08; Is There Still Anything That Love Can Do? (END)

4.2K 416 313
                                    

Ini udah bukan kayaknya lagi, tapi Jaffan percaya dia emang udah gila dan sekarang lagi ngimpi. Seharian bantuin Ibu ngurus rumah mungkin udah bikin badannya kecapekan sampai bisa menghasilkan khayalan tingkat tinggi macam begini.

Gimana engga, setelah ciumannya sama Hega berakhir jadi angin lalu hampir seminggu lalu, kini cowok manis itu kembali ada di pangkuannya, ngga menolak sentuhan bibir yang sejak tadi mengeksplorasi pundak polosnya.

Berpuluh tanda tanya melintasi benak Jaffan. Kenapa dan Apa mendominasi.

Kenapa Hega seolah ngasih tubuhnya cuma-cuma; Kenapa dia ngga berpikir keintiman semacam ini bukan wajarnya terjadi dalam pertemanan; Kenapa sikapnya mendadak berubah-ubah tentang hubungan mereka, dan paling penting; Apa setelah ini Hega cuma akan melupakan momen mesra mereka ini lagi.

“Ga, kayaknya lo harus iket gua biar berhenti.” Bisik Jaffan setelah tak kurang dari belasan ruam kemerahan dia buat di bahu dan punggung Hega — memang si gemini duduk di pangkuannya, tapi ngga saling hadap. Anak itu juga santai banget, ngebiarin Jaffan dengan agenda berkreasi bikin hickey sementara dia main game Candy Crush di ponselnya. Iya juga, mau dianalisis dari sisi mana pun ini bukan interaksi romantis yang normal antara dua orang. Mungkin emang consensual, tapi ngga equal karena cuma Jaffan yang kerepotan ngatur perasaan dari tadi.

Hm? Lo udah gede, harusnya bisa tahan diri sendiri.” Komentar Hega singkat dan datar, bahkan nengok ke orang yang lagi mangku dia pun engga. Harusnya Jaffan ngerti kalau di titik ini beneran ngga ada harapan untuk mereka berdua.

Sret!

Gemini Juni itu kedip bingung karena dia dipindah duduk ke kasur tiba-tiba. Matanya naik, tatap Jaffan yang udah bangkit berdiri menjulang di hadapan. “Gua ke kamar sekarang.” Singkat sang leo, terus beneran pergi ninggalin kamar Hega yang penghuninya pun ngga mau repot-repot kejar dan tanya kenapa tentang sikapnya ini.







Hega khilaf. Iya, beneran. Dia terlalu menikmati gangguin Jaffan sampai luput ingat cowok itu juga punya perasaan. Mana perasaan si leo aslinya lebih rapuh dari yang kelihatan. Dua hari berselang setelah malam dia pulang rapat, Jaffan kayaknya pasang jarak lebih sama dia. Alasan di balik itu jelas langsung dimengerti sama Hega yang peka. Sampai sekarang dia kalau pakai baju bukan yang longgar karena ruam merah keunguan ulah Jaffan malam itu masih belum hilang bekasnya — kayaknya bakal awet lama karena warnanya masih jelas banget.

Pagi tadi dia dengar si leo terima panggilan dari Papanya di teras. Meski ngga pernah dididik untuk kepo urusan orang begini, Hega susah tahan diri buat ngga nguping.

Pembicaraan antara ayah dan anak itu berlangsung singkat, ada beberapa debat kecil sebelum sampai di titik persetujuan, tapi inti dari seluruh percakapan itu bisa dirangkum informasi bahwa;

Jaffan disuruh pulang ke rumah Eyangnya.

Hega buru-buru pergi setelah agenda mengupingnya selesai. Dia mau tunggu sampai Jaffan bilang kalau dia berniat pamit, karena dengarnya tadi, sang leo patuh sama Papa untuk pulang.

Tapi hari ini full ngga ada pembicaraan antara mereka. Nyapa pun engga. Jaffan beneran balik ke dirinya yang cuek dan dingin, tapi cuma ke Hega.

Chandra, Adji, Citra, bahkan Ibu sama Bapak tetap dapat senyumnya yang biasa; uluran bantuannya; dan nada ramah sewaktu bicara. Jaffan juga lebih banyak ngobrol ketika jam makan malam, menggantikan posisi Hega yang jadi sering diem sekarang karena berusaha menerka celah dia bisa ajak sang leo bicara empat mata.

[2] Best[L]ie | ft. NaHyuck (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang