Bagian 1

2.4K 186 11
                                    

"Mau bareng?"

"T--tidak usah. Dekat kok, Kak." Tolak Aita salah tingkah.

Namun Raga terlanjur membuka pintu mobil untuk gadis yang berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri. "Masuklah. Sekalian aku mau pulang."

Sikap manis Raga mengguncang jantung Aita. Ia tak menyangka bisa berkomunikasi sedekat ini. Biasanya, saat karib kakaknya itu bertandang ke rumah, Aita akan lebih memilih menghindar. Sungkan. Cukup mengagumi dalam diam dari kejauhan.

Aita buru-buru membenahi sikap. Jangan sampai Raga menyadari ia sedang salah tingkah. Ah mendadak Aita minder, mungkin ia yang terbawa perasaan. Bisa jadi pembawaan Raga begitu manis pada semua wanita. Aita mengulum bibirnya, menetapkan isi kepala agar tak mudah terlena. Mana mungkin lelaki sesempurna Raga tertarik padanya.

Entah sejak kapan perasaan itu bersemi. Tiba-tiba saja Aita merasa pipinya menghangat tiap kali Raga menyapa sekedar berbasa-basi. Secara fisik, lelaki bertubuh tinggi itu memang rupawan. Kulitnya putih kecoklatan. Bibirnya tipis seksi. Garis matanya melengkung ke atas saat tersenyum, dan menjadi tipis saat tertawa. Hidungnya mancung. Sedang pundaknya lebar nan gagah. Boleh dibilang tubuh Raga proporsional. Wajar banyak kaum hawa menggelepar, menjadi incaran para perawan.

Singkatnya, Raga sangat gagah dan tampan. Ditambah kerap mengenakan outfit casual mengesankan kepribadian yang ramah.

Yah, Aita sadar tak seharusnya besar kepala hanya karena dibarengi. Ia cukup tahu diri dengan mengagumi di persembunyian. Namun, tetap tak bisa memungkiri rasa gugup saat harus berduaan dengan Raga di dalam mobil seperti sekarang.

"Mau bikin apa?" Tanya Raga saat sedannya mulai melaju.

"Bi-bikin butter cake. Besok waktunya praktik." Aita terbata.

"Butter cake, yang kayak gimana itu?"

Aita kira pertanyaan Raga cuma basa-basi mengisi sepi, ternyata lelaki itu ingin tahu lebih jauh lagi.

"Bolu." Aita menjeda sembari mendesah. "Orang-orang mungkin lebih akrab dengan sebutan bolu."

"Oh..." Raga mengangguk-angguk paham.

Lalu keduanya sama-sama menyepi. Lagi-lagi Aita salah duga, terlalu banyak berharap Raga akan membuka lebih banyak obrolan dengannya. Sesuai dugaan, Raga hanya mencoba bersikap ramah, asal bicara agar dirinya nyaman. Bahkan, sekarang mungkin Raga sudah lupa apa itu butter cake.

Kopling terinjak dalam, tuas rem tangan ditegakkan, mobil pun berhenti karena lampu merah menghadang. Memberi kesempatan bagi Aita berinisiatif. "Makasih ya, Kak, sudah mau direpotin."

Raga menoleh. Tersenyum kecil saat melihat semu merah di pipi Aita, semburat yang kerap ditemukan sebelum-sebelumnya, terutama saat ia menyapa gadis itu, atau saat gadis itu menyapanya. Ia tak mau memberi harapan. Tidak tertarik menjalin hubungan. Aita sama saja seperti gadis-gadis lain yang menaruh hati padanya, yang tak satupun di antara mereka mencuri hatinya.

"Cuma makasih?" Timbul keisengan Raga. Memperlakukan Aita bak adiknya.

Mobil kembali berjalan. Raga tersenyum menyaksikan kedua mata Aita melebar. Menyiratkan pertanyaan besar.

"Kasih tester lah sesekali."

"Oh..." Aita bernapas lega, lalu menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Nanti aku usahakan beli bahannya double, mau nyoba bikin di rumah dulu sepulang dari toko bahan kue. Sekalian mau trial and error. Besok kuenya aku titipkan ke Bang Jundi ya, Kak."

"Ke... Jundi?" Raga menyangsi.

Aita mengangguk lugu. "Kenapa? Bang Jundi nanti malam pulang, kan?"

"Dia belum bilang kamu?"

"Bilang apa, Kak?" Aita menyelidik dengan wajah serius.

"Dia lagi mendampingi beberapa karyawan baru hunting mobil pesanan ke Cilegon. Aku kira langsung pulang juga, ternyata beberapa reseller ngajak ketemuan besok pagi. Jadi kemungkinan mereka akan menginap."

"Oh, gitu." Aita lesu. Itu artinya ia akan tidur sendirian malam ini.

"Kenapa? Kok kayaknya sedih gitu."

Aita menggeleng. "Nggak apa-apa kok  Kak."

"Yakin nggak takut sendirian di rumah?" Goda Raga.

"Udah biasa. Bang Jundi kan sering keluar kota."

Melihat kekecewaan yang disembunyikan Aita, ide cemerlang berputar di kepala Raga. Ia merasa bersalah. "Jangan khawatir. Akan kutemani di rumah biar nggak kesepian."

Secepat kilat Aita menoleh. Mengangkat punggungnya. Menatap Raga yang fokus pada padatnya arus kendaraan saat menjelang petang. Segelap pikiran Aita yang membayangkan hanya berduaan di rumah bersama Raga. Mengandai-andai sikapnya yang akan terus-terusan kikuk. Ah tidak, ia harus menolak.

"Nggak usah, Kak. Nggak apa-apa. Aku berani kok sendirian. Lagian tadi Kak Raga bilang mau pulang. Beneran, aku nggak apa-apa kok. Sudah biasa tidur sendiri."

Raga terdiam sebentar. Pura-pura fokus pada kendaraan di depan. Sebenarnya ia malas pulang ke rumah. Enggan menghadapi keluhan ibunya yang berkutat pada hal itu-itu saja, tentang kelanjutan pertunangannya dengan Diantri.

Baiklah, Raga sudah memutuskan. "Jangan lupa, Ta. Kamu punya hutang tester padaku. Jadi biarkan aku mencicipinya selagi masih hangat."

"Oh?" Aita tak kuasa menolak. Ia terjebak ucapan sendiri.

***

Beberapa kali Raga tertegun. Tanpa sadar mengulum bibir. Terkagum-kagum pada seorang gadis yang sangat selektif dalam berbelanja bahan.

Dari kejauhan, Raga masih mengamati gadis yang serius membaca kandungan sebuah kaleng makanan. Kemana saja pandangannya jatuh selama ini? Sementara di dekatnya ada gadis cantik baik hati, yang membelikannya segelas es kopi karena bersedia menungguinya berbelanja.

Tanpa sepengetahuan Aita, Raga membuntutinya. Memperhatikan setiap aktivitasnya di dalam swalayan bahan kue itu. Tak sadar ada yang kepincut padanya usai diberi satu cup es kopib sebagai tanda terima kasih.

Masih berdiri di ujung lorong, Raga mengamati gadis dengan rok brukat berwarna hitam itu. Atasannya hanya kemeja berwarna coklat susu. Sedang kepalanya ditutup pasmina bermotif tiedie yang kedua ujungnya diikat ke belakang leher.

Aita bertubuh ramping. Tidak terlalu pendek, juga tidak terlalu tinggi. Hidungnya tidak mancung, juga tidak pesek. Alisnya agak tebal, mengatapi bingkai mata bulat kecoklatan. Bibirnya sedang, dengan bagian atas bergelombang alami. Kulitnya putih bersih.

Kenapa baru sekarang mengagumi Aita? Saat ada nama wanita lain yang terikat cincin pertunangan dengannya. Raga menbuang napas lalu mengacaukan fokus pada Aita. Ia keluar toko pun tanpa sepengetahuan Aita.

Sekian lama menyusuri isi toko, Aita keluar dengan tas plastik besar dib tangan. Tanpa diminta, Raga mengambilnya. Memindahkan ke bagasi lalu membuka pintu untuk gadis itu. Ia mengajak Aita makan di sebuah restoran. Awalnya gadis kikuk itu menolak tapi Raga berhasil membujuknya. Entahlah, tiba-tiba ia ingin berlama-lama dengan Aita.

"Ternyata Bang Jundi tadi sudah kirim pesan kalau nggak pulang."

Raga hanya mengangguk-angguk. Memperhatikan Aita yang sibuk dengan ponselnya.

"Aku mau kasih tahu Bang Jundi kalau hari ini sudah banyak dibantu sama Kak Raga. Aku sudah banyak merepotkan."

Raga tersedak sup kepiting yang baru saja dicicipinya, akibat membayangkan reaksi Jundi jika tahu kedekatan mereka hari ini.

***

Kisah ini publish di karyakarsa. Link ada di laman profil aku...

Makasih sudah mau baca karya2ku ya say...

SILAM 18+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang