Chan menghela nafas sambil renggangkan tubuhnya yang merasa lelah. Sejak semalam, ia tidak berpindah sama sekali dari posisi duduknya di depan layar monitor yang kini tunjukkan deretan beat lagu yang tengah ia revisi.
Buku yang berisi catatan lirik untuk instrumen lagu tersebut ia ketuk-ketuk dengan bulpen. Kepalanya pening sekali karena harus tiba-tiba dapat penolakan atas lagunya ini karena nada dan liriknya tidak sesuai konsep grup yang dijadwalkan akan comeback tiga bulan lagi.
Syukurnya, lagu yang direvisi ini hanyalah lagu side track. Mungkin punya impact besar untuk comeback ini, tapi kalau tidak memberi kemajuan untuk grup pun pasti para penggemar akan tetap mendengarkannya. Tentu karena penggemar grup ini sungguh loyalitas.
Tapi, kalau lagunya jelek pun citra Chan sebagai produser yang terkenal secara internasional akan rusak dalam semalam. Chan jelas tidak ingin itu terjadi. Sungguh mimpi buruk!
Tapi lagi, semua mimpi buruk bisa hilang kalau adiknya yang paling lucu dan menggemaskan mengelus kepalanya sambil berujar lembut kalau ia akan menemani Chan kapanpun itu.
"Hah.... Kangen Lixie." Kepalanya kini merebah di atas meja, pandangannya kini beralih pada ponselnya yang menyala sebab sebuah notifikasi pesan masuk.
Tangannya meraih ponsel, membaca pesannya, lalu tersenyum lebar.
Tubuhnya segera saja menegak, lalu berdiri dan berjalan cepat meninggalkan ruang kerjanya menuju lobby.
Dari ekspresinya yang sumringah, penonton jelas tahu siapa sosok yang mengirim pesan pada produser musik ternama ini. Pastinya sosok yang ia sebut namanya beberapa menit lalu.
Namun, ekspresi senang milik Chan segera lenyap setelah tiba di lobby, sosok yang mengirim pesan padanya tidak terlihat di sana. Dan ia langsung mengerti saat dipanggil oleh seorang perempuan yang duduk di kursi resepsionis, bahwa adiknya yang menggemaskan hanya meninggalkan kotak bekal beserta secarik kertas berisi kata penyemangat.
Ekspresinya seketika kuyu. Seakan-akan semangat hidupnya ditarik paksa dari raga dan meninggalkan perasaan muram berkepanjangan.
"Selain karena konsep series kali ini, Lixie juga sudah lama cuma nitipin bekal di resepsionis. Kenapa sih prioritasnya sekarang jadi kuliah kuliah kuliah??? Ke mana Lixie gue yang selalu nyariin kakaknya ini, yang selalu kangen kakaknya ini, yang selalu mau sama kakaknya ini??" Chan mengadu pada siapapun yang menemaninya di dalam lift.
Kotak bekal dalam pegangannya kini dipeluk erat, air mata imajiner terlihat dari matanya yang sayu tapi tidak sampai tahap betulan akan menangis.
"Sejak kapan, Lixie gue sesibuk ini? Kenapa Lixie harus dewasa??" Chan mengadu lagi.
Hidupnya benar-benar di titik terendah tanpa Bang Felix yang dimatanya akan selalu dan sampai kapanpun menjadi bocah kecil yang lucu dan lugu.
Begitu pintu lift terbuka, Chan berjalan dengan gontai kembali ke ruang kerjanya. Duduk di kursi dengan lemas, dan membuka kotak bekalnya dengan pelan.
Kini yang sebelumnya Chan menunjukkan air mata imajiner, telah berubah menjadi air mata sungguhan.
"Lixie, kakak aja apa ya yang balik jadi anak kecil? Biar kamu juga jadi anak kecil lagi." Dengan menangis, Chan memakan isi bekalnya.
Om produser yang menyaksikan tingkah OOC Chan yang amat berbeda dari musim pertama dan musim kedua sedikit melongo.
Apa mungkin Chan selebay ini karena kelelahan bekerja? Atau itu adalah isi hatinya selama ini jika sedang sendiri? (abaikan om produ beserta staff).
*
Chan menghela nafas berat, agak kesal tapi berusaha sabar. Tombol di atas mejanya ia tekan, untuk aktifkan mikrofon untuk ia bicara agar bisa didengar dari dalam ruang rekaman yang kedap suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fam 3 (spesial)
FanfictionBagaimana jadinya jika mereka sedang tidak bersama? Hanya tentang diri mereka sendiri bersama kehidupan yang mereka lalui tanpa saudara-saudaranya. Pada akhirnya, hidup mereka tidak bisa hanya sendirian. ⚠️Bang Fam Pertama kali dipublikasikan 8.2023