Say it

27 3 0
                                    


Doni tidak mengantar Nayla menuju rumah gadis itu melainkan membawanya ke rumahnya. Orang tuanya sedang bekerja hingga mereka tidak perlu khawatir mereka akan ditanya-tanya. Nayla yang sebenarnya masih bingung, menuruti saja Doni yang menyuruhnya masuk ke dalam. Ia menyuruh gadis itu duduk di sofa sementara dia naik ke atas sebentar lalu turun dengan sebuah kotak di tangannya.

Doni menjatuhkan diri di samping Nayla, dan membuka kotak yang ternyata adalah kotak P3K itu.

"Makasih ya, Kak." Ucap Nayla saat Doni meraih lengannya dan mengobati lengannya yang terluka memanjang. Sepertinya habis tercakar. Doni hanya diam, tak membalas ucapan Nayla.

"Kak Doni kenapa ikutan pulang? Yang diskors kan gue." Ucap Nayla lagi, namun Doni tetap diam tak menjawab. Masih mengobati lengan gadis itu. "Kak?"

"Nggak papa kalo lo mau marah, tapi jangan sampe luka begini." Suara Doni akhirnya terdengar.

Nayla terhenyak sesaat sebelum membalas ucapannya, "Yang duluan mereka. Mereka ngatain gue murahan."

"Iya, nggak papa kalo lo mau marah. Mereka emang udah keterlaluan."

Kening Nayla berkerut, "Lo lagi dukung gue atau marahin gue sih?"

Doni mengangkat wajahnya, menatap gadis itu, "Ini pasti sakit, kan?" tanyanya. "Gue cuma nggak mau lo luka kayak gini. Tapi, lo pantes buat marah. Nggak papa."

"Sebenernya alesan gue nggak nemuin Liam kemarin, selain karena gue lagi sedih, gue juga udah nggak mau bohong. Gue tau Liam udah punya cewek, tapi dia masih mau nunjukin kedeketannya sama gue. Gue nggak mau, Kak." Jelas Nayla pelan. "Gue jelas bakalan nyakitin ceweknya. Tapi, Liam nggak mau. Dia bilang karirnya naik karena berita ginian."

Doni mendekatkan wajahnya, gerakan tiba-tiba yang membuat Nayla refleks memundurkan wajahnya.

"Pipi lo luka." Seru Doni, membuka bungkus plester hendak menempelkannya di pipi Nayla.

"Oh." Seketika Nayla menjadi canggung.

Kirain mau nyium gue lo. Bikin jantung gue mau meledak aja.

"Satu-satu." Kata Doni setelah menempelkan plester di pipi Nayla. "Urusan itu nanti aja lo pikirin, sekarang lo tata dulu hati lo. Pikiran lo mesti tenang."

Nayla mengangguk, "Sekarang gue cuma fokus sama kondisi mama."

***

"Lo udah nggak papa?" tanya Helen, manager Nayla saat keduanya memutuskan untuk makan siang di kafetaria rumah sakit. "Tante gimana?"

"I'm okay. Tapi mama masih sakit."

"Gue banyak liat berita tapi nggak mau hubungin lo. Takut lo makin kepikiran. Wartawan juga pada nanya gue tapi gue diem aja, nggak ngomong apa-apa."

Nayla tersenyum, "Makasih ya, Kak, atas pengertian lo."

Helen mengulurkan tangannya, mengusap lembut saudaranya itu, "Lo yang kuat. Jangan sedih-sedih. Kalo ada apa-apa, bilang ke gue aja."

"Iya, pasti." Nayla mengangguk. "Tapi, Kak..." Nayla menggantung kalimatnya sejenak. "Gue udah nggak mau gimik sama Liam lagi, boleh?"

Kening Helen berkerut bingung, "Ya, boleh. Emang kenapa?"

"Nope, gue pikir gue mau udahan aja. Gue sama Liam sebenernya nggak deket-deket amat, Kak. Kita juga jarang komunikasi dan terakhir gue denger sebenernya Liam udah punya pacar."

"Serius?" balas Helen agak tersentak. "Trus kenapa dia gimik depan wartawan sok-sok merasa tersakiti karna lo cuekin? Kayak merasa paling di-ghosting sedunia."

Kak DoniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang