꒰ 04 ꒱ ♡ ༘°

1.9K 91 6
                                    

˚₊· ͟͟͞͞➳ ❛with u❜ ♡

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

˚₊· ͟͟͞͞➳ ❛with u❜ ♡.°୭̥

rin dan sae menyingkir, pergi ke kamar si bungsu untuk mendapatkan privasi atas obrolan mereka. sae yang mengusulkan.

kepada rin, ia akan bicara jujur mengenai hubungan aslinya dengan sera. dan sesuai bayangannya, ekspresi rin benar-benar..

"kotor lo. udah nggak perjaka sebelum nikah," rin pura-pura bergidik geli. padahal.. dia dan kara..

"mending lah. daripada lo? masih sma, udah nggak perjaka," sae menyeringai. itu tebakkan. tapi sepertinya kata-katanya tepat sasaran.

sekarang rin kelabakan sendiri. "setan pemenangnya."

"ngevve emang seseru itu," kata sae, dengan wajah tanpa dosanya. "akhirnya gue nemu hal seru selain bola."

"tolol? lo nikah cuma karena nggak bisa nahan kalo lagi horny?" rin melirik jijik ke arah sae.

"hm." si sulung cuma bergumam sebagai jawaban. "tapi gue emang beneran suka sama sera. dia cantik soalnya. kalo jelek juga cuma gue manfaatin aja badannya. ngapain repot-repot nikah segala."

"otak lo otak kriminal, bang," rin menggeleng-gelengkan kepalanya, tak habis pikir.

"kenapa? munafik kalo gue bilang bakal nikahin cewek jelek."

"muka bisa dipoles, akhlak yang susah," kata rin, sok dewasa.

"kayak akhlak lo mukharimah aja, njing. cewek lo aja si kara," sae melirik judes.

"kara kenapa? dia baik."

"iya. di mata lo. di mata gue, nggak," sae berdiri. "sama aja kayak sera. mau menurut lo dia itu cewek nggak bener, tetep aja yang mau gue nikahin itu dia."

rin terdiam sejenak. jelas-jelas sae itu salah, caranya, alasannya, untuk menikahi sera, itu salah. tapi entah kenapa, rin dibuat bungkam. ibarat catur, obrolan ini sudah checkmate dan sae adalah pemenangnya.

sae keluar dari kamar rin tanpa bicara apapun. suasana hatinya tak begitu baik setelah pembicaraan dengan rin tadi.

di kamarnya yang terletak tepat di sebelah kamar rin, sae mendengar seolah ada seseorang di sana. pemikiran itu diperkuat dengan pintu kamarnya yang terbuka.

dan.. benar saja. ada sera di sana. sae sempat terkejut sebentar, takut sera mendengarkan obrolannya bersama rin, tapi keterkejutannya berhenti setelah sadar kalau tembok rumah mereka itu kedap suara.

"parfumnya enak," sera bicara setelah duduk di atas kasur sae.

"kan? oud wood by tom ford. info, kalo lo mau beliin gue parfum," sae tersenyum tipis, menutup pintu kamarnya sebelum menyusul sera untuk duduk di sampingnya.

"sori. gue mampunya beliin lo gatsby," sera menggeleng. parfum yang dia gunakan saja adalah parfum anak-anak seharga belasan ribu, bagaimana bisa percaya diri membelikan orang lain parfum?

"gatsby? gapapa. asal ada bonusnya," sae mengukir senyuman miring, sebelum tangan kirinya melingkar di leher sera lalu mendaratkan bibirnya di bibir sera.

*sebagian narasi telah dihapus*

"abang? sera? turun sini. bunda udah selesai masak."

ah, rupanya ibu itoshi.

"iya, bun. nanti nyusul," sae bicara dari dalam kamar. memang kata-kata itu ditujukan untuk ibunya, tapi matanya, senyuman jahatnya, seratus persen dipersembahkan untuk sera yang sedang berbaring gemetaran di kasur sae sambil menutup wajahnya.

"mau lanjut nanti malem? di hotel?" sae berbisik, bisikan setan.

sera tak menjawab. malah fokus untuk menetralkan detak jantungnya. mengira kalau ia akan tertangkap basah melakukan perbuatan tak senonoh di kamar bersama sae.

"mau beli makanan dulu?"

"nggak."

"beli makanan buat shota?"

"nggak."

sae mendengus. itu adalah pertanyaannya kesepuluh. dan jawaban sera masih sama. hanya nadanya yang berubah, jadi semakin ketus dan sinis.

di batas kesabarannya, sae menepikan mobil ke pinggir. beruntung jalan raya saat itu sudah lumayan sepi, karena jam juga sudah menunjukkan pukul 11 malam.

"lo kenapa? ngomong sini. jangan diem aja," ia memiringkan tubuhnya sementara satu tangannya masih ada di stir mobil. menatap sera, jengkel.

"capek. jangan ngajak ngomong terus," sera masih terus memalingkan pandangannya, menolak untuk bertatap muka.

bagi sae, jawaban itu belum bisa membuatnya puas. belum pernah sae mendengar sera mengeluh kelelahan. sampai terkadang, dia curiga sera bukan manusia biasa karena mampu bekerja di 3 tempat sekaligus.

jadi sae mengangkat tubuh gadis itu dan membuatnya duduk di atas pangkuannya, "lo marah karena omongan ayah gue tadi, kan?"

"apaan sih, sialan. awas, nggak!?" tentu saja sera memberontak. tak mungkin ia diam saja saat moodnya sedang berantakan, tapi sae malah bertingkah.

"diem, jangan berisik," sae mendecak, seruan sera membuat telinganya berdengung sejenak. "cepet ngomong, lo kenapa? gak mungkin cuma capek."

sera mendengus kasar, menoleh ke samping untuk menahan air matanya sebentar sebelum kembali menatap wajah sae.

"menurut lo.." dia berusaha mencegah suaranya bergetar, supaya tangisnya tak tumpah lebih cepat dari seharusnya, ".. ayah lo yang nyebut gue kayak lonte cuma karena kerja di bar.. nggak bikin lo kepikiran..?"

"bener ternyata.." sae bicara dalam pikirannya. menatap satu bulir air mata yang mengalir melewati pipi sera, tapi buru-buru dihapusnya kembali.

"itu sama aja ngelarang lo buat nikahin gue," sera mengusap rambut kusutnya ke belakang sambil mendengus.

"kok mental lo jadi lembek gini? dulu juga gue pernah ngatain lo jalang, tapi lo nggak sampe nangis..?"

sera lagi-lagi menghela napas, tenggorokannya terasa nyeri karena menahan tangis sejak tadi. dia berniat untuk kembali ke kursi, tapi sae mencegah pergerakannya.

"nggak usah dipikirin. gue bakal tetep nikahin lo," satu tangan sae menangkup dagu sera.

"gue aja curiga, lo nikahin gue bukan karena cinta atau suka," sera menepis tangan sae, menatap laki-laki itu dengan tatapan tajam.

"emang."

"nggak," sae tertawa kecil. menarik tubuh sera lebih dekat dengannya.

*sebagian narasi telah dihapus*


[✔] [4] fiancé ; itoshi saeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang