Tongkat sihir dan mimpi

1 0 0
                                    

Pada sore hari dimana matahari sedang menampilkan keindahannya dengan cahaya jingga yang begitu menenangkan, ditemani dengan gumpalan-gumpalan awan yang menambah cantik langit sore.

Di balik kecantikan itu, ada seorang anak laki-laki berambut hitam panjang sedang berjalan di tengah hutan dengan punggung yang dipenuhi ranting-ranting kayu kering, diikat dengan kencang supaya tidak berjatuhan.

Angin berhembus mengibas rambut anak laki-laki itu yang sudah lebat, udara sejuknya membuat rasa lelah yang dirasakan anak laki-laki itu berkurang.

Di tengah hutan yang ditumbuhi banyak pepohonan, anak laki-laki yang bernama Ellard itu sedang mencari ranting-ranting kayu yang nantinya akan dijual. Mata birunya dengan seksama mencari ranting-ranting kayu di atas tumpukan daun-daun kering, mencari di segala penjuru hutan. Keringat yang mengucur deras dari wajahnya yang masih sangat muda itu dengan jelas menggambarkan betapa lelah dirinya sekarang.

Sudah cukup lama Ellard mencari kayu sendirian di dalam hutan, yang menurut orang-orang hutan itu hutan terlarang. Tapi dia sama sekali tidak peduli dengan omong kosong semacam itu, karena hanya itulah satu-satunya cara bagi Ellard untuk bertahan hidup.

Ellard mengusap keringat di keningnya kemudian menghela napas saat dia menemukan ranting kayu yang berbentuk aneh, lebih seperti tongkat sihir yang biasa digunakan oleh para penyihir.

"Bukankah ini tongkat sihir," kata Ellard lalu mengernyit, "Mengapa ini bisa berada di sini?" Begitu banyak pertanyaan yang muncul di kepala Ellard saat ini.

Ellard mulai melakukan sesuatu untuk memastikan. Diayunkannya tongkat itu sambil mengucapkan mantra yang sering di dengarnya dari penyihir-penyihir, akan tetapi tidak terjadi hal yang spesial, tongkat itu tak bereaksi apa-apa.

Dua sampai tiga kali Ellard terus mencobanya, berharap tongkat itu mengeluarkan sihir, tetapi hasilnya tetap sama, tidak terjadi apapun.

"Apa yang sedang kulakukan? Mustahil bagiku bisa mengeluarkan sihir. Aku bukan seorang penyihir… hanya seorang laki-laki yang hidup sebatang kara," Ellard menghela napas, "Lebih baik kujual saja tongkat ini. Setidaknya ini akan laku sepuluh perunggu."

Ellard menaruh tongkat itu di punggungnya bersama dengan tumpukan kayu yang lain. Dia kemudian menyeret kakinya untuk pulang ke rumah karena hari akan mulai gelap. Ellard sama sekali belum pernah masuk ke dalam hutan pada saat malam hari, karena kemungkinan besar pada saat itu pedalaman hutan akan menjadi sangat berbahaya.

Ellard berjalan dengan tubuh yang sudah lemas dan saat dia sudah sampai di halaman depan rumah dia merasa sangat lega. Langit sudah gelap saat Ellard sampai di rumahnya, malam itu bulan bersinar dengan sangat terang, dia tersenyum saat menyaksikan pemandangan langit sebelum masuk ke dalam rumahnya yang kecil.

Ellard meletakkan kayu-kayu di belakang rumah, sementara untuk tongkat sihir yang ditemukannya dia bawa masuk ke dalam rumah untuk di uji coba.

Ellard membersihkan badan, berganti pakaian, lalu mulai melakukan aksinya. Di kamarnya yang sempit dengan satu penerangan berupa alat sihir yang mirip seperti lilin–tidak bisa meleleh–menggunakan cairan khusus sebagai bahan bakarnya, dan bisa bertahan sekitar lima jam.

Api lilin menyala terang, begitu juga dengan mata Ellard yang berkilap, untuk pertama kalinya dia memegang tongkat sihir walaupun masih tidak tahu cara untuk membuatnya bekerja. Berbagai hal Ellard lakukan dengan tongkat sihir itu, mulai dari mengayun-ayunkannya di udara sambil mengucapkan mantra, berganti gaya lalu melakukan lagi hal yang sama.

Membayangkan sesuatu yang luar biasa akan terjadi, sihir yang dipenuhi sinar-sinar yang menyilaukan, ledakan yang mungkin akan menimbulkan sedikit kekacauan, tapi semua itu tidak terjadi. Ellard terdiam dengan tongkat di tangannya. Semangatnya sudah padam sedangkan lilin masih menyala dengan terang. Semua usahanya tidak menimbulkan hasil.

"Kukira dengan tongkat sihir aku bisa menjadi seorang penyihir, meskipun aku hanyalah keturunan orang biasa."

Pada malam itu Ellard memutuskan untuk menyerah dan memilih untuk tidur. Dinginnya malam bukan lagi menjadi tantangan bagi Ellard untuk bisa terlelap dalam mimpi, akan tetapi apa yang akan keluar dari hutan lah yang selalu membuat Ellard waspada. Mengingat betapa dekatnya rumah Ellard dengan hutan yang hanya berjarak ratusan meter membuatnya semakin cemas, dia juga pernah mendengar dari orang-orang yang tinggal disekitar hutan, bahwa pada malam hari dimana bulan bersinar dengan terang sesuatu yang mengerikan akan keluar dari hutan.

Tinggal sendirian membuat Ellard benar-benar kesepian, hari-harinya terasa hampa, bahkan dia juga sudah lupa kapan terakhir kali dia tertawa lepas. Ellard mematikan lilin, menarik selimut sampai setinggi leher, lalu mulai memejamkan mata.

Selimutnya yang tipis membuat Ellard kedinginan. Tidurnya gelisah dengan perut yang masih keroncongan. Dia bermimpi sedang di Padang rumput yang sangat luas, angin bertiup sejuk menyibakkan rambutnya yang lebat.

Di padang rumput itu Ellard merasa damai, kemudian merentangkan tangannya menyambut angin yang terus berhembus. Senyumnya merekah saat muncul bunga-bunga yang berterbangan, melintas di depannya. Semuanya tampak indah sebelum bunga-bunga itu tiba-tiba terbakar satu persatu.

Kobaran api mulai memakan Ellard. Suara teriakan mulai terdengar dimana-mana, Ellard pun menutup telinganya untuk membungkam suara-suara itu, tapi semakin dia menutup telinga suara-suara itu semakin jelas terdengar. Ellard panik saat melihat ke sekitar, padang rumput yang tadi dilihatnya berubah menjadi pemukiman dengan bangunan-bangunan yang dilahap api.

Orang-orang berlarian di jalanan sambil menjerit melewati Ellard, sementara itu dia hanya bisa terdiam menyaksikan rumah-rumah yang mulai runtuh diporak-porandakan oleh api. Asap hitam mengepul memenuhi sekitar, semuanya terlihat tidak jelas di mata Ellard. Dan kini, dadanya mulai terasa sesak.

"Siapapun tolong aku!" Ellard berusaha berteriak sekeras mungkin, akan tetapi suaranya tidak bisa keluar.

Dari kepulan asap di depannya muncul dua orang yang menghampiri Ellard dengan wajah panik, mereka adalah seorang wanita dan pria paruh baya. Ellard semakin tersiksa, karena tubuhnya tiba-tiba membeku. Semuanya terasa semakin parah saat kedua wanita dan pria paruh baya itu mengguncang-guncang tubuh Ellard sambil berseru, "Ell, cepat lari dari sini!"

Ellard menangis karena ketidakberdayaannya, sementara dua orang di depannya terus menyuruh dia untuk segera pergi.

Bangunan-bangunan di sekitar Ellard mulai jatuh runtuh dilahap api. Bangunan yang persis berada di sampingnya meledak, diikuti diamnya wanita dan pria itu.

Secara tiba-tiba dua orang itu mencekik leher Ellard, mata mereka berubah menjadi hitam, dan darah mengalir dari sana. Tubuh mereka seperti kerasukan dan suara mereka bergema saat mengatakan, "Kenapa kamu hanya diam saja, Ell?!"

Ellard terbangun dari mimpi dengan napas yang memburu, keringat dingin membanjiri seluruh tubuhnya. Ellard mencengkram selimut dengan erat, air mata berjatuhan, mimpi yang mengerikan itu benar-benar membuat Ellard terpukul.

"I-ibu … Ayah … maafkan aku…."

Malam yang dingin itu, Ellard habiskan dengan tangisan.







Ellard Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang