chapter 4

213 35 1
                                    

selama hampi 18 tahun hidup, jeffaro tidak pernah merasakan hal ini. di detik ketika dirinya diinformasikan bukan lagi seorang anak dari presiden, rasanya semua beban yang menumpuk di punggungnya lepas begitu saja.

bohong juga kalau jero tidak menyesali keputusan ini karena, ya, dirinya serta keluarganya kehilangan titel yang cukup prestigious ini. tapi dia juga tidak bisa menghilangkan fakta ada perasaan senang yang membuncah di dadanya.

tapi lain dengan sang ibunda. hal ini bisa diketahui karena sekarang, jero tengah mengintip ruang kerja ayahnya itu yang sekarang diisi dengan teriakan dari satu-satunya perempuan di keluarga kecil mereka.

helaan napas pun akhirnya keluar begitu saja dari hidungnya. kini, perasaan bersalah yang hanya melingkupi tubuhnya.

langkahnya mengayun dengan berat sembari memikirkan perasaan yang mungkin seharusnya tidak pernah muncul di dalam relung hatinya. deara. lelaki yang dari dulu menarik perhatiannya, berputar di kepalanya. bayangan keduanya yang akhirnya bisa bersama lenyap begitu saja.

mungkin memang mereka berdua tidak ditakdirkan bersama.

"mas?" sebuah suara menghentikan gerakan tangannya yang ingin membuka knop pintu kamarnya, jero menoleh, "kata bapak, bereskan barang-barang. besok kalian akan pindah rumah."

jero hanya menganggukkan kepalanya sekali dan akhirnya mendorong pintu besar itu dengan berat hati.

benar, tidak ada titel, tidak ada rumah dinas, tidak ada penjagaan ketat untuk keluarganya, tapi tidak ada juga tuntunan yang terus-menerus mencekiknya di setiap matanya terbuka.

tapi setidaknya, mulai besok, jero bisa mulai menunjukkan perasaan terang-terangan dengan hilangnya titel sang ayah, 'kan?

════════════════

the first morning is the worst, they said. dan memang benar, jero sekarang bisa merasakan suasana mencekam di meja makan beberapa meter darinya yang berasal dari kedua orang tuanya.

"jero masih mau masuk sekolah?" tentu saja itu pertanyaan basa-basi dari sang ibu karena kini ia sudah rapi menggunakan seragam sekolahnya.

anggukan sekilas terlihat oleh yonika, sang ibunda. "tapi kita hari ini pindah? gak ada barang-barang yang mau kamu beresin sendiri?"

"enggak ma, hari ini juga ada kuis." percakapan itu bagaikan sebuah sinyal baginya untuk buru-buru pergi. sepertinya kedua orang dewasa di meja makan itu akan melanjutkan perdebatan mereka semalam.

wanita itu ikut mengangguk sekilas, "mama ada urusan, jeff, mas, duluan."

jero dan sang ayah hanya menatap kepergian perempuan dengan heels yang berbunyi kencang dalam diam.

akhirnya pemuda yang hampir 18 tahun itu ikut duduk di meja makan yang sudah dikelilingin beberapa kardus. mereka benar-benar akan pindah rumah.

"so what is it, son?" mantan presiden itu akhirnya menatap anak sulungnya dengan serius.

jero sedikit tergagap, meski mereka bisa dibilang dekat, ada ekspresi tersembunyi yang baru saja ditunjukkan padanya.

pemuda valentine itu menarik napasnya, "now that you're not a president anymore, can i make a move to a boy that i like, since ... um, forever, i guess?"

ada tiga hal yang membuat yuano kaget. pertama, ia tidak pernah menyangkan jero menyukai seseorang, sejauh ini ia tidak pernah melihat ada gerak-gerik yang menunjukkan bahwa anaknya tengah jatuh cinta.

yang kedua, 'a boy'. anaknya menyukai sesama jenis, setidaknya itu konklusinya.

dan yang terakhir, ada rasa bersalah karena sekarang ia tahu, jero merasa tertekan dengan titel yang dimilikinya. tidak bisa dipungkiri juga ini merupakan kesalahan dirinya yang berpikir kalau anaknya itu terima-terima saja atas perlakuan semua orang terhadap 'anak sulung presiden'.

aurumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang