"Turun dan makan, Emo!"
Pekikan nyaring itu terdengar kala bocah yang dipanggil Emo asik dengan game yang kini tengah dimainkan. Seolah tidak menganggap kehadiran orang yang berteriak tadi.
Bocah itu tengah kesal, lantaran lagi lagi kena hukum oleh sang Papa. Kunci motor miliknya disita, bocah itu melampiaskan dengan bermain game seharian.
"Baiklah, kau yang memilih sendiri"
Lelaki itu berjalan cepat menuju arah adiknya, sedikit memberi pelajaran tidak masalah bukan.
Prangg
Kepingan ponsel berhamburan dilantai, sang pelaku menampilkan senyum miring. Mengabaikan tatapan adiknya yang menatap dirinya penuh amarah, dan kebencian. Amarah keduanya saling menguasai diri masing masing.
Jika Emo keras kepala, maka pemuda itu lebih keras kepala lagi. Sifat yang kaku juga tidak suka diabaikan sangat melekat pada pemuda dua puluh lima tahun itu.
Fisher Griffith, sulung yang sangat benci dengan penolakan.
"Lo-!"
"Apa apaan sih! Kalau mau makan, makan sendiri aja. Jangan ngajak!"
Sesegera Emo mengubah bahasanya, dirinya lupa menghadapi sang Kakak sama saja menghadapi bajingan tua, yang sialnya menjadi Papanya.
Tatapan tajam yang kakaknya berikan membuat nyalinya sedikit menciut, ia memang sengaja tidak turun dan mogok makan karena terlalu kesal dengan sikap kekanakan Papa nya.
Hanya karena dirinya tidak pulang semalam kunci motor menjadi tahanan Papanya. Mengingat saja membuat Emo emosi, huh.
"Turun, makan." Tegasnya sekali lagi
"Tidak mau!"
"Emo, jangan buat kakak bertindak kasar"
"Kenapa, bukannya itu sifat kakak? Kakak selalu bertindak kasar dan semamu kakak?"
"Emo benci, kakak pembunuh!"
Pemuda didepannya masih setia menyoroti sang adik dengan tajam, mendengarkan perkata apa yang dikeluarkan oleh sang adik.
"Kakak jahat"
Bocah itu tertawa dengan mata berkaca kaca, menahan tangis.
Emoarta Reksa Griffith, remaja lima belas tahun yang harus kehilangan sosok Ibu diusianya yang masih sepuluh tahun."Kakak ga punya perasaan, seharusnya kakak cegah Papa waktu itu. Bukan malah bantuin Papa, Emo benci dengan kakak" Remaja itu berlari dan memukuli pemuda yang jauh lebih tua darinya.
Menangis dan terus membabi buta sang kakak, berbanding terbalik dengan Fisher. Baginya pukulan sang adik terasa sebagai pijatan, tersenyum miring sebelum mengangkat sang adik kedalam gendongannya.
Berjalan santai keluar kamar sang adik dengan Emo didepan, remaja itu berontak. Selama lima tahun terakhir ini, ia sangat jarang berinteraksi dengan kakak juga Papanya.
Seiring berjalannya waktu perasaan benci itu terus tumbuh didalam jiwa Emo, sekelibat bayangan masa lalu berputar dalam ingatan remaja itu.
Lift terbuka, langkah kaki Fisher melangkah menuju keluarnya yang tengah berkumpul. Didalam gendongannya, Emo terdiam mau berontakpun juga percuma. Semuanya akan sia sia.
Semua hadir seperti biasa. Ada Papa, Kakak, Daddy, Mama, dan juga Abangnya. Bagi mereka, itu sudah cukup.
Tidak dengan Emoarta. Disana tidak ada Bundanya. Keadaan disana benar benar sunyi, mereka hanya menunggu kehadirannya. Ia tidak duduk sendiri, Emo duduk dipangkuan kakaknya.
Melirik tidak minat pada makanan yang ada didepannya. Keluarganya ini sangat menerapkan pola hidup sehat, Steak ayam dengan sayur disampingnya membuat ia tidak selera makan.
Emoarta ini turunan dari sang Bunda, Daily. Wanita cantik kini dipelukan tuhan itu sangat tidak menyukai segala sayuran. Emo meringsek hendak turun untuk duduk sendiri, tapi tangan kekar milik kakaknya memeluk pinggangnya.
"Diam ditempatmu"
"Emo mau duduk sendiri" Jawabnya
"Duduk dengan Fisher atau dengan Abang" Ujar Maximillian memberi pilihan.
"Fine, dengan kakak"
Makan malam itu diawali dengan Deon, selaku tetua di keluarga Griffith. Remaja itu memakan makanan didepannya, menyisihkan segala sayuran yang membuatnya mual. Ia ingin segera pergi dari sini dan kembali masuk kedalam kamarnya.
Sedikit kesusahan, karena tangan kecilnya kesusahan untuk memotong daging ayam didepannya. Biasanya, sang Papa yang akan memotongkan untuk dirinya, entah apa alasan orang tua itu mendiaminya.
Apakah masih marah? Hei, seharusnya Emo yang marah, bukan tua bajingan itu.
Leon melirik putranya, tertawa kecil dengan tingkah lucu Emo. Bibir mencebik, dengan air mata yang belum kering dan hidung merah itu sangat menggemaskan. Tahu, Leon sangat tahu apa yang membuat putrnya menangis.
Ia mendapat laporan dari Rey, tangan kanannya.
Ishh
"Biar mama potongin sayang" Ucap wanita lemah lembut disamping Max.
Emo diam, tidak mengiyakan juga tidak menolak. Piring itu sudah berpindah saja dihadapan Alya, Istri Deon.
Emo memperhatikan, sekelebat bayangan masa lalu berputar kembali lagi pada memorinya.Kehadiran sang Bunda dimeja makan dengan suasana yang lebih hidup membuat Emoarta tersenyum secara tidak sadar. Kenangan itu begitu indah, ingin ia ulang sekali lagi.
Piring itu kembali diletakkan dihadapan Emo, Emo berkedip beberapa kali sebelum menyuapkan satu persatu daging kemulutnya, hingga sampai tiga suapan, remaja itu menyudahi acara makannya.
"Emo selesai"
"Habiskan makananmu" Suruh Fisher
"Sudah kenyang" Jawabnya lagi
"Habiskan, melewatkan sarapan dan makan siang apa itu bagus?"
"Benar begitu, dek?" Tanya Deon, Emo mengangguk.
"Setelah ini, temui Abang dikamar. Jelaskan sikapmu." Telak Max tanpa memandang adiknya.
"Tidak mau, Emo tidak ingin menemui Abang!"
"Emo nakal sekali" Tambah Fisher
"Emo tidak nakal, kalian yang nakal. Kalian jahat! Emo benci penjahat!"
"Mau atau tidak, nanti temui Abang dikamar abang"
"Max selesai"
Selalu saja seperti itu, Emo tidak ada pilihan selain menemui Max.
"Sayang, temui abang dikamar heum? Abang begitu karena khawatir dengan kamu dek" Alya sedih, saat wajah sembab itu murung.
"Mama, tidak mau. Bilang ke Abang"
"Turuti saja kata Bang Max dek" Tambah Fisher melanjutkan acara makannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Emo
General FictionMempunyai orang tua utuh impian semua anak, tidak dengan Emo. Remaja 15 tahun yang membenci orang tuanya, Papa lebih tepatnya. Hidup satu atap dengan penghianat? Mimpi buruk. "Emo salah paham, maafin Papa okey?" "Bajingan memang tidak pernah mau, un...