❒Bab 1 : Pasangan

10 1 1
                                    

"Wlekk! Buna... Buna, aku lempar keatap, ya!" seru seorang anak laki-laki berumur sepuluh tahun. Anak laki-laki itu mengangkat sebuah penghapus kecil ditangan sambil menatap mengejek pada anak perempuan yang pasrah karena penghapusannya diambil anak laki-laki itu.

Anak perempuan itu menatap jengah anak laki-laki itu, ia beralih fokus pada teman disamping. Sungguh menyebalkan jika anak laki-laki itu mulai mengusilinya, panggil saja ia Guntur.

Terlalu fokus dengan teman disamping, anak perempuan itu mendapat tepukan dibahunya dari Guntur. Sontak saja anak perempuan itu menoleh dengan wajah julidnya.

"Penghapusnya udah nggak ada. Udah aku lempar ke atap. Kalo mau, ambil ke atas, hehe," ujar Guntur.

"Guntur!! Itu penghapus aku yang terakhir!! Ambil, nggak!!" Anak perempuan itu kemudian menumpukan kepalanya di meja. Ia merajuk pada Guntur.

"Nggak mau, wlekk!!"

Anak kecil bernama lengkap Buana Sindhy itu mengangkat kepalanya perlahan sambil menatap tajam Guntur. "Guntur!! Ambil, nggak!!"

"Nggak mau!!" Guntur berlari menghindari amukan Buana.

"Guntur!!! Sini ngga!!"





"Buana?!"

Buana terlonjak kaget mendengar panggilan dari Bu Widya, wali kelasnya. Ia menatap ke sekitarnya. Ini kelasnya. Sepi.

"Buana? Nggak papa, kan?" tanya Bu Widya.

"Hh-hah?"

"Nggak papan 'kan, kalo kamu pasangan sama Satya nanti?" ulang Bu Widya. "Kamu dari tadi ngelamun, Na?"

Buana tersenyum kikuk. Ia mengiyakan pertanyaan Bu Widya.

"Jadi gimana? Mau, kan?"

"Iya, Bu," setuju Buana.

Ia menatap Satya yang duduk disampingnya. Lelaki itu menatap ponselnya serius. Sungguh, jika bukan karena Bu Widya mungkin dia tidak akan mau berpasangan dengan Satya. Padahal di kelasnya masih banyak siswi yang lebih cantik dari dirinya.

"Bu, boleh saya keluar?" Satya memasukkan ponselnya ke dalam sakunya.

"Boleh, kalian boleh pulang sekarang?"

Satya meninggalkan kelas terlebih dahulu, lelaki itu terlihat tergesa-gesa dalam langkahnya. Sedangkan Buana nampak kembali melamun beberapa saat sebelum Bu Widya memanggilnya.

"Na? Kenapa?"

Ia menggeleng kecil. "Nggak papa, Bu. Kalo gitu saya pamit dulu."




"Gue seneng kalo gue di percaya untuk ikut lombanya. Dulu gue ikut lomba itu juga di sekolah, tapi nggak menang, hehe." Buana menertawakan betapa percaya dirinya dulu mengikuti lomba Fashion Show antar sekolah dulu, sayangnya dirinya tidak menang karena terkendala pakaian dan visualnya.

Keduanya saat ini berada di parkiran. Nia datang dengan sepeda, sedangkan Buana tidak. Nia dan Buana selalu pulang bersama karena rumah mereka yang satu komplek. Keduanya tidak bisa berangkat bersama karena terkendala waktu, pasalnya mereka selalu berangkat sepuluh sampai lima belas menit sebelum bel sekolah berbunyi. Jadi tak heran jika mereka sering terlambat datang hingga harus menunggu tiga puluh menit untuk masuk ke area sekolah, tak jarang mereka akan mendapatkan hukuman dari guru. Sejauh ini mereka baru dua kali terlambat dari peraturan sekolah yang membatasi sampai dengan tiga kali terlambat.

"Yee, di kira menang!" kesal Nia yang kini menuntun sepeda. Tak mungkin jika ia harus membonceng Buana di belakang, ia lupa mengompa bannya.

"Tapi serius, deh. Kali ini gue nggak begitu senang jika harus berpasangan dengan Satya!"

Diary BunaDaa //Park SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang