "ENGGAK!"

"Nayla." Doni mencekal kedua tangan Nayla dan mendekapnya erat-erat saat gadis itu histeris. Tangisnya benar-benar pecah sekarang, Nayla berteriak tak terima. Menangis terisak dengan dadanya yang terasa sangat sesak.

"Nggak mungkin... Mama... Papa... nggak mungkin! Mama papa harus bangun. Jangan tinggalin Nayla. Nayla nggak mau."

"Kita berdoa ya, Nay. Nyokap bokap lo pasti bangun. Jangan nangis." Doni menghusap kepala Nayla, memeluk gadis itu kuat-kuat agar dia tidak luruh ke bawah. Tubuhnya seakan kehilangan kekuatan. Lemas.

Kak DoniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang