Bab 5. Wajah Elit, Peka Sulit

4 1 0
                                    

Setelah pesan terakhirnya hanya menampilkan warna biru pada dua ceklis yang ada di layar ponselnya. Seorang gadis dengan berat hati beranjak dari tempat empuk yang selalu memberikan kehangatan dan kenyamanan.

Baru membuka pintu ruangan yang sejak tadi menjadi tempatnya mengurung diri, berdirilah sosok wanita paruh baya yang hendak mengetuk pintu. Hal itu terlihat karena tangan kanannya terangkat dengan posisi di dekat kening seorang gadis tersebut.

"Baru, mau Mama ketuk pintunya," kata seorang wanita paruh baya, "kamu udah keluar kamar duluan."

Seorang gadis dengan kedua sudut bibirnya tertarik ke atas menjawab, "Zahra haus, Ma."

"Kamu temui teman kamu dulu, biar Mama bawakan minum dan camilannya ke ruang tamu," papar seorang wanita paruh baya yang tidak lain adalah sang Mama dari gadis tersebut.

"Teman?" tanya seorang gadis yang mengaku bernama Zahra, "tapi Zahra nggak ngundang siapa-siapa, Ma."

"Ya, mana Mama tahu, Kak. Kirain dia pacar kamu, ternyata calon pacar Adora."

Mendengar penuturan Mamanya, Zahra terbatuk karena tersedak salivanya sendiri ketika hendak menelannya.

"Apa!" teriaknya karena terkejut. "Tapi, emangnya Adora berani pacaran?"

Sang Mama mengedikkan kedua bahunya, kemudian berjalan menuju dapur meninggalkan Zahra yang kelihatannya sedang memikirkan sesuatu. Karena pandangan matanya mendongak ke atas.

"Apa itu, Ma?" Kedua mata Zahra tertuju pada tangan kiri sang Mama yang menenteng sebuah tas keresek berwarna putih.

Sang Mama tersenyum lebar, "Dari teman kamu, katanya buat Mama."

Zahra melangkahkan kakinya menuju ruang tamu, dan ... betapa terkejutnya dia karena melihat seorang lelaki tampan dengan setelah celana jeans berwarna hazel dan kaos berwarna kelabu yang langsung berdiri ketika dirinya datang.

"Lo ngapain, ke rumah gue?" tanyanya kepada lelaki tersebut.

Bukannya menjawab, wajah lelaki itu malah berseri-seri, menunjukkan gigi putihnya yang berjajar rapi.

"Kenapa lo, Gen?" tanyanya lagi. "Senyam-senyum sendiri."

Lelaki tampan tersebut adalah Genta Abimanyu. Genta mendudukkan diri kembali setelah Zahra duduk di sofa seberang.

"Ayo anterin gue," pinta Genta.

"Kemana?"

"Ke rumah Adora."

"Ngapain?"

"Ngapel."

"Lo edan bener."

Tiba-tiba ...

"Kakak," panggil Mama Zahra, "temannya sendiri kok di katain edan. Enggak boleh kayak gitu, apa lagi kalau kedengeran sama Adek kamu."

Genta mengedipkan satu matanya pada Zahra dengan satu sudut bibirnya terangkat ke atas, dan seperkian detik ekspresi tersebut berubah sok imut dan sok menggemaskan.

"Enggak apa-apa, Tante. Saya sudah biasa di katain Zahra kayak gitu." Genta mengadu kepada Mama Zahra dengan melebih-lebihkan.

Mama Zahra menatap tajam Zahra, "Benar, yang di bilang teman kamu?"

Zahra menatap Genta kesal, "Enggak, Ma. Dia bohong."

"Silahkan di nikmati, Nak." Mama Zahra meletakkan teko yang berukuran sedang, kemudian beberapa toples yang berisi camilan, dan dua buah gelas yang masih kosong.

Genta tersenyum, "Terima kasih, Tante. Maaf, jadi ngerepotin."

"Enggak ngerepotin kok," kata Mama Zahra. "Ini isinya kue kering yang Tante bikin sendiri loh. Nanti kamu bungkus ya, Tante bikin banyak."

Dinding PembatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang