❒Bab 4 : Ancaman?

3 1 1
                                    

Siang ini cukup cerah untuk sekadar mengerjakan tugas kelompok, dari guru Bahasa Indonesia-mata pelajaran paling disukai Buana sajak lama. Ia sangat menyukai mata pelajaran itu bahkan sangat berambisi untuk membuat nilainya tetap setiap tugas yang di berikan. Seperti halnya tugas kelompok yang di haruskan untuk mewawancarai mengenai profesi yang ditekuni oleh beberapa orang.

Tetapi ada satu hal yang membuat Buana kesal sejak tadi. Ia tak suka dengan rekan satu kelompok di sampingnya itu. Bagaimana bisa mereka membiarkan dirinya bersama lelaki dingin dan menyebalkan itu. Bukannya membantu mengajukan pertanyaan, lelaki itu itu malah diam melirik ke arah penjualan makanan. Terhitung sudah lebih dari lima stand lelaki itu datangin. Sedangkan sejak tadi mereka melewatkan untuk mewawancarai beberapa orang dan itu karena lelaki itu tiba-tiba pergi.

Seperti sekarang, Buana melihat orang-orang bermain sepatu roda. Ketika ia ingin menghampiri salah satu dari mereka, lelaki itu melangkah pergi ke penjual minuman. Buana yang tak terbiasa dengan keramaian pun terpaksa mengikuti lelaki itu agar tak sendirian.

"Sat! Yang bener aja, Lo! Kita dari tadi belum nemuin satu orangpun, Satya!!" geramnya, menyeimbangkan langkahnya dengan Satya.

"Terus?"

Buana tercengang mendengar balasan Satya. Apakah lelaki itu sama sekali tak ada niatan untuk membantunya?

Ia benar-benar geram dengan Satya. Lekas ia meninggalkan Satya yang tengah mengantri membeli minuman. Kali ini bukan dia yang di tinggalkan, tetapi Satya.

Gue coret nama lu, anjing! Nggak guna!

Batinnya terus saja memaki Satya. Ia merasa lelah, padahal baru jam satu lewat. Biasanya energinya masih tersisa hingga malam, tapi entah mengapa hari ini cepat sekali berkurang.

Ia berteduh di bawah pohon rindang. Duduk di bangku yang sengaja di buat di bawah pohon itu. Membuka ponselnya dan bertukar pesan dengan Nia.

Berkali-kali ia tersenyum hingga tertawa cekikikan ketika bertukar pesan dengan Nia. Ya, seperti itulah cara Buana mengisi energinya jika sedang di luar. Jika tak bisa bertemu, maka pertukaran pesan dengan Nia juga bisa membantunya mengisi energi. Walau beberapa kali risih dengan orang-orang yang memandangnya, ia mencoba untuk tidak peduli.

Ketika dirasa sudah cukup beristirahat, ia memasukan kembali ponselnya ke tas. Namun saat ia menatap ke depan, Satya sudah berdiri di depannya dengan minuman yang tinggal sedikit. Nampaknya sedari tadi lelaki itu menyedot minumannya sambil berdiri di sana.

"Sejak kapan lo di situ?"

Bukannya menjawab, Satya malah mengambil duduk di sampingnya sambil terus menyedot minumannya.

"Lo kayak orang gila, ketawa sendirian. Lo nggak perhatiin apa, sedari tadi orang-orang mandangin lo? Untung gue usir."

Buana melotot. Angkuh sekali lelaki ini. Ingin sekali ia menjambak rambutnya hingga lepas. Untung saja moodnya sudah membaik.

"Kita ke Mall sekarang. Gue udah suruh yang lain ke sana."

"Ngapain!? Gue mau pulang aja!"

Satya menatap datar Buana. Ia berdiri dan melangkah, meninggalkan Buana.

"Nama lo bakal di keluarin dari kelompok! Lagipula, emang lo mau di culik om-om prindapan?"

Dengan rasa tak terima Buana tetap mengikuti lelaki itu. Jika bukan karena ia tak suka keramaian, sejak tadi sudah dipastikan tangannya melayang ke kepala lelaki itu.

Raut cemas tak dapat Buana sembunyikan lagi setelah melihat bukti ancaman yang di berikan seseorang kepada Nia. Walaupun Nia tak peduli dengan ancaman itu, Buana yang sudah menganggap Nia sebagai adiknya sendiri tidak bisa untuk tidak cemas saat Nia di berikan ancaman.

Diary BunaDaa //Park SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang