Bengkle (21+)

22.5K 132 7
                                    

"Di dalam bengkle ini terdapat minyak atsiri, arason, egenol, dan asaril dehida.", ucap Laksmi saat menjelaskan tindakan yang sedang dilakukan dukun beranak kampungnya pada Rani.

Dukun yang sebelumnya memberikan jimat tali di perut Rani kembali memberikan satu barang untuk menggantikan jimat sebelumnya. Agus segera memanggil Laksmi saat Rani terbangun dari tidurnya yang gelisah semalam.

Rani bercerita bahwa dia bermimpi sedang disetubuhi oleh Agus. Tapi Agus merasa janggal dengan mimpi Rani, belum lagi Agus melihat dengan jelas istrinya seolah sedang menikmati persetubuhan di dalam mimpi. Sesaat setelah terbangun dari tidurnya-pun Rani mulai merasakan mulas diperut buncitnya. Itu sebabnya Agus bergegas pergi ke rumah Laksmi untuk meminta bantuan.

"Aduhhh aahhh sakit lagi sshhhh..mashh..", raut wajah Rani kembali berubah, tangannya terus mengusap perut buncitnya.

"Jedanya masih cukup jauh, mungkin kau akan sering merasakan sakitnya, Nak.", wanita tua yang disebut dukun beranak itu mulai memijat perut buncit Rani.

"Apa sudah mendekati waktunya, Mbah?", Laksmi bertanya sambil kembali mendekat dengan membawa sebotol berisi minyak pijat dan memberikannya pada wanita tua itu.

"Iya, lihatlah, perutnya sudah terlihat turun. Sebaiknya kalian tetap di dalam rumah selama beberapa hari ini. Jangan tinggalkan istrimu sendirian. Hubungan seksual akan mempercepat prosesnya.", ucap wanita tua yang tangannya masih lihai memijat perut Rani.

"Aahhh sshhh..sakitnya berkurang", Rani mulai sedikit tenang saat dia merasakan rasa mulasnya perlahan menghilang.

"Apa istri saya akan segera melahirkan?", Agus bertanya sambil menggenggam tangan Rani. Dia duduk bersebrangan dengan Laksmi dan wanita tua yang bernama Jemini.

"Masih lama, tapi kontraksi sudah mulai terjadi. Belum ada bukaan di jalan lahir. Masih aman. Kau masih bisa menahan mulasnya kan, Nak?", wanita tua itu berhenti memijat perut Rani.

Rani hanya mengangguk. Setelah merasa kondisi Rani membaik, Laksmi dan Jemini meninggalkan pasangan suami istri itu. Agus bergegas menutup kembali pintu rumah sesuai dengan perintah Laksmi.

"Apa memungkinkan, Mbah?"
"Sangat memungkinkan, tapi wanita itu pasti akan sangat tersiksa dengan sakitnya."
"Leluhur desa ini pasti akan senang."
"Maka dari itu kita wajib menjaganya sampai siap untuk dipersembahkan."
"Sepertinya wanita itu lebih kuat dari yang kita bayangkan."
"Belum tentu, apapun bisa terjadi. Akan sangat fatal jika dia gagal menahannya."
"Benar, Mbah. Aku bisa merasakan janin-janin itu semakin kuat mendekati masa kelahirannya."
"Aku hanya takut pelindung di desa ini gagal menahan serangan makhluk dari luar yang sama-sama menginginkan kekuatan besarnya."
"Sepertinya dalam beberapa hari ini kita harus selalu waspada, Mbah."
"Benar, wanita itu akan melahirkan dalam beberapa hari lagi dan Bengkle yang tadi kupasang akan membantunya menahan kontraksi."
"Tapi dulu aku tidak terbantu dengan Bengkle."
"Dia justru akan lebih parah darimu, Laksmi."

Keduanya berhenti berbincang saat sudah berada di persimpangan jalan. Rumah Laksmi dan Mbah Jemini memang bersebrangan. Rumah Laksmilah yang paling dekat dengan rumah pasangan suami istri, Rani dan Agus.

Dua hari berlalu sejak kontraksi pertama yang Rani rasakan. Belum datang lagi kontraksi lain seperti yang dikatakan oleh dukun yang memeriksanya dua hari lalu.

"Mas Agus, Adek mau mandi dulu yaa, takut terlalu sore nanti dingin.", ucap Rani berjalan dengan perlahan menuju pintu belakang.

Agus yang berada di beranda rumah segera menyusul Rani dan membantu memapahnya keluar menuju kamar mandi.

"Mandi sendiri? Mau Mas temani, Dek?", nada bicara Agus sedikit menggoda, membuat Rani tertawa dan memukul pelan tangannya.

"Nanti mandinya sampai malam kalau sama, Mas. Mas boleh bawakan air panas di dalam, tadi Adek rebus. Lagi pengen mandi air hangat.", Rani berkata sembari masuk ke kamar mandi dan mulai melepaskan bajunya. Pintu kamar mandi sengaja dibiarkan terbuka agar Agus mudah masuk saat membawa air panas.

"Mau langsung dimasukkan, Dek?", Agus masuk ke kamar mandi dimana Rani sudah bertelanjang badan di dalamnya.

"Masukkan? Mas lagi pengen?", Rani ganti menggoda suaminya itu.
"Air panasnya, Dek."
"Boleh, Mas. Adek kira memasukkan lainnya."
"Adek mau?"
"Di dalam saja, di kamar mandi tidak enak. Sudah sana, Mas keluar. Terima kasih ya sudah dibantuin."

Agus kembali masuk ke rumah dan membiarkan istrinya mandi di belakang. Saat hendak membilas tubuhnya yang penuh sabun, Rani tersentak dengan rasa nyeri yang tiba-tiba melilit perut buncitnya. Rani mendesis sambil mengusap perut bagian bawahnya. Tangannya menempel pada dinding kamar mandi hingga membuat tubuhnya condong ke bawah. Kepalanya menunduk sambil menggigit bibir menahan sakitnya.

"Sshhh aahhhh...sakittt ughhh.."

Rani terus berusaha mengatur napasnya untuk mengurangi rasa sakit itu, walau sama sekali tidak membantu karena kontraksi kali ini lebih sakit dari dua hari lalu. Rani bahkan merasakan perut buncitnya sangat menegang, semakin dia sentuh semakin sakit. Rani akhirnya berhenti mengusap perutnya dan beralih mengusap punggungnya yang juga terasa sakit.

Sudah lewat semenit rasa sakitnya semakin menjadi. Tadinya dia ingin berteriak dan memanggil suaminya, tapi terlalu merepotkan untuk sekedar kontraksi sesaat saja. Rani mengusap permukaan kelaminnya dan menekannya kuat. Dia merasa bagian itu ikut berkedut bersamaan dengan kontraksi perutnya.

"Aduhhh..", Rani mengaduh saat melihat perut buncitnya bergerak karena gerakan-gerakan bayinya.

Rani mulai melanjutkan mandinya saat kontraksi itu mulai mereda. Lima menit kemudian kontraksi di perutnya sudah terasa berkurang meski masih ada tarikan tarikan kecil otot-otot di bagian punggung. Rani keluar kamar mandi dengan langkah sangat pelan, tangannya terus berpegangan dengan dinding.

Saat masuk ke rumah, Rani kaget dengan pemandangan yang dia lihat. Dia melihat Agus sedang duduk di atas ranjang dengan satu tangan yang lihat mengocok alat kelaminnya.

"Astaga Mas, ngapain?"
"Tadi kebangun karena lihat Adek telanjang di kamar mandi."
"Loh? Beneran?"

Rani berjalan mendekat dan Agus mulai merebahkan diri di atas ranjang dengan kejantanannya yang sudah menegang sempurna.

"Belum crot, Mas?", Rani bertanya sambil duduk dengan perlahan di pinggir ranjang.

"Mana bisa, harus di dalam.", Agus mengatakannya dengan tertawa dan membuat Rani gemas.

"Lihat punya mas negang gini jadi pengen Adek Emut. Boleh?", Rani mulai mengangkat kakinya naik ke ranjang. Lalu berjongkok di atas ranjang dengan bantuan tangan suaminya.

"Langsung saja, Dek. Kalau ngemut di atas kasur gini ga nyaman buat kamu. Tuh perut buncitnya gede banget. Duduk saja sini di atas, Mas.", Agus menuntun Rani itu duduk di atas tubuhnya.

Rani sempat memainkan batang berurat itu dengan perlahan. Memijatnya hingga suaminya itu mendesah nikmat. Rani sangat ingin mengemutnya tapi memang perut buncitnya terlalu menghalangi.

"Adek masukin langsung aja ya, Mas."
"Gapapa? Adek gamau pemanasan dulu?"
"Tadi pas mandi sudah."
"Sudah?"
"Tadi pas kontraksi, ikutan basah di dalam."
"Loh, kok bisa?"
"Adek gatau, Mashh ahhh besarhh sshhh oughh."

Rani meleguh panjang saat kejantanan Agus berhasil masuk seluruhnya. Kini Rani mulai bergerak hingga membuat batang berurat itu seolah menggaruk lubangnya yang gatal.

"Udahan tadi kontraksinya?"
"Humhh ahhh.."
"Lama tidak?"
"Oughhh ahhh..", Rani hanya menggeleng.
"Pantes udah licin."

Rani terus bergerak maju mundur menikmati kejantanan suaminya yang menggenjot liang vaginanya.

"Adek aaah pengennhh uhh dipejuin aahh mashh yang banyak mmhhh.", Rani semakin menikmati permainannya, dia bahkan mengabaikan kenyataan bahwa perut buncitnya kembali menegang. Bengkle di perutnya juga terasa melilit semakin erat.

[Jangan lupa bintang dan komennya supaya aku semangat untuk lanjutin dengan cepat. Terima kasih.]

Tiga TumbalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang