[ i ] what must it be like, to grow up that beautiful?

333 17 14
                                    

𝐰𝐡𝐚𝐭 𝐦𝐮𝐬𝐭 𝐢𝐭 𝐛𝐞 𝐥𝐢𝐤𝐞, 𝐭𝐨 𝐠𝐫𝐨𝐰 𝐮𝐩 𝐭𝐡𝐚𝐭 𝐛𝐞𝐚𝐮𝐭𝐢𝐟𝐮𝐥?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

𝐰𝐡𝐚𝐭 𝐦𝐮𝐬𝐭 𝐢𝐭 𝐛𝐞 𝐥𝐢𝐤𝐞,
𝐭𝐨 𝐠𝐫𝐨𝐰 𝐮𝐩 𝐭𝐡𝐚𝐭 𝐛𝐞𝐚𝐮𝐭𝐢𝐟𝐮𝐥?

[ han hyeongjun / lee jooyeon ]

ps: just gay yearning, bucin cranked up to 1000000000. you've been warned (lovingly♡)

sonnenblum © 2023

▪︎▪︎▪︎

Dia siswa pindahan, Lee Jooyeon, anak pirang dengan tawa lepas yang mengumandang ke setiap penjuru ruang kelas. Baru namun tak asing, ia mengambil tempatnya di tengah lingkaran teman-teman sebaya seakan meja itu memang terbuat untuk ia duduki. Ia bersenda gurau dengan siapa pun yang bersedia, keterampilan sosial yang tidak akan pernah Han Hyeongjun kuasai tanpa usaha. Seperti mainan baru, Hyeongjun pikir Jooyeon dan noveltinya akan memudar dalam beberapa hari—minggu mungkin. Nyatanya, lima bulan sudah berlalu sejak ia tiba, dan setiap pasang mata di kelas ini masih terpaku padanya seakan tersihir.

Hyeongjun tak terkecuali, ia pun tengah mengamati Lee Jooyeon dari tempat duduk nyamannya di pojok kelas. Jatuh dalam pesonanya yang keemasan. Terpeleset dari tebing menuju aliran sungai deras, jatuh yang seperti itu. Di luar kontrol dan berbahaya. Dan Hyeongjun membenci setiap detiknya. Ia benci betapa manusia yang tidak ia kenal dekat ini menariknya dengan gaya gravitasi.

Bagaimana rasanya, hidup dengan wajah seindah itu? Tidak kah ia menjadi seorang congkak yang terobsesi pada cermin? Lagi, ia harus tekankan, ia tidak mengenal Lee Jooyeon secara personal. Namun perumpamaan Narcissus tak cocok untuknya. Adonis mungkin lebih tepat, atau Apollo sendiri.

Katanya, jika kau menatap seseorang intens mereka bisa merasakannya seperti gelitikan samar pada punggung. Mulai hari ini, Hyeongjun percaya bahwa itu adalah kebenaran mutlak sebab tanpa peringatan Jooyeon menoleh ke arahnya.

Irisnya cokelat gelap, dalam dan mengundang—tampak hazel ketika tumpahan sinar matahari dari sela-sela jendela kelas memantulkan kilau keemasan. Dua mata yang ekspresif itu bersirobok dengan milik Hyeongjun yang sama cokelat, namun lebih seperti segelas teh pahit. Bibirnya menarik sebuah senyuman, tulus dan ramah.

Lee Jooyeon sudah kelewatan. Maksudnya, siapa yang memperbolehkannya tersenyum seperti itu? Kejam, ia sama sekali tidak peduli jika Hyeongjun hancur menjadi serpihan di tempat duduknya. Tentu saja ia tidak peduli.

Senyum itu tidak berbalas. Hyeongjun belum segila itu—hampir, ia sudah di ujung kewarasan. Memalingkan wajah ke jendela, seluruh tubuhnya memanas. Ia benci bagaimana reaksinya begitu mudah diprediksi. Tubuh mengaku dan pipi menyerupai tomat rebus. Seperti remaja pada umumnya, infatuasi mengambil bentuk yang familiar.

Serangkaian langkah kaki kemudian, seseorang menarik kursi di sebelahnya, tungkai kayu menggores lantai dengan deritan. Kehadiran manusia lain di ruang pribadinya membuat Hyeongjun meninggalkan jendela dan pemandangan lapangan olahraga sekolah. Kerumunan di tengah kelas telah bubar menjadi kelompok-kelompok kecil, dan Lee Jooyeon telah pindah ke sebelahnya.

Lee Jooyeon duduk di sebelahnya. Kebingungan mewarnai wajahnya, menyerang Hyeongjun dengan sejuta pertanyaan meski ia belum mengucap barang satu kata. Hyeongjun menelan saliva, tak berani menahan kontak mata dengan objek afeksinya yang kini begitu dekat. Terlalu dekat dan terlalu nyata. Senyata jantungnya yang berdentum liar seiring otaknya memproses presensi Jooyeon. Senyata aroma detergen lembut yang menguar dari kemeja seragam musim panas yang dikenakan laki-laki itu.

Ia memancarkan kehangatan, dari lengan mereka yang nyaris bersentuhan, dan dari caranya mengisi spasi di sisi Hyeongjun. Seakan mereka teman akrab, kasual dan nyaman.

Tidak. Ia membuat semua orang merasa begitu. Hyeongjun tidak istimewa. Semua orang menyukainya. Jooyeon membuat semua orang menyukainya. Tidak bisakah Jooyeon memberikan kehangatan itu hanya padanya? Memelihara perasaan yang tumbuh di dalam dadanya menjadi rumpun mawar bermekaran.

Sialan, ia tidak seputus asa ini.

"Apa sih masalahmu?" tanya Jooyeon, kuriositas murni dalam lisannya.

"Apa—"

"Ada apa di wajahku?"

Ada apa di wajahmu? Hyeongjun hampir mendenguskan tawa tak percaya. Aku melihat kekasih masa depanku di wajahmu. Atau setidaknya begitu yang ia harapkan. Alih-alih membiarkan kejujuran itu meluncur dari mulutnya, Hyeongjun menjawab dengan datar, "Enggak ada apa-apa."

"Terus kenapa kamu ngelihatin aku seperti itu?"

Tidak ada jawaban. Hyeongjun tidak berniat menjawab. Ia menggeser kursinya hingga menempel ke dinding, berusaha menciptakan jarak antara dirinya dan Lee Jooyeon, biar hanya beberapa sentimeter. Apa pun itu agar ia tak bisa merasakan embusan napasnya, dan agar Jooyeon tak mendengar jantungnya yang masih belum tenang.

"Are you allergic to me?" Jooyeon bertanya lagi, menggeser duduknya, hingga jarak yang Hyeongjun buat tadi menjadi sia-sia, "Setiap aku mendekat kamu menghindar."

"Because everyone likes you, you're expecting me to like you too?"

"Jadi kamu gak suka aku?"

Bagaimana ia harus menjawab yang satu ini? Hyeongjun menggigit bibir, pandangan jatuh ke permukaan mejanya yang dipenuhi bekas coretan-coretan acak hasil karya siswa tahun lalu. Rasa suka seperti apa yang Jooyeon inginkan darinya? Apakah ia akan keberatan dengan jenis rasa suka yang Hyeongjun miliki? Atau sebaiknya ia meringkuk saja dalam lemari figuratif dan memasang topeng abai.

"Aku—biasa aja. Aku gak peduli," kata Hyeongjun pelan.

"Oh. Oke."

Ada kekecewaan dalam respons singkatnya. Hyeongjun berani sumpah ia tidak delusional.

Jooyeon diam di tempat, tangan menopang dagu, kening mengerut dan bibir sedikit mengerucut. Apa pun itu yang ia pikirkan, Hyeongjun iri Jooyeon memilih menghabiskan sekian detiknya untuk itu daripada lanjut berbicara dengannya. Infatuasinya pada Lee Jooyeon dipenuhi kontradiksi. Tarik ulur, penolakan dan kepura-puraan, naik turun wahana roller coaster. Kendati demikian, tubuhnya lugas dan jujur. Fisiknya bereaksi sebagaimana diperintah oleh zat kimia dalam otaknya.

"Okay. Can we start over? Hi, I'm Jooyeon. Let's be friends," katanya, mengulurkan tangan, menunggu Hyeongjun menjabatnya. Lagi-lagi ia memasang senyum ramah yang sama.

Menjadi teman. Hyeongjun menyambut uluran tangan Jooyeon, menyebutkan namanya sendiri canggung. Seperti yang ia duga, tubuhnya seketika memanas. Perutnya bergolak, daripada dipenuhi sekumpulan kupu-kupu, lebih mirip sekawanan burung merpati kehilangan arah. Jooyeon membuatnya merasakan begitu banyak, sedangkan ia hanyalah teman sekelas di antara puluhan teman sekelas lainnya bagi Jooyeon. Oh, Hyeongjun benci betapa ia begitu atraktif. Sayangnya, ia lampau tak tertolong.

Imajinasinya merajut kisah-kisah semu yang tidak akan pernah melihat realita. Bagaimana momen ini menjadi permulaan dari pertemanan dan kemudian sesuatu yang lebih. Bagaimana lembut helai-helai pirang mengilap itu di sela-sela jemarinya. Bagaimana bibir mereka bertemu dalam temaram bioskop dengan film horor sebagai latar.

Sebaiknya ia berhenti berharap sekarang.

06/08/23

▪︎▪︎▪︎

montage from suburbiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang