11| Masih Sama

275 40 1
                                    

Mata yang terasa begitu berat itu perlahan mengerjap, menyesuaikan cahaya yang masuk menyambut penglihatannya. Belum sepenuhnya ia membuka mata, rasa sakit terasa menghujam kepala. Ringisan kecil itu keluar dari bibirnya yang kering dan pucat.

"Hali, kau bangun?"

Ucapan seseorang menyita perhatian remaja yang tengah berbaring itu. Meski pandangannya masih sedikit buram, namun ia mengenali siapa orang yang kini berada di sisinya.

"Paman tak menyangka kau akan tidur selama itu." Halilintar bisa merasakan sebuah tangan mengusap rambut legamnya. Ia menatap seseorang yang baru saja berucap. Seorang pria berkaos putih tersenyum hangat ke arahnya.

Halilintar merubah posisi yang semula terbaring menjadi duduk bersandar di kepala ranjang. Tangannya terulur menerima segelas air putih, lantas meneguknya.

"Kau tak sadarkan diri selama dua hari, jadi wajar jika rasa sakit itu menyerang kepala mu." Menyadari raut wajah keponakannya yang merasa tak nyaman, Thunder berinisiatif memijat pelipis Hali guna meredakan pusing yang mendera.

"Dua hari?" Halilintar tak bereaksi apa-apa, remaja itu masih fokus menghilangkan rasa sakit. Ia juga baru menyadari jika tangan kanannya terinfus, pantas saja terasa keram.

Halilintar mengalihkan pandangannya ke arah lain, mencari keberadaan orang yang tak ia lihat sejak tadi. Seharusnya dialah orang pertama yang menyambut kesadarannya.

"Ayah?"

Thunder terdiam saat mengerti maksud Hali. Tangan yang tadinya bertengger di pelipis remaja itu perlahan turun mengusap lembut pipi tembam Hali. Ia berusaha menampilkan senyuman di hadapannya.

"Kau mencari ayah?" tanya Thunder yang mendapat anggukan pelan dari Halilintar.

"Kita akan menemuinya nanti. Sekarang kau harus istirahat agar cepat sembuh."

Halilintar menghembuskan napas pelan, diambil tangan sang paman yang masih setia mengelus pipi kirinya. "Aku tidak ingin menemuinya, Paman. Setidaknya untuk saat ini."

Thunder terdiam saat menyadari ada sesuatu yang mengganjal dibalik ucapan Halilintar. Anak itu tidak mungkin bisa menghindar dari sang ayah, karena Thunder tahu seberapa sukanya Halilintar saat bersama ayahnya.

Thunder menatap Halilintar yang termenung seperti tengah memikirkan sesuatu. "Apa yang terjadi?"

"Memangnya apa yang terjadi?" Halilintar balik bertanya.

"Kemarin Paman menemukanmu tergeletak di depan pintu masuk, dan juga lebam di pipimu itu..." Thunder menghentikan ucapannya saat merasakan tangannya tengah diremas kuat. Anak dihadapannya ini seolah mengatakan untuk tidak melanjutkan kalimatnya.

Thunder yang kebetulan akan mampir ke rumah Amato dibuat terkejut saat melihat anak dari kakaknya itu tergeletak tak sadarkan diri. Apalagi keadaannya yang sangat berantakan ditambah lebam terlukis di pipi kirinya.

Dia sudah menanyakan kepada semua pekerja di rumah itu, akan tetapi mereka bungkam seakan menutupi kejadian yang sebenarnya. Rasa curiganya meningkat tatkala Amato selaku tuan rumah membiarkan putra tunggalnya berada di luar dengan kondisi mengenaskan seperti itu.

"Ayah tidak memukulmu lagi, kan?" tanya Thunder berusaha berpikir positif. Itu mungkin saja terjadi sebab tak ada yang berani memukul ponakannya kecuali jika itu ayahnya sendiri.

"Tidak."

Mata Thunder memicing, dia tak percaya begitu saja. "Paman akan marah jika kau berbohong."

Halilintar menunduk mendengar ancaman itu. Tidak bisakah dokter itu menanyakan hal lain? Halilintar sedang tidak ingin membahas masalah ini.

Jeruji HaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang