02. Bagian Minho

359 59 16
                                    

Minho menatap tajam refleksi tujuh anggota grup yang tengah bergerak sesuai ketukan lagu yang terputar. Sebuah grup (S)event punya jadwal latihan dance dengan Minho saat ini sampai empat jam ke depan sebelum mereka bertujuh berlanjut untuk rekaman dengan Chan.

Dan ini sudah dua jam berlalu. Tatapannya yang semula tajam, seketika berubah bosan saat gerakan yang salah terus berulang tanpa ada perubahan.

"Tangannya diangkat tinggi, jangan serendah itu, jadi gak sinkron. Ulang." Minho menyimak lagi dari pantulan cermin pada gerakan ketujuh pemuda itu.

Minho menghela nafas keras, "Tanganmu sedang cidera atau apa? Katakan kalau tanganmu sakit, jangan sampai terus-terusan kamu buat kesalahan begini dan menyusahkan banyak orang."

pemuda yang ditegur itu membungkuk minta maaf, raut wajahnya menyesal juga frustasi atas kesalahannya sendiri.

"move!" seru minho, tidak begitu peduli atas permintaan maaf yang berulang itu.

jadi, sesuai perintah, mereka bergerak pada gerakan selanjutnya, agar gerakan sebelumnya yang terus-terusan salah itu menjadi PR untuk mereka.

Minho sekali lagi menyimak gerakan. perubahan formasi cukup buat pecah gerakan mereka selanjutnya, sungguh merusak pandangan. Minho sampai tidak tahu harus berkata apa pada pemuda-pemuda yang seumuran dengan adik kembarnya ini. apa harus ia maki atas kecerobohan mereka?

"berhenti." mereka bertujuh betulan berhenti, wajah penuh keringat itu tampakkan ekspresi bingung tapi ada juga yang tercekat, mungkin tahu kalau mereka diberhentikan karena salahnya.

minho menghela nafas keras, ia berdiri sekarang.

"Saya jelas tidak tahu apa yang orang-orang lihat sampai memuji tarian kalian yang sebenarnya payah ini. Lebih baik orang-orang melihat kucing-kucing saya yang meregangkan badan sambil menguap daripada melihat kalian." Minho mendesah keras, benar-benar emosi.

"Katakan, kalian ingin latihan ini dilanjutkan dengan ocehan saya yang mengoreksi atau kalian latihan sendiri dan tunjukkan perubahan besar pada saya besok?" Minho berkacak pinggang di depan tujuh pemuda itu, ekspresinya datar meski suaranya tajam.

Para pemuda itu saling tatap dengan banyak ekspresi, jelas lebih dominan rasa bersalah dan lelah tapi juga ada yang kesal.

"Leader, keputusan cepat!" Minho bersuara lagi dan buat tujuh pemuda secara serempak meminta latihan sendiri.

"Bagus. Kita lihat besok apa kalian memberikan perubahan besar. Sampai jumpa."

Dan Minho pergi dari ruang latihan sambil memijat keningnya yang berkeringat. Kepalanya pusing. Ia butuh belaian lembut adiknya yang manis atau kucing-kucingnya jika adiknya yang manis sibuk.

Jadi, Minho raih ponselnya yang ada dalam tas kecil miliknya —yang kebetulan hanya muat ponsel dan dompet, untuk menelepon adiknya yang manis itu.

"Halo pretty Lixie my baby sayangku i love you, kamu sibuk?" Minho tersenyum lebar saat adiknya balik menyapa di seberang telepon.

"Yahhhh, kenapa adik kakak yang manis harus kerja kelompok sih hari ini? Gak bisa besok aja? Atau kakak temenin kamu ya kerja kelompok, kangennn." Respon Felix diseberang hanyalah tertawa, suaranya yang merdu buat Minho tersenyum semakin lebar sambil memencet tombol lift dan menunggu pintu besi itu terbuka di depannya.

"Kakak bercanda sayangku. Cuma kakak gak bercanda soal kangennya. Nanti pulang kerja kelompok kabarin ya? Kakak jemput, mau?" Balasan oke dari Felix buat Minho terkekeh kecil saat melangkah masuk ke dalam lift dan memencet tombol menuju basemen.

"Oke little sunshine, see you and love you." Dan panggilan terputus.

Minho bersandar nyaman pada dinding lift, senyumnya tidak memudar sama sekali. Terbayang-bayang melihat ekspresi dan mendengar langsung tawa adiknya buat rasa lelah Minho hilang seketika.

Masih heran kenapa diantara triplet itu, Felix bisa mendapat banyak gen manis sedangkan kedua lainnya banyak pahitnya. Apa yang salah saat ibunya mengandung ketiganya, ya?

Rasanya memang dunia ini adil. Coba bayangkan dari delapan bersaudara, tujuh diantaranya sangat barbar dan hanya satu yang kalem. Atau sebenarnya ini bukan bagian dari dunia yang adil, tapi bentuk perbudakan secara tidak langsung?

Ke tujuhnya bahkan akan bertekuk lutut pada Felix, memohon dipeluk dan dicium dan disayang. Meski Felix juga begitu, tapi adiknya yang lucu dan imut itu hanya diam pun akan diberikan seluruh dunia oleh tujuh saudaranya.

Sungguh, apa Felix adalah dewa yang bereinkarnasi?

Minho terkekeh dalam hayalannya.

"Kangen Felix."

*

Dari agensi ke akademi tarinya untuk menghabiskan waktu luang sambil menunggu jadwal yang dijanjikan untuk menjemput Felix, Minho berkeliling seluruh studio untuk menyapa para staff dan muridnya karena dia hampir jarang terlihat di akademi tarinya ini.

Dan sekarang setelah lelah berkeliling untuk menyapa dan mengobrol, Minho memilih rebahan di karpet yang ada di ruang kerjanya. Tiga ekor kucing peliharaannya yang memang tinggal di dalam ruang kerjanya dan di rawat oleh sekretarisnya yang banyak waktu luang itu, kini mengerubungi dia. Jelas rindu majikannya yang jarang hadir.

"Halo songong, dongo, dan dodol kesayangan papa Minho!" Ketiga kucing itu secara bergantian ia elus, sesekali diciumi bulu-bulunya yang halus meski bau jigong kucing karena habis mandi —dijilat. (U know cara kucing mandi kan? Jilat jilat jilat nelen bulunya sendiri)

Lama bermain dengan kucing-kucingnya dan sempat tertidur karena lelah, Minho terbangun untuk melihat jam di ponselnya. Setengah jam lagi sebelum menjemput Felix dari kerja kelompoknya di kampus.

Minho berdiri, menuju kamar mandinya untuk mencuci muka dan hilangkan tanda-tanda bangun tidur dan rasa kantuk. Bersiul-siul riang gembira karena akan bertemu adiknya sebentar lagi, memeluk Felix, membelikan apapun yang Felix mau, mencium Felix, memberikan apapun yang Felix ingin, apapun.

Sebelum sebuah telepon berdering dari ponselnya, itu Felix.

"Halo sayangnya kakak, cintanya kakak, kakak tau kakak lebay, tapi i love you."

Felix terkekeh kecil di seberang, terdengar tulus dan senang atas kasih sayang yang Minho berikan secara cuma-cuma.

"Kak Ino, Lixie minta maaf ya, tapi Lixie habis ketemu Prof. Aletta dan beliau mau nganter aku pulang sebagai permintaan maafnya buat aku nunggu. Kak Ino pulang sendiri ya? Aku tunggu di rumah. See you kak Ino, love you too."

Seperti diterjang badai, Minho luruh seketika di sofa mendengar ucapan sang adik yang teleponnya kini telah diputus. Rencananya untuk bersenang-senang dengan Felix gagal, begitu ia sampai dirumah nanti, pasti Felix sibuk dengan Essaynya dan hanya merespon cerita Minho seadanya.

Minho tidak bisa dibeginikan oleh adiknya yang paling ia sayang.

Minho tidak bisa melihat Felix sibuk dan mengabaikan dirinya.

Minho... harus apa?

"Om Produ, mabok yuk?" Dengan wajah kuyu dan ekspresi linglung, Minho berdiri, merangkul Produser acara ini sambil berbisik mengenai pub yang sering ia kunjungi.

Om Produ menggeleng menolak, dan Minho berdecak memaksa.

Dan tindakan OOC lain dari anak kedua keluarga Bang yang terkenal dingin ini sungguh buat pening Produser serta staffnya.

Hanya karena tidak bisa menjemput adiknya, lagak Bang Minho seperti habis diceraikan oleh istrinya yang paling ia cintai.

Benar-benar gila. Bang Felix lebih berpengaruh dalam keluarga ini daripada siapapun.

Om Produ menatap kamera setelah Minho berjalan melewatinya dengan lesu, ia menghela nafas. Ternyata sifat brocon dalam keluarga ini cukup menarik.

——02: Bagian Minho, selesai

Fam 3 (spesial)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang