••"Mah, terima kasih telah hidup dengan baik untuk saya yang enggak tahu diri."
Damian Vito Sadajiwa tidak tahu apakah kalimat itu benar-benar akan menyinggung? Tapi ini berbicara tentang dirinya yang hidup dengan keegoisannya. Apakah kata maaf nya masih bisa didengar dengan perasaan bangga? Dalam ruang kosongnya Damian selalu berharap seperti itu.
Ada banyak hal yang selalu ingin ia bicarakan, akan tetapi selalu saja merasa bahwa dia tak mampu untuk berbicara banyak. Damian Vito Sadajiwa — mungkin melupakan bahwa waktu terus-menerus mengikat, ia tak pernah memberikan toleransi untuk keterlambatan atas sebuah penyesalan-penyesalan yang justru tidaklah berguna. Beratnya apa yang sebenernya terjadi? Apa yang seharusnya dia lakukan? Kesempatan-kesempatan itu sudah hilang dibawa pergi jauh oleh sang pemilik maaf. Ia hanya mampu disini dengan perasaan yang makin berkecamuk. Mungkin akan semakin parah, ia tak akan paham tentang perjalanan yang sudah dilewati tanpa melibatkan seseorang yang selalu dianggap penting. Separah-parahnya yang akan terjadi adalah ia akan semakin kehilangan arah. Matanya berkelana, menatap satu persatu keluarga yang hadir disini. Mungkin jika semuanya paham situasi yang sebenarnya, ia tidak akan dengan sukarela duduk diantara Garcia dan Zee yang masih mampu untuk menangis dengan tatapan kosong.
Ia tentu berbagai semua orang mengatakan ini akan baik-baik saja pada kakak dan adiknya. Akan tetapi ia menyadari bahwa ; ini akan sangat sulit diterima.
Dia tak bergeming, bahkan ketika pertama kali telinga nya mendengar doa-doa pembuka dari pendeta, nyanyian pujian dan segala penyembahan untuk menghibur jiwa-jiwa yang kosong, pun ketika firman Tuhan dibacakan, rasanya masih tetap sama. Pikirannya masih berkenalan jauh, ia masih mencerna semuanya dengan susah payah, apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang sebenarnya ia lewatkan? Sebetulnya memang cukup kurang ajar sebab dia mati rasa. Perasaannya sulit digambarkan hingga didepan tubuh sang ibunda yang sudah kaku pun, ia tak mampu untuk mengungkapkan segala nya. Yang dapat dirinya lakukan adalah bungkam.
"Lo enggak akan tahu rasanya kehilangan, karena lo cukup enggak tahu diri untuk ada disini."
Ya, itulah yang setidaknya mampu Damian ingat dari mulut bungsu dari Sadajiwa setelah semuanya benar-benar usai. Ia tersenyum kecil, bukan amarah-amarah yang tengah ia bicarakan. Bahkan kekosongan dalam benaknya, juga dalam diri kenziro Asadel Sadajiwa ini tidak benar-benar membuat mereka saling memahami satu sama lain.
"Jangan lupa makan."
Bukan kah itu peringatan yang penting untuk seseorang yang merasa kehilangan? Vito tentu yakin jika adiknya akan berlarut-larut dalam kesedihan dan kehilangan nya.
•• ∆∆ ••
Bertemu kembali, tanpa di terka dan tanpa di sengaja.
Barangkali sesuatu yang berhubungan dengan waktu memang mempunyai banyak hal yang sulit untuk dipahami dan ditebak-tebak. Duka-cita yang saling berdekatan, mungkin memang selalu akan begitu. Timbal balik — percaya pada sang pemilik hati yang lebih mampu membolak-balikkan hati, kapan pun bahkan diluar jangkauan manusia itu sendiri, jika sudah di kehendaki pertemuan-pertemuan ini akan terus berlanjut. Menjelma menjadi hal-hal yang mempunyai beribu-ribu lembar kemungkinan yang ada, ini justru seperti sebuah jawaban-jawaban dari puzzle yang berserakan di dalam pikirannya sendiri. Ketidaksengajaan apa yang selalu menjadi sebuah kebetulan yang menyenangkan? Di tengah duka-duka orang-orang yang mengukung diri dari balik tangis dan perasaan kehilangan yang mendalam, dia justru menyempatkan untuk bersyukur sebab dia ada di tempat ini untuk kesekian kalinya. Lama menerka-nerka, apa yang dilihatnya memang benar, dia sosok diam yang tak banyak bicara. Dia — sang pencipta matcha yang belakangan menjadi minuman untuk membangkitkan mood nya, dia yang menjelma menjadi seorang guru dengan penjelasan singkat tentang Matcha yang masih cukup baik untuk diingat diluar kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIBALIK LAYAR
RandomAda disini, ketika semuanya terasa begitu berat dan sesak. Saya yang ada di balik layar mu, beranjak untuk merengkuh.