❒Bab 2 : Satya kenapa?

3 1 1
                                    

Pukul lima pagi Buana sudah bangun mempersiapkan keperluannya nanti. Di mulai dari parfum, minyak kayu putih, makeup milik kakaknya, dan tak lupa tiga jenis buku yang selalu ia bawa ke sekolah, termasuk buku diarynya yang tak pernah ia lupakan.

Setelah siap dengan tasnya, ia beralih pada lemarinya. Mengambil style baju yang sudah ia siapkan tadi malam dan meletakannya di atas kasur. Merasa tak ada lagi yang perlu ia ambil, ia pun melangkah ke kamar mandi setelah sebelumnya ia mengambil handuk yang tergantung di samping lemari.




"Buna, udah sholat?" Mama menatap Buana yang nuruni tangga. Mama tampak tersenyum melihat penampilan Buana sekarang yang berbeda dari hari biasanya.

"Udah, Ma," jawab Buana sambil memeluk Mama yang tengah memasak dari belakang.

"Suruh Arina sama Rio turun, gih. Kita sarapan bareng, mumpung Arina lagi di rumah," perintah Mama yang membuat Buana melepaskan pelukannya.

"Kak Rina mau balik ngekos lagi, Mah?"

Mama mengangguk. "Iya, lusa Arina bakal ke sana."

Buana memasang raut sedih. "Kok, cepet banget baliknya. Baru kemarin datang."

"Ya, mau gimana. Nanti kamu juga kalo kuliah bakal lebih jauh lagi dari Arina."

"Kemana, Mah?" Ia menatap bingung Mama.

"Jakarta." Mendengarnya membuat Buana membeku. Ia memikirkan bagaimana kehidupannya di Jakarta nanti di saat dirinya tak pandai bersosialisasi. Itu akan menyiksanya.

"Udah sana, panggil mereka. Nanti kamu kesiangan datangnya," ujar Mama sambil mendorong pelan tubuh Buana yang masih belum beranjak juga.

Sekitar sepuluh menit kemudian, keluarga kecil Buana sudah duduk rapi di kursi masing-masing, menatap makan yang tersaji di atas meja. Mulai dari menuangkan nasi dan lauk pauk kedalam piring secara bergantian, doa yang di pimpin oleh Sang Ayah. Ketika semua anggota mulai menyantap makannya, hanya Buana yang masih belum menyantap makan sedikit pun. Ia masih menatap ponsel dengan raut kesal. Hingga sebuah bunyi bel rumah membuat semua atensi menatap pintu rumah yang masih bisa di lihat dari ruang makan.

"Masih pagi loh, kenapa sudah ada yang bertamu? Tak biasanya," heran Ayah.

"Mama buka dulu, ya."

Ayah hanya mengangguk. Belum ada beberapa Mama melangkah, suara decitan yang kemudian berganti menjadi langkah kaki yang cepat menuju tangga membuat seluruh keluarga terkejut dan menatap heran ke arah sumber suara.

"Buana! Mau kemana?"

Buana tak merespon panggilan dari Arina. Ia nampak begitu tergesa-gesa menaiki tangga.

Saat semua mulai menikmati makanannya kembali, suara langkah kaki Buana yang tergesa-gesa mulai terdengar lagi. Membuat Ayah, Arina, dan Rio yang masih di meja makan berhenti mengunyah makanannya. Semua memperhatikan Buana, mulai dari turun tangga hingga melewati meja makan.

"Rin, coba lihat Buna dulu sana," suruh Ayah sambil mengeluarkan uang dari dompetnya. "Nih, kasih Buna juga. Kayaknya di mau berangkat."

Arina mengambil uang itu kemudian menyusul Mama dan Buana di luar.

"Jemput Buana, Tante," ujar Satya.

"Jemput Buana?" Satya mengangguk.

"Ya udah, Tante pang---"

"Maa...."

Mama dan Satya menatap Buana yang terengah-engah setelah berlari dari kamarnya. Mama hanya menggeleng atas kelakuan Buana.

"Nih, orangnya." Mama kembali menatap Satya. "Memangnya mau kemana?"

"Mau ke sekolah, Tante. Kan, Buana ikut lomba bareng saya?" ujar Satya.

Diary BunaDaa //Park SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang