Bageur

9.7K 134 6
                                    

"..."

Dokter dan Agus terdiam saat mendengar ucapan Rani. Tanpa disadari mereka saling menatap heran. Lalu Agus menyela dengan tangan yang sudah memeluk tubuh Rani untuk dia ajak keluar.

"Dokter sepertinya saya harus membawa istri saya ke Rumah Sakit yang lebih besar.", ucap Agus lalu keluar ruangan sambil memapah Rani.

Di dalam mobil Rani terus menerus merintih kesakitan. Agus juga tidak ada solusi untuk itu, dia hanya bisa membiarkan Rani bergerak gelisah karena sakit yang tak kunjung hilang di perut buncitnya.

Agus menepi saat melihat sebuah apotek. Dia keluar mobil dan berjalan masuk ke apotek. Yaa, Agus memutuskan membeli obat tidur dan mencampurkannya ke botol air mineral.

Agus memasukkan begitu banyak bungkus obat tidur ke dalam air mineral saat berdiri di depan pintu keluar apotek. Agus berjalan kembali ke arah mobil lalu masuk dan mengecek keadaan Rani.

Baju Rani sudah begitu basah karena keringat dari tubuh istrinya terus keluar. Agus berusaha mengusap perut buncit istrinya tapi justru telapak tangannya terasa sakit dan panas.

"Dek? Apa sakit sekali?"
"Sshh ngghhh.. sakit masshh, adek engga kuat."

Agus tidak mampu berbuat apa-apa, dia hanya menyerahkan botol air mineral tadi kepada Rani. Rani langsung meneguknya sampai habis. Selanjutnya Agus memutuskan kembali menjalankan mobil. Kali ini dia berpikir untuk membawa Rani ke tempat Mbah Ireng. Sepertinya tidak ada pilihan lain.

Di dalam perjalanan menuju rumah Mbah Ireng, Rani tertidur pulas. Sepertinya obat tidur yang dia campurkan di air mineral Rani cukup ampuh membuat istrinya tidak terus merintih. Agus sudah berjalan selama 5 jam dan mulai memasuki jalanan yang tidak rata di kawasan dengan padat vegetasi.

Agus melirik sekilas ke arah istrinya. Rani sedikit terusik dengan jalanan yang tidak rata itu. Tentu saja, tubuhnya pasti terganggu dengan goncangan mobil yang mulai sering terjadi. Agus berhenti dan tidak ingin istrinya terbangun. Dia tidak menyimpan obat tidur yang lebih. Dia tidak tega melihat istrinya kesakitan seperti tadi.

Agus keluar dari mobil dan bersandar di pintu sambil menatap kawasan hutan di depannya. Jalanan ini pasti Agus lewati setiap kali akan ke tempat Mbah Irang. Agus menyalakan korek dan mulai membakar rokok miliknya. Hisapan demi hisapan hingga kini dia sudah menghabiskan lima batang rokok.

"Tok-tok."

Seseorang mengetuk kap depan mobil milik Agus. Rupanya seorang wanita paruh baya dengan busana kebaya dan paras cantik. Agus menoleh sekaligus mengecek jam yang ada di tangannya. Sudah hampir subuh rupanya, tapi dia tidak kenal sama sekali siapa yang menghampirinya ini.

"Maaf, siapa?"
"Saya penduduk desa dekat sini, Nak. Apa mobilmu mogok?"

Agus menggeleng lalu berjalan mendekati wanita tadi. Wanita itu menatap Rani dari kaca depan mobil lalu menunjuknya dengan jemari.

"Kalian hendak kemana? Tidak biasanya ada pengendara berhenti disini saat subuh."
"Ada keperluan Bu, di desa atas."
"Desa kaki gunung itu? Mbah Ireng?"

Agus kaget, bagaimana bisa wanita ini menebak dengan benar. Apa Mbah Ireng seterkenal itu? Tapi Agus rupanya tidak mengetahui fakta bahwa hunian Mbah Ireng adalah satu-satunya bangunan di desa kaki gunung. Tentu saja wanita ini langsung tahu.

"Benar."
"Istrimu kesakitan, Nak."

Agus menoleh ke arah mobil dan mendapati Rani sudah terbangun lagi. Rani terlihat bergerak gelisah, tentu saja rasa sakitnya pasti kembali. Suaranya tidak jelas karena Rani berada di dalam mobil. Agus segera masuk ke dalam mobil dan mencoba menenangkan Rani.

Tiga TumbalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang