Perahu

3 0 0
                                    


"Bila harus membayangkan hal yang menggambarkan diriku, aku akan memilih perahu." ucapku memecah keheningan yang sudah berlangsung lama, terlalu lama bahkan.

"Mengapa?" tatap perempuan bersurai panjang itu kepadaku.

"Karena rasanya tepat seperti itu. Rasanya aku memiliki persamaan dengan perahu, perahu itu seperti aku."

Dia mengabaikan penjelasan yang baru kuucapkan. Membuat penjelasan itu menghilang bersama dengan debur ombak yang semakin ganas.

Malam hari, air pasang laut dan dinginnya udara tak kami hiraukan. Kami tetap duduk bersisihan tanpa alas tak menyadari perubahan langit jingga yang telah berubah menjadi gulita.

Hanya ada suara deburan ombak dan perahu yang terombang ambing di lautan. Kami kembali tak berbicara.

Kesunyian yang bertolak belakang dengan keriuhan di otak kami ini entah kapan akan berakhir. Mungkin kami akan bermalam disini, mungkin semua ini berakhir sampai salah satu nelayan menanyai kami, atau mungkin kami akan terus berdiam hingga salah satu dari kami tak tahan karena kesemutan. Entah kemungkinan yang mana tapi aku masih belum mau beranjak.

Aku lebih memilih sibuk mengulang ingatan sebelum hari ini. Ingatan yang menjadi alasan aku duduk terdiam di tepi pantai malam ini. Ingatan saat aku mengetahui hari kematianku tak lama lagi.

"Kalau kau perahu, apa kematian adalah badai?" Pertanyaan itu muncul dari perempuan disampingku setelah hening cukup lama.

"Bagiku kita seperti perahu-perahu di dermaga yang terombang ambing menunggu sang nelayan datang. Tanpa tahu kapan dan kemana akan pergi, perahu itu tetap setia menunggu. Karena sesungguhnya ia tak bisa pergi, ia tak tahu kemana tujuannya pergi tanpa sang nelayan."

"Setiap perahu tahu mereka memiliki waktu pergi dan tujuan yang berbeda. Mungkin perahu biru itu akan pergi esok hari, mungkin perahu reyot itu akan pergi tahun depan. Tidak ada yang tahu. Tidak ada perahu yang tahu. Hanya sang nelayan yang tahu." Jawabku sembari menunjuk perahu diujung buritan yang perombang-ambing oleh ombak lautan.

"Perginya satu perahu memberi satu ruang kosong di dermaga. Tampak sepi untuk sejenak, sebelum tempatnya tergantikan dengan perahu baru yang datang."

Belum selesai bicaraku, tapi perempuan di sampingku itu sudah tak sabar meluapkan pikirannya.

"Tunggu, kau samakan kematianmu dengan perahu? Apakah kau tahu kalau perahu ini seringnya pergi di waktu yang bersamaan? Para nelayan juga punya tempatnya masing masing di dermaga ini, tidak berebut seperti lahan parkir di perkotaan."

Wajahnya penuh dengan ekspresi yang tidak bisa aku jabarkan. Tapi tentunya dia tidak terima atas pengandaian yang aku punya. Aku hanya tersenyum, ah aku merindukan setiap garis wajahnya.

"Dalam pengandaian milikku perahu-perahu itu milik satu orang yang sama, sang nelayan yang maha tahu." jelasku padanya.

Dia terdiam untuk beberapa waktu, sebelum memberi tanda padaku untuk melanjutkan bicaraku yang tertunda.

"Dibanding perahu biru, perahu reyot itu selalu tahu bahwa ia akan pergi tak lama lagi. Posisinya yang paling ujung membuat badannya tertepa banyak percikan ombak, terombang ambing siang dan malam, menunggu sang nelayan tiba memilihnya. Sang nelayan maha tahu yang akan pergi membawa dirinya."

Lalu aku terdiam. Penjelasan bodoh tentang perahu itu selesai. Pengandaian yang kubuat secara tiba tiba itu menggantung begitu saja tanpa ada akhir yang jelas.

Kini aku kembali menatap lurus ke depan. Mengabaikan tatapan meminta penjelasan dari perempuan di sampingku.

"Apa yang terjadi pada si perahu reyot?" tanya perempuan itu kini dengan nada yang lebih tenang, bukan nada mendebat seperti sebelumnya.

"Entahlah, hanya sang nelayan yang tahu." jawabku dibubuhi senyuman.

"Bagaimana perasaan si perahu reyot?" Lontaran pertanyaan dengan wajah tanpa ekspresi milikmu sungguh tidak kuduga.

Senyuman itu memudar. Tatap mata milikmu yang sarat akan emosi menghilangkan senyuman itu secepat aku menyadari bahwa aku tak punya jawaban untuk pertanyaan tersebut.

"Si perahu reyot yang tahu kepergiannya itu pasti pernah merasakan khawatir dan takut bukan?" tambahnya lagi. Membuat aku semakin terbungkam. Bukan pertanyaan ini yang terpikir olehku saat mengarang pengandaian tadi.

Tak ada yang pernah benar benar bertanya bagaimana perasaanku.

"Benar bukan? Perahu reyot itu pasti pernah merasa takut saat melihat perahu lain pergi. Ia pasti pernah merasa lelah terombang ambing diposisinya yang paling akhir. Ia pasti memikirkan bagaimana perahu biru yang selama ini menemainya kalau ia pergi. Bukankah begitu? Bukankah kau merasa seperti itu?" Cercaan pertanyaan itu menggantung menuntut jawaban.

Debur ombak kembali mengisi keheningan diantara kami setelah pertanyaannya berhasil membuatku terdiam.

Malam semakin larut. Air pasang semakin meninggi. Angin berhembus membawa udara yang lebih dingin.

Tubuh mungilnya yang tertepa angin itu tak goyah. Ia tetap memeluk kedua kakinya dengan tatapan yang tak beralih dari diriku. Ah aku merindukan setiap garis wajahnya.

Perlahan aku menggenggam tangan pucat miliknya. Mengucapkan kata di tengah jeritnya ombak.

"Ya. Perahu reyot itu takut, perahu reyot itu lelah, dan perahu reyot itu juga memikirkan bagaimana perahu biru yang selama ini menemainya."

Entah apakah itu tetesan dari awan atau pelupuk matanya. Dia dengan segera merengkuh tubuhku. Membiarkan tubuh kami bersentuhan.

Hangat.

"Tak apa untuk merasa takut. Kematian memang menakutkan. Terima kasih karena selama ini kau sudah berjuang." ucapnya dengan suara yang bergetar.

Aku mengangguk, menenggelamkan diriku lebih dalam pada pelukannya. Membiarkan waktu terhenti untuk menikmati peluknya. Ah aku merindukan pelukannya.

Jika waktu memang bisa berhenti, pasti surai hitam panjangmu sudah terbawa hembusan angin yang membisikan pesan bahwa para perahu tak pernah tahu apa yang sang nelayan ketahui.

Hingga tak ada satupun diantara perahu-perahu itu dapat mempercayai bahwa di hari esok perahu birulah yang sang nelayan pilih untuk pergi.

Perahu Biru dan Nelayan Maha TahuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang