01 | Matcha dan pertemuan

1K 32 2
                                    


••

"Meja nomer 21, ini meja nomer 32 jangan ketuker!"

"Tadi satu bakmi bebek asap udah belum?!"

"Masih kurang satu lagi woy!"

Tak ada yang berbeda di setiap harinya.

Rasanya mengerikan ketika jam-jam lapar mulai menggerilya tempat kaman sebagai persinggahan.

Riuh nan sibuk masih-masing mengasongkan segala penat yang menjerit ingin di istrirahat kan. Sasah payah langkah dan tangannya untuk berjalan selaras dengan perasaan muak. Membawa semua nya bergerak-gerak lebih gesit kesana-kemari hanya melayani ini itu yang masih saja terasa begitu menyebalkan. Menimbun kekesalan yang penuh dengan muak hanya untuk profesionalitas yang membuatnya sedikit bertahan disini, tempat yang panas dan bising. Dibalik apron hitamnya, menelisik seisi sudut-sudut yang mulai tak mampu menampung bising nya orang-orang di jam makam siang. Dia tak pernah menyadari bahwa ; tempat yang tak begitu luas ini mampu menarik banyak manusia, kendati dengan hidangan sederhana yang banyak di temui dimana-mana, dia tak menyangka bahwa warung makannya menjadi pilihan yang menarik untuk sekedar singgah. Sedikit agak menyesali tentang putus asa yang sempat menumpuk, bahkan mungkin hingga saat ini tentang ketidakpercayaan dirinya, minim semangat dan banyaknya ketakutan-ketakutan yang sebetulnya tidaklah penting. Berdiri di ambang pintu kaca geser yang membentang, menyekat batasan ruang outdoor dan indoor yang sama-sama ramai dia menghembuskan nafasnya panjang. Wara-wiri manusia benar-benar membuatnya sedikit pusing, tempat ini bahkan terasa lebih sesak dari biasanya. Beruntung cuaca Jakarta hari ini jauh lebih bersahabat, sedikit mendung yang sejuk.

Jakarta akhir-akhir ini sulit sekali diterka-terka.

Kadang-kadang ia sedikit mendesah kesal sebab Jakarta tidak selalu bersahabat dengan apa yang ia harap-harapkan.

Sejujurnya, jika boleh mengatakan tentang banyak hal, perubahan-perubahan cuaca yang tidak tertebak itulah yang membuat sang pemilik tempat comfort di jam makan siang ini selalu pening. Laki-laki ini bisa saja mengatakan bahwa dia alergi dengan keramaian, jika saja boleh meminta tempat ini selalu ingin menjadi persinggahan untuknya dengan nuansa yang sepi. Tapi rasanya mustahil, sebab perhitungan tentang keuntungan bukan dihasilkan oleh ketenangan dirinya seorang. Itu sebab nya ia mulai membencinya.

Ada sedikit kekhawatiran dalam benaknya. Meskipun seharusnya dibarengi dengan persamaan bahagia dengan suasana warung kecil ini yang seolah-olah menjadi primadona. Akan tetapi bagi ia tetap saja rasanya tidak lah menyenangkan, sebab keramaian adalah musuh terbesar bagi nya. Maétala - yang menjadi nama tempat dagangannya berada, dengan cuaca Jakarta yang lumayan sejuk, meronta-ronta meminta sebuah kehangatan ini benar-benar sedikit membuat repot orang yang bergelut dibalik apron nya. Bakmi yang menjadi hidangan spesial di tempat ini akan selalu menjadi yang paling laris dengan cuaca yang dingin, seolah-olah menawarkan kesederhanaan yang mengenyangkan. Dia khawatir jika tempat ini akan semakin bising dan terasa begitu sesak. Kahwatit jika tempat ini akan semakin ramai dengan karakteristik manusia yang menyebalkan, bagi Vito sang Introvert yang terpaksa berdiri disini untuk menyambung hidupnya, memang cukup merepotkan.

Maétala acap kali menjadi tempat yang enggan untuk dirinya datangi, meksipun disinilah nyawa nya tumbuh. Menjadi seorang yang menjual senjata lewat makanan, Vito selalu memiliki banyak harapan bahwa ; perasaannya harus tersampaikan lewat apa yang di racik dengan suka cita. Akan tetapi ia kini menjadi lebih dewasa yang membingungkan, dulu menggaungkan segala mimpinya untuk Maétala hingga hari ini tumbuh dan hidup, akan tetapi Vito juga selalu sungkan untuk kembali menemui hal-hal yang membosankan di tempat ini. Sebab bising-bising nya cukup membuat seorang Vito seolah-olah terjebak dengan tekanan yang besar.

Andai saja, Gracia - kakak nya itu tak banyak meminta untuk jauh lebih tegas. Mungkin, Maétala tidak akan seramai ini.

Nafas nya yang kasar terhembus panjang, menarik kembali tungkainya agar berdiri di balik bar pantry menyambut orang-orang yang lalu-lalang silih berganti hanya untuk mengenyangkan kelaparan. Sudah cukup dirinya untuk menepi sejenak menguapkan rasa penat sebab keramaian yang tak dia suka. Sungguhan daripada kerja banyak, bagi Vito berada ditengah-tengah keramaian seperti sekarang juga cukup melelahkan tubuhnya. Kembali berdiri bersama apron hitamnya, kewajibannya setidaknya harus usai segera mungkin setelah dia membiarkan dirinya menyatu dengan mesin-mesin kopi, dan juga sesekali masuk ke area kitchen yang tak kalah riweh. Sungguhan, Vito menyukai kegiatannya, yang tak dia sukai adalah suasana di sekitarnya. "Biar saya aja Van, mending buru-buru istirahat makan, gantian sama Robi biar enggak keteteran banget." Ivan mengangguk, menggeser tubuhnya agar Vito lebih leluasa kembali masuk ikut serta bersama dua barista yang merangkap menjadi kasir juga, berdiri disana bergantian untuk melayani kesibukan.

DIBALIK LAYAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang