― Meluruskan Hubungan

3.8K 352 157
                                    

“Semoga betah sama anak Papa, ya ... Papa tunggu kamu jadi bagian dari keluarga ini.” Sadewo sukses membikin kedua remaja yang duduk di hadapannya melongo seketika. Dia umbar tawa keras dan mendadak, sampai-sampai Mbok Atmi yang baru datang dengan baki berisi minuman untuk tamu jadi kaget. Untungnya beliau nggak sampai hilang kendali dan masih bisa taruh dua gelas jus jeruk ke meja untuk Hega sama Jaffan — kalau Sadewo dari tadi udah dibuatin kopi, jadi nggak minta lagi.

“Silakan, Mas, Den.” Pertama kali sadar, Jaffan bilang terima kasih, tapi dia lihat pacarnya masih beku di tempat. “Ga?” Paha cowok itu disenggolnya pelan, terus Hega kelabakan berucap terima kasih serupa ke asisten rumah tangga keluarga pacarnya itu. “Oh-- oh, iya, maaf, saya tadi nggak fokus. Terima kasih, Bu.” Iya, Hega memutuskan dia nggak merasa sopan untuk memanggil Mbok Atmi kayak gimana Jaffan ucap tadi. Si leo mungkin udah terbiasa dari kecil, dia nggak menyalahkan atau mempermasalahkan, tapi bagi dia sendiri yang baru hari ini kenal tentu aja canggung.

Di hadapannya, Mbok Atmi senyum penuh arti sembari memeluk baki. Beliau jawab, “Sama-sama, saya permisi dulu, kalau ada yang dibutuhkan lagi nanti bisa panggil saya, ya, Mas?” Wanita lansia ini berusaha supaya calon menantu keluarga yang dilayaninya nggak merasa sungkan atau bahkan merasa merendahkan, toh baginya itu cuma sekadar panggilan. Yang terpenting, keluarga Pak Sadewo nggak pernah semena-mena memperlakukan dan masih menghargai hak serta martabatnya sebagai manusia.

Sepeninggal sang ART, nampaknya Om Sadewo menemukan topik baru untuk menahan kedua remaja dimabuk cinta itu supaya nggak buru-buru meninggalkan hadapannya dan lari ke kamar. Dia tadi menangkap cara Hega bicara serta gestur tubuh yang anak itu buat tanpa sadar. Kesemuanya menciptakan senyum tipis di bibir si pria lima puluh enam tahun.

“Ga, kamu ini berapa bersaudara, sih?” Tanya Sadewo penasaran, tubuhnya agak mencondong ke depan karena tertarik, sementara anak tunggalnya pasang lirikan penuh kritik. Mungkin batinnya kenapa tiba-tiba si bapak banyak omong, biasanya juga kalau ketemu cuma nanya ‘Udah pulang?’ ketika wujudnya aja udah jelas berdiri di depan mata. Papa buruk banget urusan basa-basi sama Jaffan, padahal beliau pandai omong kalau di luar, terlebih pekerjaannya juga menuntut banyak keahlian komunikasi.

Sadewo sebenernya sayang banget sama sang anak, cuma nggak tau cara menunjukkan itu. Terakhir dia lancar berhubungan ayah-anak sama Jaffan ketika anak itu masih TK, selebihnya urusan istrinya. Nggak heran kalau misalnya pendekatan yang dia pakai ke anak kadang masih nyangkut kayak waktu kecil, dan itu bikin Jaffan versi remaja kuliahan jadi risih.

“Ini wawancara apa lagi ceritanya?” Selidik Jaffan ke ayahnya sendiri, terus dia dapat cubitan di paha dari Hega. Katanya nggak sopan. Sadewo lagi-lagi ketawa kecil tengok anaknya mendengus sambil ngedumel nyinyir.

“Saya empat bersaudara, Om, kebetulan saya anak pertama.”

“Oh ya? Pantes kamu sabar banget ngadepin anak Papa ... ternyata udah biasa sama adek-adek, ya?” Jaffan noleh nggak terima, tapi belum bilang apa-apa.

Haha, mungkin gitu, Om. Karena saya juga tuaan setahun ketimbang Jaffan, jadi emang saya maklumi aja kalau dia berulah.” Tolehan syok Jaffan berpindah ke arah Hega juga.

“Pasti dia sering rewel dan ngerepotin kamu, ya? Kayak ini tadi aja harus ditegur biar nggak kurang ajar sama Papanya ... parah.” Jaffan bener-bener kayak orang sibuk mengamati bola tenis yang dipukul bolak-balik sama para pemain di lapangan, soalnya dia kini noleh Papa sama Hega bergantian terus dengan raut muka jelas mau mengucap pembelaan. Masalahnya, dia nggak nemu ruang buat menyela.

[2] Best[L]ie | ft. NaHyuck (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang