Detak 2.1: As I Lay Daying

15 4 0
                                    

Ratusan meter jauhnya dari vila, seorang remaja ditemukan dalam keadaan tubuh penuh luka dan benjolan besar di kepala. Entah kesulitan macam apa yang sudah dilaluinya. Igauan-igauan sinting yang dia ucapkan masih menjadi misteri. Perlahan gadis itu merasakan dia terbaring di atas sesuatu yang keras. Itu sensasi pertama yang masuk pancaindra. Puing kesadaran pun satu per satu mulai terkumpul. Dia mencoba menangkap berbagai bunyi di sekitar. Desau angin memainkan atap seng, air yang menggerojok deras dari langit.

Sekarang musim hujan?

Matanya terasa lengket dan sulit terbuka. Rasa ngilu mulai terasa di setiap sisi tubuh. Menggelalar ke segala arah menghunjam tulang belulang dan gumpalan daging. Mulai terdengar rintihan saat rasa perih turut menyayat kulit. Udara yang dingin memperparah keadaannya. Seseorang menaikkan selimut sampai ke leher, gadis itu dapat merasakannya. Telapak tangan yang agak kasar memegang kening, mungkin memastikan suhu tubuh tidak meningkat. Selimut tambahan memberi rasa nyaman, tetapi kilatan kenangan menikam ingatan dengan kejam. Sakit sekali! Seseorang pernah melakukan hal yang sama padanya, menyelimuti tubuh yang menggigil, mengecek suhu badan, memberi seluruh cinta juga perhatian. Itu sangat buruk!

Semua berakhir buruk. Dia gemetar mengingatnya. dia memaksakan diri membuka mata sipitnya, ngilu luar biasa! Seakan ada berkilo-kilo beban menggantung di pelupuknya. Air mata bahkan tak berhenti mengalir saat secercah cahaya mulai masuk ke retina. Tidak begitu banyak cahaya yang diterima saat dia memperoleh kesadaran secara utuh.

Cahaya di ruangan itu hanya menerangi separuh bilik yang minim perkakas dan dekorasi. Sisanya, dilingkupi bayang-bayang kegelapan. Dalam remang, dia masih bisa melihat lelaki dengan garis wajah yang tegas ada di hadapannya. Sesaat, dia berpikir masih bermimpi.

Seorang lelaki beralis tebal makin mendekatkan wajah, mengamati dengan lekat. Namun, embusan napasnya terlalu nyata! Debaran jantung pun kini menggila tanpa sebab. Dia yakin separuh akalnya tidak berfungsi dengan baik karena sampai detik ini, tidak menemukan alasan logis yang menjelaskan apa yang sedang dilakukan lelaki itu di depan wajahnya sedekat ini. Dalam keadaan normal, mungkin dia akan mengagumi bibir tebal yang memiliki belahan tengah pada bibir bawahnya dan terlihat seksi, tetapi tidak!

Gadis berkulit pucat itu terperanjat. Dia memberingsut mundur, menendang selimut dengan kasar, dan menarik lutut ke dada. Punggungnya dapat merasakan pagar rumah itu terbuat dari papan kayu. Pupil matanya membesar, bergerak-gerak tak beraturan, dan sorot itu penuh kewaspadaan.

"Di mana aku?" Wajah tirus itu semakin kebingungan. Dia tak yakin telah menanyakan hal itu. Dia tak yakin baru saja bicara. Suara yang terdengar lebih serak dan terlalu kasar untuk menjadi suaranya. Seperti ada orang asing dalam tubuh, tubuh itu. Tergeletak di sudut kegelapan dan bertanya, "Sedang apa kamu?"

Jari-jarinya mencengkeram seprai yang membungkus kasur tipis. Ada darah yang mengering di tepian kuku-kukunya. Dia ingat, beberapa hari yang lalu baru pulang dari salon kecantikan untuk pertama kalinya. Bahkan dia sempat memanikur kuku-kukunya yang cantik dengan warna fusia. Warna itu sudah tidak ada di sana. Lelaki beralis tebal di depannya tidak berekspresi, gadis itu gelisah dengan tatapannya.

"Kamu sudah baik-baik saja," katanya. Tangan kanannya terulur ke arah rambut yang kusut. Dalam satu gerakan kilat, tangan itu sudah dicekal, dipelintir membentuk sudut yang menyakitkan. Bagaimana bisa baik-baik saja, sekujur tubuh rasanya babak belur. Kaki jenjangnya memar, penuh luka, dan goresan di mana-mana.

"Di mana aku sekarang?" ulangnya sambil menambahkan tekanan pada pitingan itu.

Tidak ada perlawanan. Tangan yang terbebas mengaitkan anak rambut dan menangkup pipi yang makin tirus. Lelaki itu berbisik, "Kamu baik-baik saja di rumah ibuku, Afifa.".

"Aku bukan, aku ... Kamu, maksudku ... Kakak yang melakukan ini?" Perlahan pitingan itu melonggar. Seseorang telah mengompres kaki kanan dengan es, membersihkan luka-luka, dan memerban dengan sangat rapi. Seseorang menemukan dirinya dan merawat dengan penuh cinta.

"Tentu saja bukan, ibuku yang melakukannya." Ada segaris senyum terbit di bibirnya membentuk dua titik di ujungnya. "Nah, nah! Jangan dibuka, ya, perbannya," lanjutnya sambil menggenggam jari-jari kucel yang terus menarik benang-benang dari perban itu.

Satu filamen yang dia tarik itu, meleraikan benang kusut yang saling terkait. Semudah melepas simpul rantai, satu punding tertarik, terlerai satu per satu ikatan yang meruntai. Sama seperti itu, dia berjanji akan menguak kebenarannya tanpa kecuali. Ada denyut menyakitkan di kepala seperti bom yang meledak tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Sengatan hebat makin terasa saat benjolan sebesar setengah bola kasti tidak sengaja tersentuh.

"Akan kuambilkan kompres air hangat."

Dia menggeleng. Bukan kompres hangat yang dia butuhkan, melainkan lari. Insting mengatakan dia harus berlari secepatnya. Tidak aman bagi dirinya diam di satu tempat. Seseorang akan menemukannya, menangkap, dan mengambil segala hal yang darinya.

"Jangan bangun dulu, Afifa kamu belum sekuat itu," katanya. "Lihat di luar masih hujan, lebih baik sekarang kamu berbaring! Aku akan mengompres kepalamu."

"Aku bukan Afifa, jadi berhenti memanggilku dengan nama itu. Lagi pula, Kakak tidak mengerti, aku harus pergi atau mereka akan–"

"Nggak usah kaku gitu, palingan kita cuma berbeda beberapa tahun aja. Berapa usiamu sekarang? Dan, ya ... tenang saja, nggak ada yang bisa menangkapmu di rumah ini."

"Menangkapku? Bagaimana Kakak bisa tahu? Siapa Kakak sebenarnya? Kakak bagian dari mereka? Dan satu lagi, kenapa Kakak selalu memanggilku Afifa? Aku Ava bukan Afifa!"

"Baiklah, maafkan aku, aku nggak tahu kalau Afifa bukanlah namamu. Kamu menyebutnya berkali-kali, jadi kupikir ... oke, ada banyak waktu menjawab semua pertanyaanmu itu. Sekarang berbaring dulu dan istirahat." Kedua tangan yang kekar itu membaringkan tubuh Ava ke ranjang. Perlawanan Ava tidak berarti, tubuhnya sangat lelah. Terdengar bunyi air yang turun dari perasan kain. "Tahan, ya, ini agak sakit."

Aku nggak merasa itu sakit. Aku sudah merasakan lebih banyak rasa sakit, tapi bagaimana dia tahu akan ada yang menangkapku? Siapa dia? Apa salah satu bagian dari mereka?

"Mengigau saat sakit itu biasa terjadi," katanya.

Alih-alih kebingungan, gadis itu bersikap waspada saat berkata, "Apa yang aku katakan?"

"Banyak hal yang kamu katakan," jawabnya enteng seakan mereka sedang membahas hal remeh temeh lainnya.

"Tentang apa itu?"

"Hal-hal sinting." Sorot matanya mengunci pandangan mata, seolah berusaha menguliti sesuatu yang tersembunyi.

"Misalnya?"

Dalam sekejap, raut wajahnya berubah. "Sudahlah itu nggak penting sekarang. Yang penting, sekarang kamu baik-baik saja di rumah ibuku. Oh, iya aku Navan. Kamu boleh memanggilku Kakak. Oh, iya. Kamu belum menjawab pertanyaanku. Berapa usiamu? Enam belas?"

"Empat belas."

"Wah, nggak salah aku memintamu memanggilku kakak. Usia kita terpaut sembilan tahun." Ava membiarkan uluran tangan Navan, lelaki itu pun beranjak meninggalkannya.

Bisa tidur lelap ketika berjubel pertanyaan terus mendesak itu hal mustahil. Hal-hal sinting macam apa yang diucapkan saat seseorang mengigau? Ava pun tidak tahu. Di luar sana, hujan masih selebat sebelumnya, suara seng tertiup angin pun terdengar berkala. Hujan selebat ini di bulan Juni? Dia kembali menggeleng. Ada sesuatu yang salah!

"Tunggu, Kak Navan! Sudah berapa lama aku di sini?" tanya Ava menghentikan lelaki yang sudah di ambang pintu.

"Enam hari. Tolong jangan banyak bergerak," tegas Navan. "Aku akan memanggil ibu, kamu bisa ganti baju dulu. Kita akan ke dokter untuk memeriksa keadaanmu setelah kamu merasa lebih baik." Lelaki itu akan meninggalkannya. Ava melihat setelan yang seakan dirancang pas sesuai dengan ukurannya. Melihat gelagat Ava, Navan tersenyum dan berkata, "Itu ... milik adik perempuanku. Kurasa ukuran kalian sama."

Bahkan belum seminggu, entah mengapa rasanya begitu lama. Dia ingat, dia memang pergi. Sayangnya, tidak bisa mengingat alasan dirinya meninggalkan rumah. Setiap kali mencoba mengingat bogem tak kasatmata seperti menghantam dengan kekuatan penuh.

_____
9.8.23

[REPOST] Detak TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang