One

9 1 0
                                    


Lily's POV

"Jadi, kau sudah menentukan pilihan." Tanya Will sambil membolak balik buku bersampul merah hitam itu dan beralih dari komputernya ke arahku. "Hmm.." jawabku tanpa menatapnya.

"Oh ayolah, kau harus memilih, kau tahu kalau ini bukan hal sepele kan?" Tanyanya lagi. "Ya tentu." Jawabku. "Maksudku, kau punya hak untuk memilih." Ujarnya lagi. "Ya, katakan itu pada Elvis." Jawabku sambil menunjuk poster Elvis di dinding kamar abangku, lalu menghempaskan badanku ke kasurnya.

"Kau tahu Elvis akan setuju denganku kan?" Tanya abangku. "Ya kan Elvis?" Lanjutnya sambil menirukan posisi Elvis di posternya. Aku tertawa melihat posisinya itu yang hampir mirip dengan Elvis, maksudku, bagaimana dia melakukannya dengan begitu sempurna.

"Harusnya aku mengambil kamera tadi." Komentarku. "Kau tahu bukan diriku yang harus kau pikirkan kan? Ketampananku hampir sempurna, kau tidak perlu memikirkannya." Jawabnya. Aku hanya tertawa kecil sambil melemparkan bantal ke arahnya dan kembali telentang di atas kasur abangku.

"Terimakasih, atas bantalnya." ujarnya sambil memeluk bantal yang ku lempar padanya tadi. "Jadi bagaimana menurutmu?" Aku langsung duduk tegak dan menseriuskan raut wajahku. Abangku yang melihat sikapku yang serius kembali semangat. "Ini?" Tanyanya sambil mengoyang goyangkan buku bersampul merah hitam milikku. "Ya, menurutmu bagaimana rangkuman yang ku buat?" Tanyaku.

"Bagus, sangat detail. Menurutku, kau pilih yang SMA kedua saja. Standar kualitas kurikulumnya tinggi, fasilitasnya A, uang sekolahnya terjangkau, yaa~ walau uang bukan masalah, dan kredibilitas gurunya bagus. Lagi pula, ada beberapa program dan mata pelajaran yang kau sukai. Kalau kau masuk ke situ, kau bisa masuk universitas sasaranmu." Dia tampak sangat prihatin saat mengatakannya.

"Terima kasih atas saranmu. Itu juga pilihan pertamaku. Tapi kau punya ide bagaimana membuat si Iblis mau mengeluarkan uang papa? Uhh! Itu bahkan bukan uangnya." Omelku frustasi.

"Setidaknya aku mencoba, iya kan?" Ujarku memecah keheningan di antara kami. Keheningan dimana kami berdua sibuk dengan pikiran sendiri. Senyumannya mengembang. Dia bangkit dan mengacak halus rambutku. "Itu dia semangatnya." Ujarnya sambil tersenyum.

________

"Ya..masuk.." Aku menghembuskan nafasku pelan. Aku membuka pintu kamar perlahan.

Aku melihat si iblis di depan kaca. Sedang memoles wajah keriputnya--tidak pernah disetrika--dengan bedak setebal 50cm. Mama lebih cantik darinya. Mama tidak memerlukan bedak untuk tampak muda dan cantik.

"Lily? Ada apa sayang, maaf mama buru buru, mama mau pergi sebentar." Aku kesal dia menyebut dirinya dengan sebutan mama padaku. Tapi aku harus bersikap baik jika menginginkan sekolah itu. Dia dengan gesitnya memasukkan semua barang barangnya ke dalam tas merahnya itu lalu berlalu pergi.

Aku menghembuskan nafasku kuat kuat. Bersabar dan menahan diri gar tidak menghancurkan rumah ini.

______

"Sooo, how about the talk?" Will berbalik secara tiba tiba dari komputernya saat aku masuk ke kamarnya. Aku tidak menjawab. Hanya diam. "It didn't work?" Tanyanya lagi. Aku hanya menaikkan bahuku. "Seriously? Don't tell me you don't even talk with her." Dia memutar matanya dan menyilangkan kedua tangannya didepan dadanya.

Aku hanya tersenyum miring. "Well, iblis sibuk dengan urusan nerakanya, mungkin aku akan membicarakannya nanti." Ujarku lemah. "You know what ? Kau hanya butuh hiburan. Setidaknya untuk menenangkan pikiranmu itu. Aku yakin kau akan bicara ngaco didepan nya kalo terus stress seperti ini. Kita kan harus menjaga harkat martabat papa mama." Dia bangkit dan duduk di sebelahku. Di menaik turunkan sebelah alisnya. Aku hanya memutar mata melihatnya.
Dia mengacak pelan rambutku.

My Life (ON EDITING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang