2. flashback

1 1 0
                                    

PS: mulai dari chapter ini, cerita di mulai dengan alur dari masa lalu a.k.a pake Jalur alur mundur ya! Dan di harap untuk membaca ulang karena revisi  (⁠◠⁠‿⁠◕⁠)







||happy reading! •  °  •  °  •  °  •


















"Tio, ayo bangun."

"ahaha!!! Kucing itu terjatuh!!"

"tanganmu terluka lagi?! Kok bisa sih? Kamu itu kalau main harus hati-hati dong!"

'sialan'

'selalu saja begini.'

'kak, sampai kapan kau akan mengganggu mimpiku?'

Angin berhembus lembut mengelus-elus lembut pipi pemuda dengan sorot mata yang menatap dingin itu. Surai cokelat yang terlihat lembut itu terlihat bergerak mengikuti arah angin. Iris mata biru yang berkilau bak berlian itu terlihat tak berpaling dari wajah seorang pemuda yang berdiri tak jauh di depannya.

Pemuda itu memilih berbalik dan berjalan pergi dari sana. Iris mata biru nya yang berkilau bak berlian tampak menatap lurus ke depan, ekspresinya terlihat tengah menahan emosi yang berkecamuk di pikirannya. Dia berjalan lurus ke depan, tanpa menoleh sekalipun ke belakang.

sementara itu, seseorang yang menjadi pengganggu di mimpinya itu tampak tersenyum kecil. Angin berhembus lembut, membuat rambut dua pemuda itu terbawa angin. Pohon yang berada di tengah-tengah rerumputan hijau itu menggugurkan beberapa helai daun untuk jatuh ke bawah.

Tepat saat helai daun itu jatuh di atas bunga mawar putih, langkah pemuda yang berjalan pergi itu terhenti. Dia terdiam saat mendengar kata-kata pemuda di belakangnya.

"apa kau serius membenciku?"

Tit! Tit! Tit!

Suara alarm dari ponsel yang terletak di atas laci membuat pemuda yang terbaring di atas kasur itu tersentak kaget dan terbangun dari tidurnya. Iris mata biru bak berlian itu mengerjapkan kedua matanya, perlahan dia mulai beringsut duduk dari posisi tidurnya. Nafasnya tampak terengah-engah karena kaget bangun secara tiba-tiba.

Perlahan, tangan pemuda itu mengusap poni rambutnya ke belakang, dia menetralkan nafasnya sambil mengingat-ingat apa yang terjadi di bunga tidurnya hingga ia terbangun secara tiba-tiba. Matanya melirik ke arah jam dinding yang menunjukan pukul enam pagi, sepertinya dia kesiangan lagi.

Pemuda itu bisa merasakan peluh keringat yang lengket di punggungnya, dia berdecak kesal dan memilih berdiri dan berjalan ke kamar mandinya untuk membasuh badannya.

*****

Ekspresinya tampak tak berubah, sorot mata yang menatap dingin ke manapun arah matanya menatap. Dia selalu memasang ekspresi yang seolah tidak ingin diajak bicara, matanya melirik ke arah cermin yang memperlihatkan dirinya yang memakai seragam acak-acakan.

Kancing seragam bagian atas yang di buka, tidak memakai dasi, juga rambut yang belum di sisir rapih membuatnya terlihat memakai seragam dengan tidak benar.

Matanya melirik jam di dinding yang menunjukan jam tujuh kurang seperempat, dia mendengus pelan lalu mengambil ranselnya. Setelah merasa sudah selesai, pemuda itu membuka pintu kamarnya dan berjalan keluar kamar.

Berjalan menuruni tangga untuk turun ke lantai bawah, rumah yang di huni oleh para laki-laki itu terlihat sepi. Sesaat pemuda itu bisa mencium wangi makanan yang berasal dari dapur, karena penasaran dia mengintip di balik pintu pintu dapur. Dia melihat sepiring nasi goreng dengan gelas berisi teh hangat di sisinya.

Pemuda itu bisa menebak,  itu sarapan yang di buat oleh saudaranya.

"Ck...gak kapok-kapok tu orang." Dia berdecak pelan, lalu berlalu pergi tanpa menyentuh sedikitpun isi piring itu.

Di sisi bagian kanan seragam pemuda itu terlihat name tag dengan nama 'Tio Evora.N' di sana. Benar, nama pemuda itu Tio. Remaja yang saat ini berstatus sebagai murid SMP dan senang menjalani peran sebagai murid kelas dua di sekolahnya.

Tio mengambil sepatunya di rak sepatu dan memakainya, dia mengikat tali sepatunya dengan rapih agar tidak jatuh karena menginjak tali sepatunya sendiri. Setelah selesai, dia berdiri dan meraih kenop pintu lalu membukanya dan berjalan keluar rumah.

Setelah Tio pergi, barulah terlihat ada laki-laki lain yang turun dari lantai dua rumah mereka. Dari umurnya bisa di sebut dia adalah pria, ah...statusnya saja sebagai kepala keluarga di rumah ini. Sudah sepantasnya dia di panggil pria bukan?

Pria itu menatap kepergian seorang pemuda yang bisa di pastikan dia adalah anaknya sendiri. Iris mata hijaunya melirik ke arah dapur, dia berjalan ke sana dan melihat sepiring nasi goreng di atas meja makan yang terlihat tak tersentuh sama sekali. Pria itu menggelengkan kepalanya lalu berjalan mendekat ke arah meja makan, dia duduk dan mulai memakan sarapan yang harusnya di makan anaknya itu.

"Kapan dia akan memakan sarapannya dengan benar?"







*****






"Kenapa kamu telat?"

"Kenapa saya gak boleh telat?"

Tepat seperti dugaan pembaca, remaja SMP bernama Tihong—Tio itu mendapat omelan  dari gurunya sendiri. Saat melangkah masuk ke dalam kelas, Tio di sambut dengan pria paruh baya yang menjabat sebagai wali kelas sekaligus guru mata pelajaran matematika.

Remaja itu hanya menjawab sekenanya lalu melenggang masuk ke dalam kelas, wali kelasnya hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah salah satu anak didiknya itu.

"Lain kali saya tidak akan membiarkan kamu lagi, mohon untuk kedepannya datang lebih awal Tio."

"Baik pak."

Tio berjalan menuju kursinya yang berada di barisan belakang, dia menaruh ranselnya di samping kursinya yang kosong. Dia mendengus pelan lalu memilih memalingkan wajahnya dan menatap pemandangan di luar jendela.

Selagi guru menjelaskan materi pelajaran di depan kelas, banyak anak-anak di barisan belakang yang malah mengobrol atau tidak memperhatikan apa yang gurunya sampaikan. 

Sementara itu, laki-laki yang duduk di belakang Tio menatap lurus ke depan. Memperhatikan apa yang saudaranya lakukan.








*****









"Kamu udah sarapan di rumah? Mau kakak beliin roti?"

Tio mendengus dingin mendengar pertanyaan dari pemuda yang duduk di sampingnya, dia mengabaikannya agar saudaranya itu segera pergi.

"Mau rasa cokelat? Sekalian pake susunya mau gak?"

Theo nama pemuda yang dari tadi berusaha membujuk Tio itu masih terlihat tidak mau bergerak walau saudaranya sendiri mengabaikannya. Sekarang sudah waktu istirahat, dan Theo berniat mengajak saudaranya untuk pergi ke kantin bersama. Dan tentu saja itu ditolak.

Karena ajakan ke kantin di tolak, Theo menawarkan untuk membelikan sesuatu untuk adik kembarnya. Dia tahu, saudaranya yang satu itu pasti tidak mau memakan sarapan yang dia buat di rumah. "Ayo dong, kamu jangan diem terus. Jawab kakak."

"Pergi."

Pemuda itu menghela nafas, dia berdiri dan beranjak pergi. "Inget, jangan nahan lapar." Setelahnya dia berlalu pergi, meninggalkan Tio sendirian di kelas.

"Ck, bodoh amat." Dia berdecak malas, melipat kedua tangannya dan memilih menutup matanya sejenak.

||Bersambung...

PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang