Baby Eagle

168 42 10
                                    

Leon dan Axel berlari keluar dari ruangan dengan dada yang bergemuruh. Menghampiri pintu yang kuncinya sudah disiapkan oleh Axel. Lubang kuncinya cocok. Leon tersenyum tipis mengingat tembakan pertama Axel di pertempuran sebelumnya.

Dia bukanlah amatir. Adam Benford benar atas satu hal. Tembakan Axel tadi tepat di belakang kepala. Leon tahu trik bocah itu mengincar saraf keseimbangannya.

Hanya saja masih banyak sekali hal yang harus diberitahukannya, "Sebenarnya kau tadi tidak perlu menolongku, aku dapat mematahkan lehernya dengan sekali tendangan."

Axel memutar bola matanya, "Ya."

Kedua alisnya dinaikkan ketika mereka menuruni anak tangga yang gelap. Leon menyalakan senternya, "Tadi tembakan yang bagus."

Tidak ada balasan dari Axel seperti apa yang diharapkannya. Namun, sesuatu terasa berbeda kali ini. Mendengar Leon memujinya seperti itu. Pandangannya dijatuhkan ke bawah. Axel merasa tenang dan bangga dalam sesaat.

"Semuanya tidak harus menggunakan pistolmu, kau tahu?"

"Kau bisa menggunakan fisik untuk menghemat peluru."

Ruangan lain menyambut mereka dengan kumpulan bangkai binatang. Axel berjengit jijik, "Terimakasih atas kelasnya professor Kennedy, sekarang ayo periksa daerah ini."

"Yuck, baunya lebih busuk dari kamar mandi..." Sarkasnya mengambil langkah agar tidak menginjak potongan daging yang terkoyak dengan kejam.

Guraunya membuat Leon berdecak, 'Dia memang masih remaja labil.'

Suara cicitan tikus menemani mereka berdua. Mereka berdua berhenti, mematung. Tidak jauh dari sana tergeletak badan mati yang sangat mereka kenal.

Polisi veteran tadi. Axel meringkuk untuk mengambil walkie talkie yang terletak di dalam saku pakaian kerjanya, "Hei.. kapan kau-"

Leon merebutnya, "Ya kami bisa mendengarmu, hei?"

"Di sini AAA!"

Terdengar suara berisik dan kaca pecah dari seberang sana. Axel menghembuskan nafas berat, "Dia sedang dikepung."

Panggilan darurat berakhir. 


.


.


.


.


"Grr.." Suara tapak kaki dan seretannya yang berat menggema ke penjuru ruangan.

Leon dan Axel membalikkan badannya ke belakang. Masing-masing menyiapkan senjata. Zombie datang dari perpotongan jalan. Memajukan kepalanya yang sudah hancur setengah.

"Fuck!" Sarkasnya tidak tahan.

Leon menarik pelatuk, "Dor!"

"Dor!" Tembakan kedua tapi zombie itu hanya terhuyung.

Dia belum bisa membuatnya jatuh. Axel berani mendorong perutnya dengan kuat, "Buagh!"

Menolehkan kepalanya ke belakang memerintahkannya untuk ikut berlari. Suara tapak kaki yang diseret ikut menyusul. Ada beberapa zombie di luar sana dan peluru mereka tidak cukup untuk menghabiskannya semua.

'Tidak, jangan serang mereka..' Batin Axel was-was sembari memperhatikan sekeliling untuk mengambil jalan.

Mereka menaiki anak tangga yang sekiranya agak normal dan tidak berisik. Memasuki ruangan yang tidak dikunci. Nafas Leon terengah-engah, "Seseorang mendengarkan pelajaran dengan baik."

Itu pujian kedua.

Axel membuang muka pada papan pengumuman yang digantung di dinding. Pria kecil itu malu jika dipuji oleh seniornya yang suka sekali menggodanya. 

Kedua maniknya terbelalak, "Baby Eagle.."

Leon mengikuti arah pandangnya. Papan itu penuh dengan informasi yang tidak mereka ketahui sebelumnya. Foto putri presiden yang tertidur di atas pelukan seseorang, ditandai dengan tinta merah. Diteruskan ke bawah. Menandakan hal ini sudah direncanakan dengan matang. Tapi kenapa harus di tempat yang kumuh seperti ini?

'Dimana tidak ada seseorang yang waras sepanjang perjalanan kami,' batin Axel menelan salivanya tidak percaya.

Leon memencet alat pendengarannya, "Hey Hunnigan.."

Salurannya masuk, sepertinya jaringan nya walau sudah di tengah hutan seperti ini tidak ada yang terganggu. Axel melipat kedua lengannya di depan dada, masih mengamati ke mana garis itu berakhir dan apa tujuan mereka.

Foto paling bawah menunjukkan semak dan danau. Axel mencabut jarum pin yang menusuknya. Menyerahkannya pada Leon tanpa keraguan.

"Hunnigan di sini, apa laporan terbarunya?" 

"Seperti yang intel katakan, Baby eagle kemungkinan ada di desa ini."

"Syukurlah kalau mereka ternyata benar," ada hembusan kelegaan di seberang sana.

Axel melirik leon melalui ujung matanya, "Sepertinya ada lokasi tersembunyi di dekat danau. Mereka mungkin membawanya ke sana."

"Baik, apa ada tambahan?"

"Orang-orang di sini.. mereka semua-"

"Drr...drr," suara telapak kaki yang dihentakkan dengan keras. Axel menggeret kursi rusak tidak jauh dari daun pintu.

Setelah pintu terbuka lebar, "Groow!!"

"Crash!!" Axel memukul kepalanya dengan kursi membabi buta. Mengakibatkan monster itu jatuh ke samping sebelum mengambil tindakan apapun.

Leon terperangah atas itu, "Aku akan menghubungimu nanti.."

"-BEEP"

Urar sarafnya menegang hingga pelipis. Seandainya Axel tidak dapat membaca keadaan, tadi itu nyaris saja. Leon menjatuhkan tangannya ke bawah, memperhatikan pria yang jauh lebih muda itu mengusap rambutnya yang basah.

Leon tersenyum tipis, "Aku berhutang nyawa padamu."

Axel menatapnya dengan cepat, namun tatapan itu sulit diartikan. Dia kembali berjalan ke belakang menuju laci kayu. Membungkuk dan membuka satu persatu susunan rak-nya. Melemparkan amunisi peluru yang dia temukan ke Leon.

Leon menangkapnya dengan sedikit bingung, "Bagaimana denganmu?"

"Ke depannya alangkah baiknya jika kau yang memimpin jalan. Kemampuanmu dalam bertahan lebih tinggi daripada aku. Kau jauh lebih tenang dalam menghadapi musuh. Aku akan membantu dalam mencari jalan keluar, petunjuk, dan tim medis sementara."

Ucapnya penuh keyakinan. Leon mengangguk paham, 'Anak ini, ketika dia sudah cukup umur.. dia memiliki potensi yang besar untuk masuk dalam agen federal..'

"Kau tahu cara meracik obat dari dedaunan itu?"

Axel mengangguk sembari mencabuti helai daun dari tangkainya satu persatu. Menyusunnya rapih dan melabutinya dengan lembaran tissu sebelum dimasukkan ke dalam tas kecilnya, "Aku hanya butuh kau untuk melindungiku sampai misi ini selesai."

"Tenang, aku tidak akan menjadi beban untukmu."

Axel berbalik untuk menemukan iris mata Leon sekali lagi, "Kau bahkan dapat meninjuku sepuasmu apabila kau menangkap ucapanku omong kosong semata setelah misi ini selesai."

"Keh.." Leon terkekeh dan melemaskan bahunya yang tegang.

"Membalas sesuatu dengan kekerasan tanpa dasar yang jelas bukan gayaku Axel.."

"Bagaimana kalau kita having a dinner after mission?"

Axel menaikkan sebelah alisnya. Tersenyum kecil, "Tapi aku mau dinner di tempat yang mahal. How about that?"

Leon tertawa geli mendengarnya, "As you wish.."



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Bullet (Resident Evil 4 x Male OC)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang