05; Walking-Walking

3.1K 404 198
                                    

Setelah Bapak berangkat kerja dan Ibu masuk kamar, ruang tengah diisi sama dua manusia yang terdampar karena gabut. Hega sama Jaffan ngga tau mau ngapain, mana ketiga dedek pada asyik di kamar masing-masing. Biasanya si gemini bakal isengin satu-satu, tapi berhubung tadi pagi udah disuruh Bapak minta maaf, jatah kenakalannya hari ini udah menipis banget dan ngga boleh disia-siakan sembarangan.

Dia juga mau isengin Jaffan, tapi ingat tadi pagi suasana mellow-nya kayak gimana pas Bapak sama Ibu ucap terima kasih ke anak itu. Tiap terngiang suaranya sendiri pas jujur sama Bapak kalau Jaffan yang bantu selama ini, mukanya tambah merah. Bukan apa-apa, soalnya dari awal pulang imej dia udah hancur banget dengan bertingkah manja — refleks — sama Bapak dan Ibu, terus ditambah ada sesi deep talk kayak tadi pagi yang melibatkan Jaffan. Cowok itu ngga ada henti tatap dia tiap kali Hega curi lirik memastikan.

“Lo liburan gini doang?” Pertanyaan pertama dari Jaffan mengudara, bikin lamunan Hega terdistraksi. Mereka berdua sama-sama goleran di atas karpet, posisinya saling beda arah hadap, jadi pucuk kepala dua anak ini hampir nempel. “Emang lo ada agenda kalau libur?”

Jaffan ingat-ingat dia ngapain aja dalam satu bulan lebih liburan yang biasa dikasih sama universitas. Kayaknya ngga gabut amat, deh.

Dia biasanya liburan di rumah Eyang bareng sama cucu-cucu yang lain. Tapi selalu dia yang paling banyak diseret ikut acara-acara berbau militer sama Eyang karena cuma dia yang terlalu mager sekadar mau cari alasan nolak — lagian repot nanti diceramahi kalau ketauan bohong demi menghindari agenda.

Baru sadar ternyata liburannya juga sama aja lempeng tanpa ada hal menarik. “Deket-deket sini ada apa, sih? Tempat wisata atau rekreasi gitu.” Dia malah ajukan pertanyaan lain alih-alih jawab Hega tadi. Wajar aja kalau si gemini lekas bawa diri bangun buat madep Jaffan.

“Tempat wisata? Lo? Ngajak keluar duluan? Yang bener aja, ini seriusan Jaffan bukan?” Dengan dramatisnya Hega pindah ke samping sang leo yang masih rebahan, terus pundak cowok itu digoncang-goncang sama dia. Ketika reaksi normal Jaffan adalah ngomel seraya cekal tangan pelaku yang gangguin ketenangannya, kali ini cowok itu malah ketawa aja ngikutin alur candaan Hega.

“Gak, gua setan, mau apa lo?”

“Wah, ngga bisa dibiarin, harus dirukyah ini.” Hega ambil air mineral gelasan yang ada di meja, terus ditusuknya pakai sedotan. Aslinya, mah, emang haus, tapi bilangnya buat nyembur setan. “Ngga mempan disembur,” Jaffan pindah jadi duduk, tepat berhadapan sama si gemini. Pandangannya turun bentar amati jakun Hega yang gerak-gerak sewaktu anaknya lagi minum air, sejurus kemudian baru balik tatap matanya lamat-lamat.

“Baru mempan kalo dicium.”

Byur!

Uhuk! Uhuk!” Hega tepuk dadanya sendiri buat meredakan perih tenggorokan dan menormalkan jalur napas. Dia dari awal ngga berniat nyembur, tapi kelakuan Jaffan bikin refleksnya terpicu. Mana cowok leo di depannya kini masih diam aja meski mukanya full basah kena hujan lokal. “Lo-- uhuk ... parah banget, anjir!”

Sang leo ngga jawab, pilih menyeka basah di muka pakai lengan kaosnya sendiri. Raut wajahnya masih aja datar, balik ke default jutek kayak biasa di kampus sehari-hari. Hega jadi ngga enak lihatnya. Dia ikutan ngelap sisi wajah Jaffan bermodalkan lengan bajunya yang panjang karena wadah tisu di meja terpantau kosong. Kenapa juga tisu harus habis tepat ketika dibutuhkan.

“Sori,” kata si Juni. Dia gigit bibir kilas karena Jaffan masih ngga mau jawab juga, jadi Hega tarik mundur tangannya. Pikir anak itu, mungkin si leo marah dan terganggu kalau asal dipegang gitu tadi. Terlebih air yang muncrat ke wajahnya juga bekas mulut dia — haduh, ekstra menjijikkan.

[2] Best[L]ie | ft. NaHyuck (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang