Halo semuanya... Bagaimana kabar kalian?
Perkenalkan namaku... Ah, sepertinya itu tidak perlu. Kalian juga tidak akan peduli dengan nama nenek-nenek berusia 55 tahun bukan?
Inti dari pembicaraan ini adalah cerita yang aku bawa. Di sini, aku ingin menceritakan sebuah kehidupan yang terjadi puluhan tahun lalu. Kalian tenang saja, cerita yang aku bawa tidak akan membosankan seperti orang yang membawakannya. Aku yakin cerita ini dapat memikat hati kalian.
Semoga kalian bahagia dimana pun kalian berada, dan semoga kalian menemukan cinta yang tidak pernah padam sampai kalian tua. Sekian kata yang ingin aku sampaikan, senang bertemu kalian.
...
Dia melihat ke sisi jalan. Banyak kendaraan beroda empat berlalu-lalang. Cuacanya begitu gelap, matahari tertutup sepenuhnya oleh awan hitam. Hujan turun dengan deras. Perempuan itu meneduh di depan sebuah toko yang buka, cipratan air hujan mengenai pakaiannya. Dia melirik jam di pergelangan tangan, manik matanya bergerak gelisah.
Perempuan itu berlari, bergegas berpindah ke tempat lain. Di sebelah toko yang saat ini dia gunakan untuk berteduh, terdapat sebuah coffe shop yang berdiri tidak jauh dari sana. Dia hanya cukup berlari empat menit untuk menuju ke sana. Kepalanya dia tutup dengan tas berukuran sedang yang dia bawa, menerobos tetesan air yang terus mengguyur bumi. Sesampainya di depan coffe shop, dia mengelap beberapa bagian pakaian yang terkena air hujan agar tidak terlalu basah.
Dia memegang gagang pintu, membukanya. Sosok yang pertama kali dia lihat seindah senja di sore hari, yang keindahannya selalu di nantikan semua orang untuk di lihat. Laki-laki dengan tinggi 170an memakai seragam seorang barista berdiri sambil mengelap beberapa gelas yang sepertinya habis dia cuci. Rambutnya hitam, cukup panjang, melebihi mata, namun dia atur agar tidak menutupi penglihatannya.
Seperkian detik dia terpaku, mematung di tengah pintu. Mungkin tebakannya salah. Mungkin, jika sosok yang saat ini tengah dia tatap dengan sorot kagum di sandingkan dengan sosok senja, laki-laki itulah yang akan menjadi pemeran utama. Mengalihkan perhatian semua orang dari sosok senja menjadi terarah padanya.
Setelah beberapa detik terdiam, dia tersadar, kemudian segera masuk ke dalam. Dia berdeham menghilangkan kecanggungannya, padahal mereka saja tidak saling kenal. Perempuan itu berjalan ke depan laki-laki tersebut.
“Saya mau pesan vanilla latte satu,” Dia berkata setelah melihat berbagai macam menu yang tersedia. Pakaiannya formal, perpaduan antara warna cokelat tua dan putih.
“Mau yang panas atau dingin?” tanya barista tersebut.
“Yang panas,” jawabnya, dia sedikit bersikap kaku.
“Atas nama siapa?”
“Harumi.”
Setelah pesanannya berhasil di catat dan menerima kertas antrian, dia berjalan mencari tempat duduk. Pandangannya menangkap sekeliling, dia baru tersadar bahwa coffe shop ini begitu sepi. Mungkin orang-orang malas keluar untuk basah-basahan, lagi pula di luar sedang hujan. Lebih nyaman tidur di rumah dengan selimut hangat yang tebal.
Harumi memainkan ponselnya, mengotak-atik, membalas beberapa pesan yang masuk. Di atas meja, uap air yang masih panas mengepul ke atas. Pesanannya baru di antar lima menit yang lalu. Dia tidak buru-buru menyesap minumannya, menghabiskannya. Perempuan yang perkiraan baru memasuki usia 20 itu menunggu minumannya agar tidak terlalu panas. Lebih nikmat jika di minum dalam kondisi hangat, toh di luar juga hujan masih lebat. Dia menunggu hingga hujan sedikit reda.
Lima belas menit dia habiskan di tempat itu, menikmati kesunyian di coffe shop, hanya mendengarkan percikan air hujan yang jatuh di luar sana. Harumi sesekali mencuri pandang pada si pemuda barista, memperhatikan lekuk wajahnya. Wajah pemuda itu memang pantas untuk di kagumi. Terlihat begitu mulus dan bersih. Namun, dia tak berani memperhatikan terlalu lama, takut perhatiannya di sadari oleh si empu.
Hanya sekali. Tanpa Harumi sadari, si barista juga menoleh ke arahnya, ketika posisi pemuda itu membelakangi tubuh seorang gadis yang menjadi satu-satunya pembeli di tengah hujan deras saat ini. Rambutnya hitam panjang, sedikit bergelombang dan di ikat rendah. Dia melanjutkan mengelap beberapa gelas yang tersisa, tersenyum melihat Harumi yang duduk seorang diri di antara kursi kosong. Fokus mengotak-atik ponselnya.
Tak terasa, hujan reda begitu saja. Tersisa gerimis kecil. Harumi terlalu asik membalas pesan dari sahabatnya. Tak menunggu lama, dia segera bergegas, bangkit dari duduknya. Mengambil tas berwarna krem miliknya, menyampirkannya di bahu.
Dia berjalan, datang ke depan seorang barista yang juga merangkap sebagai kasir untuk membayar minuman yang dia pesan barusan. Harumi menyerahkan uang limapuluh ribu, kemudian menerima kembalian beserta struk pembayaran. Setelah melakukan pembayaran, dia keluar dari coffe shop.
...
Cerita ini di publish di KaryaKarsa. Dapat dibaca secara gratis hingga 3 part pertama. Kalo kalian menyukai karya ini, boleh mampir ke akun di bawah
KAMU SEDANG MEMBACA
It's You
Roman pour AdolescentsHarumi. Gadis yang baru menginjak usia duapuluh tahun ini. Hidupnya tidak terlalu spesial, tidak ada sesuatu yang membuatnya spesial juga. Kehidupannya sama seperti kebanyakan orang, biasa saja dan monoton. Bertemu dengan Ishan, memberikan kesan yan...