2018 : Raindrops Keep Falling on Our Head

156 17 19
                                    

Tahun 2018


Pagi itu terasa sumuk bagi Jet.

Dadanya sedemikian menyakitkan, lebih dari pada biasanya, padahal ia begitu telaten mengurus dirinya sendiri.

Ia sendirian sejak beberapa hari yang lalu, disebabkan perjalanan dinas yang harus Elang jalani— kalau Jet tidak salah ingat, Elang mendapatkan sebuah kesempatan untuk ikut membantu beberapa Pasien lapas di Kota seberang, karena kebetulan sekali tenaganya yang paling dibutuhkan di sana selain tenaga medis yang lain— dan juga karena sudah beberapa hari pula Akemi tidak pulang ke rumah karena ada banyak pekerjaan yang harus gadis itu selesaikan sebelum akhir tahun ini.

Sekelilingnya begitu sibuk, sedangkan Jet berusaha bertahan di dalam ritmenya.

Tatapannya meluas ke arah taman belakang rumah yang luas bukan kepalang melalui jendela dapur. Lalu sedetik kemudian, tatapan Jet jatuh memandangi beberapa butir obat yang harus kembali ditelannya pagi ini. 

Elang bahkan meluangkan waktu demi membuat serentetan alarm obat sesuai waktu beserta porsinya semenjak waktunya di Rumah Sakit terkadang lebih dari pada seharusnya, dan alarm tersebut bertahan hingga saat ini.

Arah kedua matanya kembali bergeser. Kini ia memandangi ponselnya yang tergeletak begitu saja di atas bar dan mengambil duduk tepat di hadapan benda itu. Menimbang-nimbang, apakah sebaiknya ia menghubungi Elang dan memberitahukan bagaimana keadaannya pagi ini?

Karena kalau boleh jujur, sejak semalam ia ingin sekali menghubungi Elang dan meminta laki-laki itu untuk cepat pulang. Namun keadaannya sudah cukup merepotkan, jangan lagi ditambah sikapnya yang seperti bocah.

Jet menahan dirinya dengan baik, sama halnya dengan Elang yang selalu memprioritaskan hidupnya di atas segalanya.

Ia tidak mampu memberi banyak. 

Berpikir untuk membalas kebaikan Elang saja ia tidak berani.

Maka sebisa mungkin, semampunya, ia berusaha menjaga tubuhnya seperti Elang menjaganya selama ini.

Rasa-rasanya sebuah balas budi yang diharapkan oleh Elang adalah sebatas ia mampu menjaga dirinya selama mereka berjauhan. Ini juga merupakan janjinya kepada Elang sebelum laki-laki itu bertolak ke Bandara bersama dengan teman-teman dari Liem Mataram.

Jet mengatur nafasnya secara perlahan lalu menangkup permukaan dadanya dengan gestur ragu-ragu. 

Merasakan degubannya yang tiba-tiba kacau dan membuat sekujur tubuhnya berkeringat dingin. Namun sejurus kemudian, kembali berdetak teratur seiring nafasnya yang tadi sempat sangat sesak kini terasa lebih lapang, itu tandanya obat-obatannya mulai bekerja.

I'm not gonna die today... At least when Ash not around...

Jet terbatuk-batuk pelan dengan sengaja guna mencari tahu bahwa dadanya sudah tak lagi menyakitkan seperti barusan. Seketika itu pula ia berubah pikiran dan menyambar ponselnya, menekan sebuah nomor emergency yang terletak pada urutan paling atas, dan membetulkan posisi duduknya menjadi sangat tegak seolah seseorang yang berusaha dihubunginya saat ini merupakan orang paling penting sejagat raya.

'Jet?'

"Kapan pulang??"

Suara terbahak-bahak milik Elang membuat kedua pangkal alisnya tertaut heran. "Ash??"

'Gue lagi siap-siap mau berangkat pulang. Lo mau dibawain apaan?'

Jet membayangkan wajah Elang yang tertawa lepas sebentar tadi dan tanpa sadar menularinya hingga kini senyumnya pun ikut-ikutan merekah. "Gue pengen coffee bun..." Intonasinya sedikit merengek agar diperbolehkan meminta cemilan khas Bandara yang satu itu.

The Disease Called Love - Koo Junhoe & Kim JiwonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang