• AWAL •

1.9K 33 6
                                    


"Apa yang di harapkan dari sebuah ketidakmampuan?"

------

Sebenernya untuk apa?

Dan kepada sang pemilik hati, yang maha mampu untuk membolak-balikkan hati nya. Baik-buruk atau apapun yang selalu menjadi pengiring, selalu disebutkan tanpa kurang dan tanpa sungkan. Ada banyak harap yang selalu saja membuatnya kembali datang ke tempat ini, tempat suci dengan gumaman-gumaman sakral yang menggerayangi hati. Doa-doa yang mengepung ruangan ini dengan cengkraman teguh pada sang pemilik segala alam yang besar, terasa begitu tenang. Hening nya mengisi kekosongan-kekosongan yang mencengkram dada sejak beberapa Minggu belakangan. Duduk menunduk dengan segala penuturan lamat-lamat bibir nya yang tak mampu didengar oleh siapapun, mata legam nya terpejam menambah khusyuk. Harap-harap ia akan menemukan sebuah ketenangan yang didambakan sejak lama. Isi kepalanya sungguh penuh, sejak beberapa tahun belakangan menjadi yang paling bising diantara semua kejadian-kejadian dalam hidupnya yang tidak begitu menarik.

Sejujurnya ia sedikit malu, sebab duduk dengan penuh perasaan dosa yang mengikutsertakan harapannya, selalu menjadi pertanyaan apakah dia cukup pantas?

Ada banyak hal yang selalu ingin dirinya tau jawaban itu. Tapi sepertinya pengujian atas apa yang menjadi cabang-cabang dalam pikiran itu sendiri masih ingin tumbuh lebih lebat. Masih bertanya-tanya apa yang tengah dirinya cari? Dia hanya mampu menggeleng kecil, dengan gumaman-gumaman yang selalu terdengar sama oleh telinga sendiri, juga genggaman kuat dan menekan dari tangannya yang mengepal, meramal-ramalkan baik demi baik doa-doa yang tak kunjung sampai kepada sang pemilik. Dia tentu masih mengharapkan Tuhan akan tetapi baik dengan nya yang sudah hidup dengan tidak tahu diri.

Kakak perempuannya pernah mengatakan bahwa Tuhan masih tidak bosan mendengarkannya, bahkan tidak akan pernah bosan. Dia maha besar, siap menunggu dan memeluk erat segala peraduan yang kemelut,' dibandingkan dengan dirinya, sang kakak lebih tahu arah tujuan yang penuh dengan jejak. Sebetulnya dia masih sedikit bersyukur atas itu, sekalipun rasanya malu sekali untuk berbicara tentang apapun pada sang pencipta. Tapi katanya ; dia adalah lemah yang tak pantas untuk memiliki perasaan itu. Disini, mengadu segala kesulitan-kesulitan yang membuat dia merasa sangat cengeng. Meminta topangan lebih besar daripada kuasanya sendiri, sebab dia acap kali gagal dan tidak mampu.

"Jika boleh, maka saya ingin berkesempatan di dalam nya Tuhan. Hanya karena saya yang berdosa, hanya karena saya yang tak memiliki keberdayaan, saya memiliki ketidakmampuan yang besar untuk berbicara. Sesungguhnya saya memiliki salah uang besar, tapi sayang tidak tahu arahnya."

Dia - Damian Vito Sadajiwa. Datang dengan lapang yang gersang, kusut yang menenggelamkan jiwa-jiwa yang memerlukan pertolongan. Jika saja bukan ke sini, maka dimana tujuannya? Memberikan seisi jiwa nya untuk berserah kepada Tuhan yang dia percayai mampu membawa hidup nya jauh lebih berarti. Duduk dengan khidmat di setiap khotbah yang menggelegar di telinga. Vito masih saja betah duduk untuk kembali memanjatkan doa khusus setelah ibadah hari ini di tutup oleh pendeta. Juga orang-orang yang mulai meninggalkan gereja.

Dia masih enggan beranjak, masih saja ingin berdiam diri lebih lama. Merasakan kehangatan yang sungkan untuk dirinya temui selain di tempat ini.

"Emang, kalau doa selama itu Tuhan bakal kabulin permohonan kamu dengan cepat?"

Hanya lirih, bahkan gendang telinga nya meminta lebih keras pertanyaan itu terlontar sekali lagi. Bersamaan dengan mata legamnya yang terbuka, juga kepalan tangan yang sedikit renggang, kepalanya menoleh pada seseorang yang entah sejak kapan duduk di samping nya. Menatap dia lekat dengan senyum kecilnya yang tersirat. "Jadi apa jawabannya?"

Cukup lama untuk mencoba menjawabnya, entah untuk pertanyaan yang seperti apa yang perlu jawaban-jawaban kompleks dari mulut nya. Vito diam sejenak, membiarkan mata legam itu beradu sejenak pada sang pemilik samudera coklat jernih lawan bicaranya. Ah, maksudnya pada seseorang yang mencoba membicarakan sesuatu kepadanya. Ada yang selalu ingin dirinya jawab, sekalipun sulit. Dia justru mempertanyakan arah pertanyaan perempuan dengan rambut coklat nya ini. Sayang nya, kali ini dirinya membenarkan, sebab pertanyaan perempuan dengan dres hitamnya yang dibalut jaket crop berwarna coklat, barangkali jadi pertanyaan diri nya sendiri, 'sebenarnya apa yang dia lakukan dengan begitu tunduk?' Kembali mengerjap beberapa kali ketika bahu itu ditepuk-tepuk hangat, seseorang pemilik tangan lembut dengan jari-jari yang lentik.

Siapa gerangan?

"Semoga ketika kita ketemu lagi, jawabannya udah ada yah?"

Apa yang perlu dijawab?

Damian Vito Sadajiwa menghela nafasnya dalam, memilih untuk menatap lekat kayu salib di hadapannya, menerjang segala pertanyaan-pertanyaan yang masih mengusik pikirannya. Benar, mungkin dialah jiwa yang memiliki rasa haus yang teramat, hingga pertanyaan sederhana dari sang pemilik samudera coklat di matanya pun tak mampu untuk dirinya jawab.



















••

Next

Maaf jika kurang rilet dengan kesenangan kalian yang bersimpangan. Barangkali kita punya kesukaan yang berbeda yah, cerita ini memberikan pasangan-pasangan yang sudah tidak terlihat lagi, tapi seenggaknya saya ingin mereka yang menyampaikan cerita saya.

Jadi, selamat menikmati sekalipun enggak begitu bagus.

Terimakasih yah sudah repot-repot mampir dan membaca.

DIBALIK LAYAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang