Part 15

16.9K 512 16
                                        

Rafael duduk di kursi kebesarannya sambil menjilati bibir. Sesekali ia terkekeh menatap loptop yang ada di hadapannya. Wanita sok jual mahal itu kini terlihat kewalahan dengan segala tugas baru yang ia berikan.

Ya, memang seperti itulah sekarang. Wanita itu tidak sadar ada kamera tersembunyi di ruangannya. Kemarin, Rafael menyuruh asistennya untuk memasang kamera tersembunyi di ruangan Friska agar Rafael bisa memantau kegiatan wanita itu.

Katakan itu kejahatan. Tapi, Friska harus tahu Rafael bukan tipe-tipe orang yang menerima penolakan. Sekali Rafael menginginkan, ia akan mendapatkannya. Dan Friska, perempuan itu adalah targetnya sekarang. Mau tidak mau, perempuan itu harus kembali merangkak ke atas ranjangnya kalau tetap mau hidup tenang.

Penolakan Friska kemarin atas tawarannya tidak berpengaruh sama sekali. Perempuan itu terlalu percaya diri menentangnya. Friska mungkin lupa, Rafael bahkan bisa berbuat selicik mungkin untuk mendapatkan keinginannya. Dan malam ini, Rafael akan menunjukkan pada Friska, bagaimana harusnya wanita itu bersikap baik pada atasannya.

**
Friska menyeka keringat yang membasahi keningnya. sudah jam 10 malam dan pekerjaannya masih belum selesai. Friska belum pernah mendapatkan pekerjaan sebanyak ini sebelumnya, bahkan lembur hingga jam segini. Zafran bahkan sudah berhenti menghubunginya, mungkin karena sudah ketiduran. Sialan Rafael, pria itu pasti sengaja mengerjainya. 

Sepuluh menit kemudian, setumpuk laporan yang diinginkan Rafael sudah selesai. Friska melihat jam dinding, sudah menunjukkan jam sepuluh lebih seperempat. Tidak terasa sudah sangat malam. Friska bergidik ngeri, membayangkan hanya tinggal ia seorang yang ada di kantor ini.

Tapi, bukankah Rafael menginginkan laporan yang ia kerjakan malam ini juga. Bisa jadi Rafael masih ada di sini. Menyadari itu, hati Friska sedikit lega. Setidaknya, ia tidak sendirian dan tidak dikelilingi hantu-hantu yang bergentayangan di kantor.

Friska berdiri, ia merapikan tumpukan dokumen itu kemudian bersiap memberikannya pada atasan barunya yang syirik itu. Bagaimana tidak syirik, beberapa hari bekerja saja, Friska sudah disuguhi pekerjaan yang banyaknya minta ampun. Jika begini setiap hari, bisa-bisa Friska mabuk kerja, ia pasti akan muntah setiap kali melihat dokumen bertumpuk.

Friaka berjalan keluar dari ruangannya, ia sedikit berdidik menyadari seluruh lantai di ruangannya telah kosong. Bahkan mungkin office boy saja sudah pulang. Bagaimana jika Rafael juga sudah pulang? Bagaimana jika pria itu sengaja mengerjainya? Friska bisa mati berdiri membayangkan sendirian digedung perkantoran sebesar ini.

Sambil berjalan menuju ruangan Rafael, Friska mendumel dalam hati. Kenapa dokumen sebanyak ini hanya dibebankan padanya. Lagi pula, ini bukan laporan darurat yang harus jadi malam ini juga. Ini laporan untuk satu minggu lagi. Si brengsek itu sepertinya memang sengaja mengerjainya.

Melihat lampu yang masih menyala di ruangan Rafael, Friska menghembuskan napas lega. Setidaknya pria itu tidak pulang seperti dugaannya. Rafael mungkin masih menunggu laporannya. Benar-benar rajin yang kelewat batas. Untuk apa pekerjaan yang seharusnya bisa dikerjakan satu minggu lagi di kerjakan sekarang. Friska manusia, bukan mesin.

Friska mengetuk pintu ruangan Rafael, kemudian membukanya perlahan setelah kunci otomatisnya terbuka. Friska segera masuk. Keinginannya adalah menyerahkan berkas laporan itu, kemudian segera pulang dan istirahat. Demi Tuhan, Friska sangat amat lelah.

"Permisi, Pak. Ini berkas yang Anda minta. Semuanya sudah saya kerjakan hari ini juga. Sesuai permintaan Anda."

Friska membungkuk, kemudian menyerahkan setumpuk laporan ke meja pria bajingan yang saat ini tengah berkonsentrasi menatap laptopnya. Entah apa yang dikerjakannya di jam segini, apa pria itu tidak mengantuk.

"Bagus. Kau menyelesaikannya tepat waktu. Kau benar-benar sangat kompeten. Aku menyukai cara kerjamu."

"Terima kasih atas pujiannya, Pak. Kalau begitu saya pulang dulu." Friska membungkuk, kemudian berbalik dan berjalan menuju pintu.

Friska mengernyit saat kesulitan membuka pintu. Perasaan tadi baik-baik saja saat ia masuk. Kenapa mendadak susah dibuka. Beberapa kali ia mencoba dan tetap saja gagal. Hingga karena bingung, Friska menoleh ke arah Rafael yang kini tengah duduk di kursi kebesarannya dan tengah tersenyum miring menatapnya.

Perasaan Friska mulai tidak enak. Pikiran-pikiran buruk mulai memenuhi otaknya. Melihat senyum Rafael, Friska yakin pria itu sengaja mengunci pintunya. Tapi untuk apa? Kenapa Rafael harus repot-repot mengunci pintu?

"Pak, kenapa pintunya terkunci? Saya mau keluar. Bisa bapak tolong saya, jangan-jangan pintu ini rusak." Friska berusaha realistis. Tidak ingin buru-buru menuduh tanpa bukti.

Rafael tersenyum miring kemudian melipat kedua tangannya di dada. Ia memperhatikan intens pada Friska yang kini tampak kebingungan di hadapannya.

"Kenapa terburu-buru. Kau bahkan belum menatap wajahku. Apa wajahku begitu buruk hingga kau ingin terburu-buru keluar dari sini?"

"Pak, Anda ini bicara apa. Ini sudah sangat malam. Saya ingin segera pulang dan istirahat. Sepanjang hari saya sudah bekerja seperti mesin. Saya lelah Pak. Saya ingin istirahat." Friska tampak menahan rasa kesalnya. Sepertinya Rafael benar-benar ingin mencari masalah dengannya. Tapi kenapa harus sekarang, Friska benar-benar lelah.

Rafael yang melihat wajah kesal Friska sontak terkekeh geli. Ia berdiri, kemudian menghampiri Friska yang menatapnya berang. Perempuan itu tampak sangat seksi dengan rambut berantakan akibat kelelahan. Sungguh, Rafael benar-benar tidak sabar ingin memakan wanita itu di atas ranjangnya.

"Kau, ingin pulang sekarang?" Friska memejamkan matanya kesal, mengembuskan napas panjang, kemudian menatap Rafael dengan tatapan berang.

"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja saya ingin pulang. Jangan menguji kesabaran saya sekarang, Pak. Demi Tuhan saya benar-benar lelah."

Friska tampak putus asa, wajahnya yang tadi terlihat berang, kini melunak dan memelas. Rafael yang melihat itu berdecih pelan. Wanita ini meskipun angkuh, ujung-ujungnya tetap akan tunduk padanya.

"Aku akan membukakan pintu. Tapi, tentu saja ada syaratnya."

"Syarat? Kenapa membuka pintu saja ada syaratnya? Pekerjaan saya sudah selesai hari ini. Jadi, harus ada syarat apalagi? Saya lelah, Pak."

Rafael meraih anak rambut Friska, dan langsung ditepis oleh wanita itu, membuat Rafael tersenyum miring sambil menatap Friska dengan tatapan melecehkan.

"Aku akan membukakan pintunya. Tapi, kau harus melayaniku dulu. Aku tidak menerima penolakanmu Friska. Jika kau mau keluar dari ruangan ini, layani aku dulu."

Plaaaak

"Jaga mulut kotormu itu Rafael!! Sudah kubilang aku tidak sudi! Aku bukan budakmu lagi, aku karyawanmu. Jadi sebaiknya kau jaga sikapmu itu. Jangan kurang ajar!"

Rafael memegangi pipinya yang baru saja ditampar oleh Friska. Lelaki itu menatap Friska dengan tatapan meremehkan, membuat Friska yang fisiknya sudah sangat lelah sontak meradang.  Ia tidak menyangka Rafael masih membahas tawaran menjijikkan itu.

"Kau pikir kau bisa menentangku Friska. Kita lihat, sampai mana kau bisa bertahan."

Rafael meraih pinggang Friska hingga tubuh perempuan itu menubruk dadanya. Friska hendak memberontak, sebelum kemudian Rafael menghimpitkan tubuh perempuan itu ke tembok, kemudian bibirnya membungkam bibir Friska hingga perempuan itu mematung seketika.

My Ex Slave (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang